Konversi Dakwah dalam Debat

Perdebatan sepertinya menjadi salah satu hidangan yang sering mengisi beranda berbagai platform media sosial saat ini. Dari beragam diskusi yang disuguhkan, tema seputar keagamaan memperoleh antusiasme tinggi dari masyarakat. Namun, jika pembahasan agama diangkat ke dalam ruang perdebatan maka urusannya menjadi sangat sensitif, sebab disaksikan langsung oleh publik yang mayoritas merupakan kalangan awam. Hal ini bisa kita lihat dari reaksi publik yang pro-kontra, antara mendukung, mengkritik, skeptis dan fanatik buta terhadap pihak yang sesuai dengan pandangan pribadinya. Padahal kebenaran dalam agama memiliki standar tersendiri yang dijadikan acuan, bukan berlandaskan selera masing-masing orang.

Tugas utama dalam dakwah adalah menyampaikan ajaran agama kepada orang lain. Tetapi, tidak semua dakwah berjalan dengan mulus tanpa rintangan. Tak jarang kita dapati, ajaran yang disampaikan justru mendapat sanggahan, kritikan atau bahkan penolakan. Dalam situasi seperti ini, adu argumentasi menjadi salah satu cara yang efektif untuk tetap bisa menyampaikan ajaran yang benar kepada lawan bicara dan mematahkan premis-premis yang dibangunnya dalam menyangkal dakwah.

BACA JUGA: ETIKA DALAM BERDEBAT

Jika penyampaian ajaran telah memasuki ruang perdebatan, maka seorang dai harus menyadari konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Terkait ini, Allah ﷻ telah memberikan gambaran pengalaman Nabi Nuh yang mendapati penentangan ketika mengajak kaumnya untuk menyembah Allah ﷻ, dalam surah al-A’raf 59-61:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.  قَالَ اْلمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِيْ ضَلَالٍ مُبِيْنٍ.  قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِيْ ضَلَالَةٌ وَلَكِنِّيْ رَسُوْلٌ مِنْ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ.

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, tiada Tuhan bagi kalian (yang berhak disembah) selain Allah. Sesungguhnya aku takut (jika kalian tidak menyembah-Nya) kalian tertimpa azab yang besar’. Sekelompok (pembesar) kaumnya menjawab, ‘Sungguh kami melihatmu berada dalam kesesatan yang nyata’. Nabi Nuh berkata, ‘Wahai kaumku aku tidak dalam kesesatan, tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam’.” (QS. al-A’raf [7]: 59-61)

Kisah Nabi Nuh di atas memberikan wawasan bahwa dakwah yang ditujukan kepada orang yang berbeda ideologi berpotensi mengalami penolakan dan sanggahan. Bahkan mereka tidak ragu untuk memvonis dai sebagai orang yang sesat.

Ketika arah perdebatan lawan bicara telah keluar dari ranah ilmiah, dengan menyeret vonis sesat sebagai argumentasi untuk menjatuhkan, maka di sini seorang dai tidak boleh goyah serta kehilangan stabilitas emosional dan empati terhadap lawan bicaranya. Hal itu bisa kita lihat secara jelas dari respon Nabi Nuh atas vonis sesat yang disematkan oleh kaumnya. Cara seperti ini selaras dengan firman Allah ﷻ yang berbunyi:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِاْلحِكْمَةِ وَاْلمَوْعِظَةِ اْلحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ أَعْلَمٌ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَأَعْلَمُ بِاْلمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik, sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]: 125)

Dari ayat tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi penekanan tugas seorang dai terutama dalam ruang diskusi atau perdebatan. Di antaranya, memakai bahasa yang baik saat berargumen, penuh etika, tenang, menjaga intonasi, menghindari ujaran ofensif, kata-kata yang bersifat provokatif dan merendahkan. Meski demikian, bahasa yang dipakai tetap memiliki kekuatan argumentasi dan kejelasan kebenaran.

Apabila seorang dai telah mengaplikasikan semua instrumen yang ada, tetapi lawan bicara terus-menerus berada dalam kedegilan dan bersikeras atas pendapatnya, maka hendaknya ia menghentikan perdebatan tersebut.

Jika situasinya seperti yang telah disebutkan, maka menghentikan perdebatan adalah langkah yang bijak dan benar karena sebagian orang yang gemar berdebat tidak mau mencicipi manfaat dari perdebatan. Hal ini bisa terjadi sebab orientasi mereka dalam beradu argumen bukan untuk memverifikasi kebenaran. Akan tetapi, hendak menampakkan pembangkangan dan penafian kebenaran lantaran merasa dirinya superior.

Nuril Anwar/Istinbat

Referensi: SEORANG ZUHUD YANG KAYA

Abdul Karim Zaidan, Ushulud-Dakwah, 478-479. Maktabah Syamilah

Hafidzuddin Abul Barakat an-Nasafi, Madarikut-Tanzil wa Haqaiqut-Takwil, II/241. Maktabah Syamilah

BACA JUGA:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *