Al-Imam Abul-Hasan al-Asy’ari; Simbol Ahlusunah wal-Jamaah

Beliau merupakan pemimpin Ahlussunah, ulama yang bertakwa, penolong sunah, syiar bagi umat Islam, dan hujah atas ahli bid’ah. Bernama lengkap Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari, shahabat Rasulullah ﷺ. Imam Asy’ari lahir pada tahun 260 H. Beliau lahir di Bashrah, lalu pindah ke Baghdad hingga wafat di sana. Ayah beliau bernama Ismail bin Ishaq, merupakan ulama ahli Hadis. Ketika menjelang wafat, beliau mewasiatkan Imam Asy’ari kecil kepada Syaikh Zakariya bin Yahya as-Saji, yang menjadi panutan Fikih dan Hadis saat itu. Di bawah asuhannya, Imam Asy’ari mempelajari ilmu Fikih dan Hadis, tepat sebelum beliau beraliran Muktazilah.

Kemudian beliau mengikuti jalan Syekh Abu Ali al-Jubbai yang beraliran Muktazilah. Jalan ini beliau tekuni selama 40 tahunan. Ada juga yang menyatakan sekitar 30 tahun. Beliau begitu giat dalam menyebarkan dan mendalami pemikiran Muktazilah, hingga menjadi rujukan Muktazilah pada masanya. Namun kemudian, berbagai keisykalan tiba-tiba muncul dalam benaknya. Satu-persatu kecacatan konsep Muktazilah mulai membanjiri pikirannya, hingga beliau mengadukan berbagai keisykalan itu ke beberapa gurunya, namun tidak kunjung ada jawaban yang memuaskan.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keluarnya Imam Asy’ari dari ajaran Muktazilah. Sebagian riwayat mencatat bahwa beliau didatangi oleh Rasulullah dalam mimpinya, kemudian Rasulullah meminta agar beliau menolong Hadis-Hadis Nabi, sedangkan data lain mengurai bahwa faktor yang melatarbelakangi keluarnya beliau dari ajaran Muktazilah adalah tidak menemukan jawaban yang memuaskan dari para gurunya. Meski demikian, kedua faktor tadi tidaklah saling menafikan. Bisa jadi dua faktor tersebut sama-sama benar adanya.

Termasuk ketidakpuasan Imam Asy’ari dengan jawaban gurunya adalah kisah perdebatan beliau dengan Syekh Ali al-Jubbai mengenai konsep Shalah wal-Ashlah (Tuhan harus berbuat yang baik dan terbaik). Imam Asy’ari menanyakan tentang nasib anak kecil, orang mukmin dewasa yang saleh, dan orang kafir di akhirat kelak.

Lantas al-Jubbai menjawab bahwa orang mukmin mendapat kedudukan yang tinggi di surga, anak kecil hanya berada di surga tanpa kedudukan yang tinggi, dan orang kafir kekal di neraka. Imam Asy’ari bertanya balik, “Bagaimana jika si anak kecil menggugat ‘Ya Tuhan, mengapa engkau tidak memberikanku kedudukan tinggi seperti orang mukmin itu?.” Al-Jubbai berkata, “Tidak bisa, tentu Tuhan akan menjawab ‘Karena kamu tidak beramal saleh seperti yang dilakukan orang mukmin itu.”

 Imam Asy’ari membalas, “Bagaimana jika si anak kecil membalas ‘Itu bukan salahku, andaikan Engkau menghidupkanku hingga dewasa, tentu aku akan beramal saleh seperti orang mukmin tersebut.” Al-Jubbai menjawab, “Tentu Tuhan akan bilang “Aku mengetahui masa depanmu. Jika kamu Aku hidupkan hingga dewasa, maka kamu akan durhaka, dan bermaksiat kepadaku. Oleh karenanya, aku mematikanmu sejak kecil, untuk menyelamatkan nasibmu di akhirat, agar tidak mendapat siksa”

Imam Asy’ari menukas “Lantas bagaimana jika orang kafir yang mengadu, ‘Ya Tuhan, Engkau mengetahui masa depanku, dan masa depan anak kecil itu. Mengapa Engkau tidak mematikanku sejak kecil? Agar aku bisa selamat dari siksa sebagaimana anak kecil itu?.”  Al-Jubbai hanya menjawab “Kamu hanya ingin merusak keyakinan yang sudah ada,” Imam Asy’ari membalas, “Justru kamu yang tidak bisa menjawab pertanyaanku”. (Madzahibul-Islamiyyin, Dr. Abdurrahman Badawi, hlm. 498)

Kemudian tiba saatnya Allah membukakan pintu hati beliau. Selama 15 hari, beliau tidak keluar dari kediamannya. Setelah menjalani proses yang amat melelahkan itu, beliau keluar menuju masjid jamik, menaiki mimbar, lalu berteriak, “Wahai orang-orang, siapa yang mengetahuiku, maka ia telah mengetahuiku. Yang tidak mengetahuiku, maka aku akan memperkenalkan diriku. Aku adalah fulan bin fulan, yang pernah menyatakan bahwa al-Quran itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat di akhirat, seorang hamba menciptakan perbuatannya sendiri. (Saksikanlah) bahwa aku telah bertaubat dari ajaran Muktazilah, dan keluar dari berbagai kecacatan mereka. Wahai orang-orang, aku telah menyendiri beberapa hari untuk meneliti beberapa dalil yang aku punya, tapi aku tidak menemukan salah satunya unggul daripada yang lain. Lalu aku pun meminta petunjuk pada Allah, lantas Allah memberikanku petunjuk pada keyakinan yang telah aku tulis dalam beberapa kitab ini. Aku telah melepas berbagai keyakinan yang telah aku tekuni selama ini, sebagaimana aku melepas baju ini.” Kemudian beliau melepas bajunya, lalu melemparkannya. Kemudian menyerahkan beberapa kitab yang beliau tulis kepada orang-orang, sesuai dengan ajaran yang benar, dan mengikuti jalan para ahli Fikih, dan Hadis. (Ahlus-Sunnah al-Asyairah, hlm. 40)

Imam Asy’ari memiliki beberapa murid yang kemudian menjadi penerus estafet pemikiran beliau dan menjadi pentolan Ulama Ahlussunah wal Jamaah, yang gigih memberantas aliran-aliran sesat setelahnya. Di antara murid beliau yang terkenal memiliki andil besar dalam perkembangan Mazhab Asy’ariyah adalah al-Imam Abu al-Hasan al-Bahili al-Bashri, al-Imam Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri, al-Imam Abu Muhammad ath-Thabari, al-Imam Abi Bakr al-Qaffal asy-Syasyi, dan al-Imam Abi Sahl as-Sha’luqi an-Naisaburi.

Lalu, para murid beliau juga memiliki berbagai murid yang menjadi tokoh besar di masanya, seperti al-Qadhi Abi Bakr al-Baqillani, al-Imam Abi Ali ad-Daqqaq, al-Imam Abi Bakr bin Faurak, dan al-Hafizh Abi Nuaim al-Ashbihani. Pemikiran Imam Asy’ari menjadi konsep ajaran Ahlussunah wal Jamaah, yang kemudian tersebar di berbagai wilayah, dan dibawa oleh tokoh-tokoh besar dari kalangan ulama Fikih, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, juga Hanbali, sebagaimana dijelaskan oleh Imam as-Subki dalam kitab ath-Thabaqat, juz III, hlm. 365.

وَقَدْ ذَكَرَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ عِزُّ الدِّيْنِ بن عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ عَقِيْدَتَهُ اِجْتَمَعَ عَلَيْهَا الشَّافِعِيَّةُ وَالمَالِكِيَّةُ وَالحَنَفِيَّةُ وَ فُضَلَاءُ الْحَنَابِلَةِ

Syaikhul Islam Izzuddin bin Abdus Salam berkata, ‘Bahwa akidah Imam Asy’ari diikuti oleh para ulama dari mazhab Syafii, Maliki, Hanafi, dan pemuka mazhab Hanbali.”

Ada beberapa pendapat mengenai tahun wafatnya Imam Asy’ari. Al-Khatib al-Baghdadi mengurai bahwa Imam Asy’ari wafat kisaran tahun 320-330 H, sedangkan menurut Abu Muhamad Ali bin Hazm al-Andalusi, beliau wafat tahun 324 H. Pendapat terakhir ini yang lebih shahih, sebab, sesuai dengan yang ditulis oleh al-Imam Abi Bakr bin Faurak, murid Imam Asy’ari. Beliau dimakamkan di daerah Turbah, Baghdad, tepatnya di samping masjid, yang lokasinya berada di sisi kiri jalan pasar menuju sungai Dajlah.

Imam Asy’ari tercatat sebagai ulama yang produktif. Kebanyakan kitab yang beliau tulis mengulas seputar ilmu teologi. Di antara buah karya beliau adalah al-Fushul fir-Raddi alal -Mulhidina wal -Kharijina ‘anil-Millah, yang memuat seputar Atheis, Barahimah, Yahudi, Nashrani, dan membantah kerancuan ideologi mereka. Kemudian kitab Idhahul-Burhan fir-Raddi ala Ahliz -Zaighi wath -Thughyan, al-Luma’ fir-Raddi ala Ahliz-Zaighi wal-Bida’, al-Mukhtashar fit-Tauhidi wal-Qadar, Ziyadatun-Nawadir, Jawabatu Ahli Faris, Adabul-Jadal, dan ada tiga kitab yang dinisbatkan kepada Imam Asy’ari, namun masih disangsikan statusnya, yaitu al-Ibanah fi Ushulid-Diyanah, Risalah fi Istihsanil-Khaudhi fi ilmil-Kalam, Risalah Kutiba biha ila Ahlits-Tsaghri bi Babil-Abwab. Wallahu a’lam.  

Oleh : Akmal Bilhak / Redaksi IstinbaT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *