Perang Kita
Dalam dunia militer, perang adalah jalan terakhir untuk membela dan melindungi negara. Segala intrik dan tipudaya hampir selalu digunakan dalam perang. Akan tetapi, bukan perang ini yang kami maksud di sini. Perang yang ingin kami ulas adalah perang dalam konteks kesantrian yang sangat menarik untuk dibahas. Ia adalah perang spiritual (mujahadatun nafs) dan pemikiran.
Pertama, perang spiritual yang lebih diistilahkan dengan mujahadatun nafs (memerangi hawa nafsu). “Andaikata setan bisa tidur, maka kita dapat beristirahat dengan tenang.” Demikian yang disampaikan oleh Syekh Hasan al-Bashri ketika beliau ditanya mengenai setan. Nafsu dan syahwat merupakan senjata utama mereka untuk menjerumuskan manusia ke dalam lubang kenistaan. Itu berarti, tak ada waktu bagi kita untuk diam karena perang ini tak akan usai.
Kedua, perang pemikiran. Perang yang melibatkan para pemikir dalam merumuskan, menentukan, atau menemukan kebenaran. Sejak zaman awal Islam, perang ini sudah terjadi. Seperti antara umat Islam dengan kaum Yahudi dan Nasrani, dan kelompok Ahlusunah Wal Jamaah dengan aliran-aliran sesat yang menyimpang. Pada zaman sekarang, perang ini sering terjadi antara cendekiawan Muslim dengan kaum orientalis, atau dengan para pemikir liberal yang sering kita dapati di dunia maya. Bekal yang diperlukan untuk ikut andil dalam perang ini adalah ilmu yang memadai, pengalaman yang mumpuni, dan pengamatan terkini mengenai peta pemikiran dan isu yang sering digulirkan untuk menggiring opini ke arah tertentu. Selain itu, istilah ini sebenarnya juga cocok bagi mereka yang berlomba-lomba dalam mencari ilmu, mengemukakan pendapat dan membandingkan analisis hukum yang telah dihasilkan untuk kemudian didiskusikan dalam sistem musyawarah atau halakah. Simulasi perang pemikiran ini akan lebih mematangkan kadar intelektual kaum santri sebelum menghadapi perang pemikiran di dunia luar untuk membela Ahlusunah Wal Jamaah.
Oleh: M. Zaki Ghufron