Keteguhan Iman di Tengah Hegemoni Dunia
Kebenaran sering kali disandingkan dengan kebaikan dan bertolak belakang dengan kebatilan. Namun, dalam perjalanan sejarah umat manusia, kita sering menemukan bahwa kebenaran tidak selalu mendapatkan pengakuan atau kemenangan yang diharapkan. Banyak contoh dalam sejarah menunjukkan bahwa meskipun kebenaran diungkapkan oleh para pemimpin, pemikir, atau bahkan nabi, mereka sering menghadapi penolakan, penindasan, dan pengabaian.
Hampir semua rasul, beserta pengikutnya, merupakan golongan minoritas. Hanya segelintir yang mencapai posisi mayoritas. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surah as-Shaffat ayat 71 yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu”.
Misalnya, Fir’aun berkuasa selama 400 tahun, sementara Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun, tetapi yang mendustakan tetap dibinasakan oleh Allah, meninggalkan hanya orang-orang beriman. Namun, keimanan ini tidak selalu bertahan. Seiring waktu, mereka kembali menyembah berhala, sehingga Allah mengutus nabi-nabi baru untuk menyelamatkan mereka. Masa antara dua nabi ini dikenal sebagai masa fatrah, menunjukkan bahwa masa kejayaan golongan yang benar seringkali lebih singkat daripada masa penindasannya.
Baca Juga: Remaja Keren
Dalam banyak situasi, kekuatan politik dan ekonomi lebih dominan daripada suara kebenaran. Kepentingan kelompok tertentu sering kali menutupi fakta dan kenyataan. Penipuan, propaganda, dan manipulasi informasi digunakan untuk mengaburkan kebenaran. Contoh yang nyata dapat dilihat dalam konflik antara Palestina dan Israel, di mana saudara-saudara Muslim kita dijajah, sementara negara-negara Islam lainnya hanya memberikan dukungan minimal, seperti bantuan makanan dan obat-obatan, yang dampaknya sangat kecil terhadap perjuangan kemerdekaan.
Namun, bukan ajaran atau syariatnya yang salah, melainkan lemahnya iman dan kurangnya penerapan syariat yang membuat kita terbelakang. Bangsa Yahudi dan Nasrani pun tidak mampu memurnikan ajaran mereka; Taurat dan Injil tidak lagi otentik dan dipenuhi distorsi. Seandainya kita dan mereka mampu menegakkan syariat secara menyeluruh, tentu keadaan ini tidak akan terjadi. Hanya umat Nabi Muhammad yang mampu menjaga keotentikan kitab suci mereka hingga kini.
Kekalahan di perang Uhud menjadi contoh nyata betapa pentingnya menerapkan syariat. Pada mulanya umat Islam memimpin kendali peperangan seketika keadaan menjadi berbalik akibat tidak mengindahkan perintah Nabi Muhammad agar tetap berada di atas gunung. Allah memberikan motivasi pada kaum muslimin agar segera bangkit dari keterpurukan dalam surah Ali Imran ayat 196 yang artinya: “Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.” Imam Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya, Ma’alimut Tanzil fi Tafsir al-Qur’an menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ” adalah umat Islam akan mendapat pertolongan dan keberuntungan dari serangan musuh-musuh di masa mendatang. Dengan syarat “اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ” yaitu apabila umat Islam benar-benar beriman, menerapkan syariat, dan menjauhi larangan-Nya.
Dari pemaparan ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa kondisi ini merupakan ujian dari Allah untuk menguji keimanan kita. Dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, kita perlu tetap teguh pada prinsip dan nilai-nilai syariat Islam. Penerapan syariat dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya kewajiban, tetapi juga landasan untuk mencapai kejayaan. Kejayaan umat tidak hanya ditentukan oleh kekuatan materi, melainkan oleh seberapa dalam kita mengamalkan ajaran agama.
Oleh karena itu, kita harus berusaha agar tidak terpengaruh oleh kemewahan dunia dan arus kekufuran yang dapat menjauhkan kita dari jalan yang benar. Mari kita bangkit dan perkuat iman, serta amalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, agar kita dapat mencapai kejayaan yang hakiki. Allah juga berfirman pada Surah Ali Imran ayat 196 yang artinya:
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri”.
Dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan, bahwa ayat ini turun ketika kaum muslimin mengatakan, “Musuh-musuh Allah sepengetahuan kami berada dalam kenikmatan, sedangkan kami berada dalam kesulitan.” Maksud ayat ini adalah menghibur kaum mukmin agar tidak terpedaya oleh kesenangan dunia yang diperoleh orang-orang kafir dan bebasnya mereka bergerak di seluruh negeri melakukan berbagai perdagangan, lancarnya usaha mereka, dapat bersenang-senang dan menikmati berbagai kesenangan. Semua ini sebagaimana disebutkan pada ayat selanjutnya adalah kesenangan sementara, mereka hanya menikmati sebentar dan akan dilanjutkan dengan azab yang lama.
Baca Juga: Iman; Antara Ucapan dan Perbuatan
Oleh; Syafiq Yahya \ Istinbat