Menyoal Gadis Shalihah Bersama Nafsu dan Dosa Jariyah
Di era milenial ini, manusia dibesarkan oleh teknologi yang sudah canggih. Hampir setiap kehidupan kita tak luput dari kecanggihan teknologi. Sehingga, acapkali para wanita diuji dengan nafsunya dan tergiur ingin menampilkan keindahan diri di sosial media ataupun di hadapan orang yang bukan mahram-nya dengan pakaian yang tidak disyariatkan serta menampilkan aurat.
Teringat dengan kisah pasca Rasulullah ﷺ pulang dari perang Badar, beliau bersabda kepada pasukannya, sesuai yang ditulis oleh Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya-Ulumiddin[1]:
وَقَالَ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَوْمٍ قَدِمُوا مِنْ الْجِهَادِ مَرْحَبًا بِكُمْ قَدَمْتُمْ مِنْ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ قَالَ جِهَادُ النَّفْسِ اخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ
“Selamat datang, kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar.” Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jihad (memerangi) hawa nafsu.” (HR. Al-Baihaqi)
Artinya, betapa besarnya kekuatan hawa nafsu hingga Rasulullah pun menggambarkannya sedemikian rupa. Imam Bushiri juga menegaskan dalam Qasidah Burdah-nya tentang nafsu yang bisa mengelabuhi siapapun. Seperti ini bunyi baitnya[2]:
فَلاَ تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا إِنّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ
“Jangan kau berharap dapat mematahkan nafsu dengan maksiat. Sebab, makanan justru bisa memperkuat nafsu bagi si rakus makanan lezat.”
وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
“Nafsu bagaikan bayi, bila kau biarkan akan tetap suka menyusu. Namun bila kau sapih, maka bayi akan berhenti sendiri.”
Sebagian orang menganggap, dengan mengikuti hawa nafsunya, rasa itu akan menghilang karena habis dilampiaskan. Namun ternyata tidak begitu, hawa nafsu akan menjadi-jadi ketika dituruti, bak orang yang rakus jika diberi makanan maka ia malah bertambah kerakusannya, bak seorang bayi bila tidak disapih maka akan tetap hobi menyusu. Nauzubillah, bila sampai hobinya bermaksiat.
Wahai Akhwat, Anda adalah wanita yang tetap cantik tanpa harus dilihat oleh dunia, tetap cantik tanpa harus membuka aurat, tetap cantik tanpa harus melanggar aturan syariat. Bahkan akan terbilang cantik sebagai benda berharga yang menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia bila tampil dengan taat agama, sebagaimana sabda Nabi[3]:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim)
Imam al-Qurthubi menafsiri wanita shalihah di dalam kitab Dalilul-Falihin Syarhu-Riyadhish-Shalihihin dengan perkataannya[4]:
) الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ (قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: فُسِّرَتْ فِي الْحَدِيثِ بِقَوْلِهِ: الَّتِي إِذَا نَظَرَ إلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Wanita shalihah itu bila dipandang maka akan membuat bahagia, bila diperintah oleh suami maka akan taat padanya, dan bila suami tidak sedang bersamanya maka ia akan senantiasa mejaga diri dan hartanya.”
Artinya, wanita shalihah adalah wanita yang taat pada perintah suami. Kendatipun ia tidak bersuami maka senantiasa selalu menjaga diri dengan taat kepada peraturan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah. Sudah barang tentu akan indah dipandang dengan cantik tanpa harus dilihat orang lain kecuali oleh mahram sendiri dan suami. Siapa pula wanita yang tidak mau dikategorikan “sebaik-baiknya perhiasan dunia”? Menjadi wanita shalihah berarti menjadi sebaik-baik perhiasan yang ada di dunia ini. Apabila kita memiliki perhiasan terbaik di dunia tentu kita akan menjaga dan merawatnya dengan sepenuh hati karena saking berharganya benda tersebut.
Di samping itu, ia seyogyanya tidak memposting foto-foto vulgar di sosial media. Khawatirnya, foto yang diunggah akan menimbulkan fitnah dan syahwat orang lain yang melihatnya. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa hukum memosting foto di sosial media pada dasarnya boleh-boleh saja selama hal itu tidak mengundang fitnah. Kriteria fitnah itu di antaranya foto yang mampu memunculkan ketertarikan lawan jenis dan foto seronok yang tidak sesuai etika dan kepatutan.[5]
Apabila menarik terjadinya fitnah maka hukumnya haram. Maka, selagi foto yang menimbulkan fitnah tersebut masih ada atau belum dihapus dan masih dilihat orang maka setidaknya akan menjadi dosa jariyah, bila merujuk pada dawuh Syekh al-Mundziri dalam kitab Faidhul-Qadir:[6]
قَالَ الْمُنْذِرِيُّ: وَنَسْخُ الْعِلْمِ النَّافِعِ لَهُ أَجْرُهُ وَأَجْرُ مَنْ قَرَأَهُ أَوْ كَتَبَهُ أَوْ عَمِلَ مَا بَقِيَ خَطُّهُ وَنَاسِخُ مَا فِيهِ إِثْمٌ: عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَوِزْرُ مَا عَمِلَ بِهِ مَا بَقِيَ خَطُّهُ
Syekh al-Mundziri berkata, “Apabila orang yang menyalin tulisan ilmu yang bermanfaat maka baginya pahala dan pahala orang yang membacanya atau menulisnya, dan juga pahala orang yang mengamalkannya, selagi tulisan itu masih ada. Adapun orang yang menyalin sesuatu yang mengandung dosa maka baginya memperoleh dosa dan dosanya orang yang mengamalkannya, selagi tulisan itu masih ada.”
Keterangan Syekh al-Mundziri memang tidak secara gamblang menyoal tentang dosa jariyah postingan foto yang menetap di sosial media. Namun, sisi intinya adalah bila tulisan atau postingan yang mengandung dosa itu masih ada maka akan menjadi tambahan dosa bagi orang yang menulis atau yang memosting jika dosanya terus menerus dikonsumsi oleh orang lain. Wallahu A’lam
[1] Ihya-Ulumiddin, 3/66, Maktabah Syamilah
[2] Qasidah Burdah Bait 17 dan 18
[3] HR. Muslim. no. 1467
[4] Dalilul-Falihin Syarhu-Riyadhish-Shalihihin, III/107, Maktabah Syamilah
[5] Al-Fiqhu al-Islami, IV/224
[6] Faidhul-Qadir, I/437 Maktabah Syamilah