Mengubah Haluan Hawa Nafsu; “Dari Maksiat Menjadi Taat”

Hawa nafsu memiliki karakter bawaan untuk bisa mendorong setiap orang menjadi cenderung dan condong melakukan kemaksiatan. Dalam al-Quran nafsu diilustrasikan layaknya orang berakal yang memiliki kemampuan memerintah setiap orang untuk mengerjakan perkara buruk. Allah ﷻ berfirman dalam menceritakan kisah Nabi Yusuf:

 وَمَا اُبَرِّئُ نَفْسِيْ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبّيِْ إِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

”Aku tidak menyatakan diriku bebas (dari kesalahan), sesungguhnya nafsu itu memerintahkan untuk berbuat kejahatan, kecuali (nafsu) yang telah mendapat rahmat dari Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yusuf[12]: 53)

Syekh Abdul Qadir Isa dalam kitabnya Haqaiq anit-Tasawwuf menyebut bahwa nafsu memiliki sifat-sifat buruk dan moral yang tercela. Sifat dan moral yang tidak baik tersebut apabila dibiarkan maka akan melekat dan mengakar dalam diri seseorang. Imam al-Bushiri dalam Burdah-nya menggubah syair yang menganalogikan nafsu dengan anak kecil, beliau mengatakan:

وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى  حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

“Nafsu itu tak ubahnya anak kecil yang masih menyusu, jika dibiarkan maka ia akan tumbuh dewasa seperti itu, dan apabila engkau menyapihnya maka ia akan tersapih”.

Ketika sampai taraf seperti ini, nafsu menjadi sebuah penyakit akut yang sulit untuk dihilangkan hingga mengambil kendali penuh terhadap diri dan selalu mengarahkannya untuk mencari kenikmatan dalam berbagai hal yang selaras dengan keinginannya, namun berseberangan dengan rambu-rambu syariat.

Baca Juga: MENGGAPAI HARAPAN YANG SEBENARNYA

Meskipun nafsu memiliki karakter bawaan yang identik dengan beragam hal negatif, bukan berarti karakter tersebut sudah paten dan tidak bisa dirubah, karena apabila nafsu tidak dapat diatur menjadi nafsu yang baik, tentu terutusnya Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak dan mengarahkan umat akan menjadi tidak bernilai terlebih para ulama setelah beliau.

Untuk membuktikan nafsu bisa dilatih dan diarahkan pada sebuah tujuan dapat kita lihat dari berbagai hewan yang semula buas bahkan liar menjadi jinak dan penurut setelah melalui proses latihan. Jika hewan bisa terlatih setelah ditempa, maka manusia lebih berpotensi bisa mengendalikan nafsunya ke arah kebaikan, karena manusia adalah makhluk paling sempurna sebab telah diberi bekal oleh Allah ﷻ berupa akal.

Dalam membersihkan nafsu bukan berarti memberangus secara total semua sifat yang terkesan sebagai sifat nafsu yang tidak baik. Yang dimaksud membersihkan nafsu adalah menaikkan level sifat nafsu yang awalnya muncul berdasarkan keburukan dan kepuasan diri menjadi sifat yang keberadaannya dimotori oleh kebaikan dan sejalur dengan prinsip agama.

Rasulullah ﷺ pernah mengalami luka yang sangat parah dalam perang Thaif, bukannya marah beliau justru mendoakan orang yang telah melukainya agar mendapat hidayah dan menganggapnya sebagai sebuah udzur serta memakluminya. Respon tersebut berbanding terbalik ketika Rasulullah mendapati aturan Allah dilanggar, beliau akan marah dan tidak akan tinggal diam.

Teladan Rasulullah di atas memberi gambaran kepada kita bahwa marah meski termasuk salah satu sifat nafsu, jika ditempatkan untuk kepentingan agama maka akan bernilai baik. Sebaliknya, ketika yang dicederai menyangkut urusan personal, Rasulullah tidak marah bahkan mendoakan baik pelakunya.

Sebelum memulai usaha dalam menggiring nafsu ke arah kebaikan, langkah awal yang harus ditempuh adalah tidak rida terhadap nafsu dan meyakini bahwa nafsu memiliki karakter seperti yang telah  diilustrasikan oleh al-Quran dalam ayat di atas, serta menanamkan pengertian bahwa nafsu ibarat belati bermata dua, di samping menjadi pisau paling tajam guna memutus hubungan dengan Allah ﷻ ia juga bisa berperan sebagai transportasi paling cepat yang bisa mengantarkan hamba kepada Allah. 

Ketika pemahaman tentang hawa nafsu telah tertancap, maka seorang hamba beralih pada usaha secara lahiriah dan batin. Usaha lahiriah dimulai dengan mencegah maksiat yang terkait dengan tujuh anggota badan, yaitu lisan, mata, telinga, tangan, kaki, perut dan kemaluan. Hal ini diperlukan sebab masing-masing dari anggota badan tersebut memiliki akses dan koneksi ke dalam hati. Hingga maksiat yang diperbuat melaluinya akan mengakibatkan hati kotor. Di samping pencegahan, usaha lahiriah juga diiringi dengan menyibukkan anggota badan dalam berbagai aktivitas ketaatan.

Setelah usaha lahiriah rampung, tugas selanjutnya adalah berkecimpung dalam usaha batin. Usaha batin mengharuskan seseorang mengganti segala macam sifat tercela menjadi sifat yang baik dan terpuji.

Dalam melintasi usaha lahir maupun batin, seseorang terkadang tersandung dalam kerumitan dan kehilangan arah yang akan dituju. Syekh Abdul Qadir Isa mengatakan bahwa di antara cara untuk mengatasi problem tersebut dengan mencari guru spiritual yang mampu mengetahui masalahnya, memiliki solusi tepat untuk memecahkannya serta bisa membimbing ke tahap yang mesti dilakukan selanjutnya.

Referensi:

Syekh Abdul Qadir Isa, Haqaiq anit-Tasawwuf, 98-104, Darul Irfan.

Abdul Ghani an-Nablusi, al-Hadiqah an-Nadiyah Syarhu ath-Thariqah al-Muhammadiyah, I/323.

Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum, 205.

Oleh: Nuril Anwar/ Istinbat

Baca Juga: Atasi Bahaya Nafsu Dengan Akal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *