Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani; Simbol Ahlussunah setelah al-Asy’ari
Kebanyakan ulama dikenal dan disorot ketika sudah memiliki pengaruh dan peran besar dalam keilmuan Islam. Begitu juga dengan al-Qadhi Abu Bakar. Hampir tidak ditemukan data yang lengkap dan detail mengenai masa kecil beliau. Bahkan tahun kelahiran beliau tidak diketahui secara pasti. Meski az-Zirikli mencatat bahwa beliau lahir pada tahun 338 H, tetapi sayangnya tidak ditulis dari mana asal sumber informasi tersebut, sehingga tahun tersebut masih belum kuat untuk dijadikan pijakan.
Beliau bernama lengkap Muhammad bin ath-Thayyib bin Muhammad bin Jakfar bin al-Qasim. Kunyah beliau adalah Abu Bakar, tetapi beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Baqillani, yaitu nisbat kepada penjual sayur (al-Baqilla’) yang menjadi profesi ayahnya. Lalu seiring berjalannya waktu, sebutan Ibnu mulai dibuang sehingga beliau dikenal dengan sebutan al-Baqillani.
Beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah, tepatnya di bawah kepemimpinan Khalifah al-Muthi’ lillah yang menjabat sebagai khalifah sejak tahun 334 H hingga 364 H. Beliau juga menututi masa khalifah al-Qadir Billah yang menjabat sejak tahun 381 H hingga 422 H. Pada masa itu, konflik internal maupun eksternal telah membuat pertahanan Daulah Abbasiyah mulai melemah hingga yang tersisa hanya sekadar panggilan khilafah dan penyebutannya di dalam setiap khutbah.
Beliau lahir di Bashrah. Beliau pernah berada di masa tidak ada seorang pun yang mau menemaninya, baik dari kalangan elit maupun orang biasa, hanya karena beliau seorang anak dari penjual sayur. Akan tetapi, bukan berarti latar belakang itu membuat beliau minder dan patah semangat. Justru pada akhirnya beliau bisa membuktikan bahwa ilmu tidak memandang dari siapa seseorang dilahirkan.
Beliau memulai rihlah ilmiahnya di kota kelahirannya, Bashrah. Lalu melanjutkannya ke Baghdad, yang saat itu menjadi pusat keilmuan dan tempat berkecimpungnya berbagai pemikiran. Beliau juga sempat berkelana ke luar kawasan Iraq guna menimba ilmu kepada para ulama di berbagai daerah, sambil lalu berdebat dengan penganut aliran sesat dan agama lain. Termasuk pusat keilmuan masa itu yang pernah beliau datangi adalah daerah ar-Ray, Ashbihan, Bukhara, dan Ghaznah. Beliau juga menjadi kepercayaan pemerintah, dan diakui akan kecerdasan, kecakapan, dan ketangkasannya dalam mematahkan argumen lawan, sehingga beliau pernah diutus untuk berdebat dengan para sarjana ternama kekristenan mengenai konsep ketuhanan, dan beliau berhasil mengalahkan mereka.
Baghdad memang telah menjadi pusat keilmuan dan aneka ragam pemikiran saat itu, dan telah terbukti mencetak para cendekiawan di masanya, sekelas al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani. Di samping itu, beliau juga aktif dalam berdiskusi dengan para ulama mengenai berbagai bidang keilmuan baik itu tentang agama ataupun kehidupan. Baghdad tidak hanya diisi pemikiran Ahlusunah wal-Jamaah saja, tetapi pemikiran aliran lain, perdebatan, dan adu argumen juga turut andil dalam khazanah keilmuan Islam di sana. Demikian yang melatarbelakangi lahirnya sosok seperti al-Qadhi Abu Bakar yang memahami betul tentang kecacatan ilmiah yang dibangun oleh aliran sesat. Beliau tetap tinggal di Baghdad hingga akhir hayatnya, tepatnya di daerah al-Kurkh, dan dimakamkan di sana.
Di balik sosok seperti beliau, tentu saja ada barisan ulama-ulama hebat yang turut andil dan memberikan pengaruh besar dalam menanamkan ghirah keilmuan dalam benaknya. Beliau memiliki banyak guru yang telah jelas memiliki pengaruh dalam berlangsungnya keilmuan Islam. Dalam ilmu akidah, beliau berguru kepada Abu Abdillah bin Muhammad ath-Tha’i, ulama pakar fikih dan ushul yang menjadi murid generasi pertama Abu al-Hasan al-Asyari, simbol Ahlusunah wal-Jamaah. Kemudian, beliau juga berguru kepada Abu al-Hasan al-Bahili al-Bashri yang dulunya pernah beraliran Syiah Imamiyah, tetapi akhirnya takluk dan tunduk di bawah argumen al-Imam al-Asyari, sehingga dalam ilmu Akidah, al-Baqillani belajar pada kedua murid ternama al-Asyari. Oleh karena kecakapan dan keluasan ilmunya dalam Akidah, beliau dijuluki “Pendiri (Muassis)” kedua Ahlusunah setelah al-Asyari. Kehebatan beliau dalam ilmu kalam ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (IV/379):
كَانَ اَعْرَفَ النَّاسِ بِعِلْمِ الْكَلاَمِ وَاَحْسَنَهَمْ فِيْهِ خَاطِرًا وَاَجْوَدَهُمْ لِسَاناً وَأَوْضَحَهُمْ بَيَاناً وَاَصَحَّهُمْ عِباَرَةً
“Al-Baqillani adalah ulama yang paling mengerti ilmu kalam, paling jeli pemahamannya, paling bagus, dan jelas penyampaiannya, serta paling fasih ungkapannya.”
Dalam ilmu fikih, beliau berguru kepada Abu Bakar al-Abhari, guru besar mazhab Maliki pada masanya, juga seorang hafizh, faqih dan guru besar dalam ilmu al-Quran. Al-Baqillani banyak menimba ilmu fikih mazhab Maliki kepadanya, sehingga menjadi rujukan ulama mazhab Maliki pada masanya, sebagaimana komentar al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartîb al-Madârik (II/203):
كَانَ شَيْخَ المَالِكِيِّيْنَ فِيْ وَقْتِهِ وَعَالِمِ عَصْرِهِ الْمَرْجُوْعِ اِلَيْهِ فِيْمَا اُشْكِلَ عَلَى غَيْرِهِ
“Al-Baqillani merupakan guru ulama Malikiyah pada masanya dan menjadi rujukan terkait problem di antara mereka.”
Sebagai ulama tersohor dan ternama, tentu beliau memiliki berbagai macam karya. Di antara karya beliau yang berhasil dicetak adalah Tamhidul-Awail wa Talkhisud-Dalail, al-Inshaf fima Yajibu I’tiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahlu bihi, I’jazul-Quran, al-Intishar lil-Quran, at-Taqrib wa al-Irsyad ash-Shagir.
Oleh : Akmal Bil Hak / Redaksi Istinbat