Tafsir Qurani atas Konflik dan Ketegangan Antarbangsa

Konflik antarnegara telah menjadi babak panjang dalam sejarah umat manusia, baik dalam bentuk kolonialisme, perang terbuka, maupun perang modern yang dikemas dalam ekonomi dan ideologi. Al-Quran sebagai kitab petunjuk tidak tinggal diam terhadap realitas kekerasan ini. Al-Quran tidak hanya menyoroti akar konflik, tetapi juga memberi jalan keluar yang adil dan bermartabat. Salah satu ayat yang tajam membahas soal konflik dan kekacauan dalam skala sosial-politik adalah Q.S. al-Baqarah ayat 217:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْاۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ۝٢١٧

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Namun, menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Fitnah (pemusyrikan dan penindasan) lebih kejam daripada pembunuhan”. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu jika mereka sanggup. Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. (QS. al-Baqarah [2] : 217)

Frasa yang menjadi sorotan utama dalam ayat ini adalah “wal-fitnatu akbaru minal-qatl”, (fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan). Dalam bahasa al-Quran, fitnah tidak hanya berarti cobaan, tetapi juga merujuk pada kekacuan sosial, kekerasan struktural, penindasan, dan segala bentuk penjajahan yang mencabut hak hidup manusia secara kolektif.

Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, fitnah dalam konteks ini ayat ini berarti perbuatan sistematis yang menjerumuskan manusia ke dalam kehancuran akidah, moral, dan kemanusiaan. Adakalanya dengan cara menimbulkan keraguan dalam hati mereka, atau adakalanya dengan cara menyiksa mereka sampai keluar dari agama atau mati.[1]

BACA JUGA: Rakyat dan Penguasa: Harmoni dalam Sistem Musyawarah Rasulullah ﷺ

Menurut Syekh Fakhruddin ar-Razi, fitnah ini berarti tindakan menindas orang Muslim untuk keluar dari agamanya, baik dengan cara membuat hati mereka ragu akan akidahnya atau dengan membuat kekerasan yang berkelanjutan hingga berujung kematian, seperti yang dialami oleh Shahabat Bilal, Shuhaib bin Sinan, dan Ammar bin Yasir.[2]

Jadi, fitnah dalam konteks ini dapat diartikan sebuah tindakan menindas, merampas hak-hak dasar manusia, dan menciptakan sistem kekacauan dan kekerasan yang berkelanjutan. Bahkan, jika tidak ada darah yang tertumpah, sistem kekerasan ini jauh lebih menyakitkan dan membahayakan daripada pembunuhan, karena hal tersebut dapat menciptakan penderitaan yang meluas.

Konflik antarnegara seringkali bukan soal perbedaan agama atau budaya, tetapi soal kekuasaan, ekspansi ekonomi, dan dominasi politik. Ayat ini menunjukkan bahwa menghalangi manusia dari jalan Allah ﷻ, mengusir mereka dari tanah suci, dan menutup akses terhadap kebenaran adalah bentuk kezaliman struktural. Ini mirip dengan bagaimana negara adidaya masa kini menggunakan teknologi, sanksi, dan kekuatan militer untuk mengendalikan negara-negara kecil tak berdaya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Fakhruddin ar-Razi dari kesimpulan penjelasan sebelumnya, bahwa fitnah bisa menjadi lebih mematikan dari perang fisik, karena dapat merusak akidah, identitas, dan masa depan sebuah masyarakat. Maka konflik yang dilandasi oleh penjajahan atau kolonialisme pemikiran adalah ancaman yang lebih halus, tapi jauh lebih berbahaya.[3]

Ayat ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap sistem global yang mempertahankan ketimpangan. Penindasan ekonomi, eksploitasi sumber daya oleh negara besar, serta propaganda yang menyesatkan publik itu termasuk dalam fitnah versi kontemporer. Bahkan fitnah digital semacam manipulasi informasi untuk menciptakan kebencian telah menjadi pemicu konflik baru antarnegara.

Ayat ini juga mengajarkan prinsip penting dalam etika konflik, yakni tidak semua kekerasan itu setara, dan tidak semua perang itu kejam secara kejam. Ada situasi di mana perang merupakan respon terhadap kezaliman, dan dalam situasi tertentu tidak melawan adalah bentuk pembiaran terhadap ketidakadilan. Namun, al-Quran juga menggarisbawahi bahwa perang tetap dosa besar, dan harus dihindari semaksimal mungkin.

Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam bukan agama glorifikasi peperangan, melainkan agama yang sangat berhati-hati terhadap konsekuensi sosial dan spiritual dari konflik. Dalam konteks ini, al-Quran mendorong umat Islam untuk membela yang tertindas, membongkar struktruk fitnah, dan tidak berdiam diri dalam konflik yang memihak kekuasaan zalim.

Quran surat al-Baqarah ayat 217 ini menyajikan pandangan Qurani yang mendalam, mengenai konflik dan keadilan global. Ayat ini juga mengajarkan bahwa kekerasan bukan hanya dalam bentuk senjata, tetapi juga dalam bentuk sistemik, yakni fitnah, penindasan, dan kebohongan publik.

Islam bukan agama yang membenarkan perang tanpa sebab, tetapi juga tidak membiarkan kezaliman berlangsung atas nama perdamaian semu. Dalam dunia yang diliputi konflik geopolitik dan manipulasi media, ayat ini menyeru kita untuk tetap berpihak pada kebenaran dan melawan fitnah dengan hikmah.

Saiful Anwar/Istinbat\

BACA JUGA: Sikap Ahlusunah Terhadap Konflik Shahabat


[1] Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, II/265, Maktabah Syamilah

[2] Syekh Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul-Ghaib, III/38, Dar al-Fikr

[3] Ibid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *