Cahaya Hati, Lentera Keimanan

من علامات موت القلب :عدم الحزن على ما فاتك من الموافقات,و ترك الندم على ما فعلته من وجود الزلات

“Di antara tanda hati yang mati adalah tidak merasa sedih tatkala ketaatan terlewati dan tidak menyesali kesalahan yang dilakukan.

Kesucian hati merupakan komponen paling penting bagi kehidupan seorang salik. Seseorang bisa dikatakan baik imannya jika dia sudah bisa meluruskan hatinya, pandai menjaga hati, dan tetap selalu fokus kepada satu tujuan, yaitu ibadah kepada Allah ﷻ semata. Hal ini dijelaskan langsung oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits yang artinya, “Hati merupakan bejana yang akan menumpahkan isi yang ada di dalamnya, sedangkan lisan adalah lubang jalan keluarnya, maka lihatlah seseorang tatkala bicara, lisannya akan menumpahkan isi hatinya, bisa jadi manis, pahit, jernih lagi dingin, dan seterusnya, dan senantiasa menuangkan isi hatinya dengan gerakan lisannya”. (HR Abu Nuaim). Iman seseorang bisa sehat dan sempurna jika hatinya sudah bersih dan sehat. Begitu juga sebaliknya, cahaya keimanan akan sirna jika hatinya buram atau bahkan mati.

Iman yang lurus dalam berislam merupakan dambaan bagi setiap mukmin. Sebab, dengan iman yang lurus itulah seseorang dapat memperoleh kebahagiaan dalam setiap aktivitas kehidupanya di dunia, terlebih di akhirat kelak. Jadi, jelaslah bahwa iman yang lurus dapat mengantarkan pemiliknya mempuanyai komitmen yang kuat dalam setiap aktivitas dan dapat  mempermudah pemiliknya menempuh suluk rabbaniyah.

Kesimpulanya, bagaimana seorang hamba bisa dikatakan baik imannya, jika dia saja tidak bisa mengendalikan dan meluruskan hatinya, bahkan condong mengikuti hawa nafsunya. Orang yang selalu mengikuti hawa nafsu, hatinya akan mengeras dan terus mengeras hingga akhirnya hati itu mati.

Sekarang, bagaimana kita bisa mengetahui kriteria hati yang telah dikatakan mati yang mengindikasikan lemahnya keimanan pemiliknya, sedangkan hati merupakan barang yang yang tak dapat dilihat. Dalam hal ini Syekh Ibnu Athaillah menjelaskan masalah tanda hati yang mati. Dalam kitab al-Hikam-nya, beliau mengatakan:

من علامات موت القلب :عدم الحزن على ما فاتك من الموافقات,و ترك الندم على ما فعلته من وجود الزلات

Artinya: “Di antara tanda hati yang mati adalah tidak merasa sedih tatkala ketaatan terlewati dan tidak menyesali kesalahan yang dilakukan.

Dalam kutipan di atas, Syaikh Ibnu Athaillah menyebutkan dau pemicu yang menyebabkan matinya hati seorang hamba. Pertama, tidak merasa sedih saat sebuah ketaatan terlewati. Seorang salikin yang sedang mencari ketenangan hati dan mencoba membangun benteng keimanan yang  kuat, akan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Dia akan selalu berusaha mengisi waktunya dengan aktivitas yang positif, sehingga tak ada waktu yang terbuang di dalam hidupnya. Berbeda dengan orang yang berhati buram, dia tidak menghiraukan perintah Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Bahkan dia tidak merasa sedih ketika ingat bahwa dirinya sama sekali tidak melakukan ketaatan.

Namun demikian, hati yang telah mati tak lantas kita biarkan begitu saja. Sebab, hati yang telah mati sekalipun, masih bisa dihidupkan kembali dengan melakukan beberapa tazkiah (proses penyucian hati). Tazkiah yang paling sering digunakan adalah dengan cara meng-istiqamah-kan (meneguhkan) hati dalam jalan keimanan dan mudawamah (konsisten) di dalamnya. Allah ﷻ berfirman dalam al-Quran yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ

Artinya: “Sesungguhnya orang yang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah.’ Lalu mereka lurus pendirianya (istiqomah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ‘janganlah kalian merasa takut, dan janganlah kalian merasa sedih. Berbahagialah kalian dengan (mendapatkan) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian.”  (QS. al-Fussilat; 30)

Istiqomah dan mudawamah adalah kunci dalam menjaga hati. Yakni seseorang harus senantiasa meneguhkan hati dengan sikap istiqamah dan berperilaku mudawamah. Karena dengan kedua sikap tersebut, seorang salik mampu menjaga gerak aktif hatinya. Sebab, membiarkan hati pasif akan berakibat pada pemikiran yang jumud. Sebaliknya, membiarkan hati berkembang seenaknya akan menimbulkan daya rusuh yang hebat.

Kedua, tidak menyesali kesalahan yang telah diperbuat. Hati yang hidup tentu sangat memerhatikan kemana arah hatinya. Dan tentu menjadi musibah besar yang harus disesali saat hati nekat terju pada kemaksiatan. Konklusi yang bisa kita tarik adalah selalu menjaga hati agar selalu ingat bersih tanpa noda sedikitpun. Jika terlanjur menodainya dengan beragam maksiat maka hendaknya dibersihkan dengan tazkiyatun nafsi. Wallahu ‘Alam bih-Shawab.

Ditranslit dan dikirim oleh: Alfin, Eks Redaksi Maktabati, A-14

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *