Pendidikan Hati Sejak Dini
Imam Fakhruddin ar-Râzi dalam tafsirnya memberi kesimpulan bahwa manusia memiliki dua karakter alami, yaitu nazhariah (insting berfikir) dan amaliah1. Kesimpulan beliau berdasarkan pada ayat berikut:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (164)
“Allah telah memberi anugerah kepada orang-orang Mukmin di kala Allah mengutus utusan (Rasulullah) kepada mereka. Utusan yang membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan hati mereka, dan mengajari mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [QS. Ali Imran:164].
Ayat di atas menjelaskan bagaimana Rasulullah mendahulukan tazkiyah (pendidikan hati) disusul selanjutnya dengan takim atau pendidikan ilmu dan hikmah. Ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Imam ar-Râzi di atas bahwa karakter manusia meliputi dua hal, insting dan ama. Nadzhariyah artinya kecerdasan intelektual serta emosional. Adapun amaliah berarti pendidikan moral. Jika kecerdasan intelektual seseorang tidak disertai moral yang tinggi pula, bisa berakibat fatal. Maka tak heran lagi, mengapa para koruptor tidak henti-hentinya tumbuh subur di negeri ini. Bukan berarti mereka tidak mengerti bahwa tindakan mereka dapat merugikan dan haram, namun pendidikan moral dan agama sejak kecil tidak diajarkan.
Perbuatan baik-buruk seorang dikendalikan oleh pikiran. Segala perbuatan dan tindakan yang dikendalikan pikiran itu bersumber dari hati. Jika hatinya baik, maka segala amal yang muncul pun juga akan baik. Jika buruk, maka segala amal yang dilakukan pun akan buruk. Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging tersebut baik, maka jasad pun juga baik. Jika buruk, maka jasad pun menjadi buruk pula. Ingatlah! Segumpal daging tersebut ialah hati.” [HR. Imam Ahmad].
Maka dari itu, pendidikan hati (moral) harus dikedepankan agar ilmu yang ditransfer ke pikiran anak didik bisa disaring bersih oleh hati. Pada akhirnya, seseorang anak didik menjadi pribadi berintelektual tinggi dan berbudi pekerti. Ibarat air, sejernih apapun jika dimasukkan ke dalam wadah yang kotor, maka akan menjadi kotor. Nilai seseorang tergantung budi pekerti yang ia miliki. Semakin tinggi perangai baiknya, semakin tinggi pula nilai tawarnya. Rasulullah sendiri sejak kecil sudah dikenal dengan al-Amîn atau orang yang sangat dipercayai. Hingga, ketika beliau diangkat menjadi nabi dan diperintahkan untuk mengajak orang-orang Jahiliyah, beliau mudah diterima.
Oleh karenanya, pendidikan hati dan keilmuan di atas sangat penting untuk dijadikan prinsip utama dalam berjalannya dunia pendidikan. Pendidikan moral harus lebih dikedepankan serta tidak mengenyampingkan keilmuan. Hingga degradasi moral bangsa mulai berkurang. Inilah contoh langkah sukses Rasulullah membangun peradaban generasi akhir zaman, berintelektual tinggi dan bermoral. Biar tidak terdengar lagi kabar orangtua dijebloskan ke penjara oleh anaknya dengan alasan HAM.
Oleh: M. Baihaqi