Selektif Dalam Memilih Pasangan Ideal

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah: Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri, agar kalian merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.

Pernikahan yang terencana dengan baik dapat menciptakan cinta, meskipun antara dua mempelai tidak memiliki satu rasa. Benih-benih cinta akan tumbuh setelah kalimat sakral ‘qabiltu’ teruraikan, walaupun sebelumnya tidak ada kata saling mengenal1. Inilah salah satu penafsiran surah ar-Rum: 21 yang disampaikan oleh Imam Ibnu ‘Asyur.

Tidak ada yang tahu dan bisa memastikan siapa sebenarnya tulang rusuk yang pernah hilang dan akan kembali. Tugas kita adalah mencari bukan menentukan, karena suatu kepastian tidak akan pernah terjamahkan oleh kemampuan seorang insan. Jika Allah SWT telah memastikan bahwa dia adalah jodohmu, sejauh mana pun dia berada tetap akan kembali padamu, melengkapi warna hidupmu dan menjadi pendampingmu. Namun apabila sebaliknya, sedekat apa pun, dia tidak akan berada untukmu.

Mencari pasangan harus selektif, tidak asal tebang-pilih. Karena dia yang ‘terpilih’ adalah orang yang akan berlayar bersama kita di lautan ‘kehidupan’. Bersamanya, bahtera ‘rumah tangga’ harus dibangun sekuat mungkin, karena ombak ‘rintangan dan ujian’ akan datang silih berganti tanpa diketahui. Secara naluri, laki-laki mana yang tidak ingin memiliki istri salihah, dan perempuan mana yang tidak ingin memiliki ‘imam’ yang bisa menuntunya ke surga. Namun perlu diketahui, di sisi lain, masing-masing dari kita juga harus bercermin memantaskan diri dengan orang yang akan dipilih.

Al-Qur’an telah berbicara tentang idealitas antara dua pasang kekasih. Untuk itu, ada baiknya jika kita merenungi kembali ayat ke-26 dalam surah an-Nur:

“Wanita-wanita yang buruk itu untuk laki-laki yang buruk, dan laki-laki yang buruk itu untuk wanita-wanita yang buruk. Dan wanita-wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu untuk wanita-wanita yang baik pula”.

Jika kita membuka lembaran-lembaran kitab tafsir, ayat di atas memberikan arti perintah dari Allah kepada kita, untuk mencari pasangan yang sesuai dengan diri kita. Maka dari itu, jika ada laki-laki yang salih hendaknya dia menikahi perempuan yang salihah, begitulah seterusnya guna memantaskan diri2.

Selain itu, para ulama telah memberikan gambaran beberapa kriteria pasangan yang yang dianjurkan guna melanggengkan pernikahan, baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan, dan dalam tulisan ini kami ringkas sebisa mungkin. Kriteria perempuan yang dianjurkan oleh ulama untuk dijadikan pendamping hidup sebagaimana berikut:

Pertama, cakap dalam beragama. Bagian ini merupakan pondasi untuk melanggengkan pernikahan, karena jika menikahi perempuan yang cacat dalam beragama, dapat membuat suami tidak akan tahan dengan sikap sang istri dan akan berujung broken home’.

Kedua, memiliki etika yang baik. Jika seorang wanita memiliki etika yang baik, maka aktivitas keagamaan akan terasa ringan dengan bantuan sang istri. Namun apabila perempuan itu buruk etikanya, tajam lisannya, dan tidak bisa menerima apa adanya, maka dampak negatif yang ditimbulkan akan lebih banyak dibandingkan dampak positifnya.

Ketiga, memiliki paras yang cantik sesuai dengan selera sang suami. Anjuran ini muncul demi menjaga tujuan asal dari pernikahan, yaitu al-iffah (menjaga diri). Maka dari itu, dengan menikahi perempuan yang cantik akan membantu suami untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Namun, ulama juga menganjurkan untuk tidak mencari perempuan yang tidak terlalu cantik, karena jika menikahi perempuan yang terlalu cantik tidak akan tahan dengan kaum lelaki yang memiliki mata keranjang, dan hal itu menyebabkan lahirnya benih-benih fitnah dalam rumah tangga.

Keempat, perempuan yang tidak menuntut mahar mewah. Anjuran ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW “Perempuan yang paling besar berkahnya adalah perempuan yang paling murah maharnya”.

Kelima, bukan kerabat dekat. Yang dimaksud kerabat dekat adalah Sepupu dari Bibi atau Paman, baik jalur Ibu atau Ayah. Karena jika menikahi perempuan yang masih memiliki kekerabatan yang dekat akan menyebabkan lemah syahwat, dan berdampak akan memiliki keturunan yang kurus.

Keenam, memiliki rating nasab yang baik. Baik disini bukan hanya berarti nasabnya bersambung dengan orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi, melainkan juga memberikan arti memiliki nasab dari orang yang dikenal saleh. Maka dari itu, dimakruhkan menikahi perempuan yang lahir dari perzinahan, perempuan yang bernasab pada orang yang fasik dan perempuan yang tidak diketahui ayahnya.

Ketujuh, gadis. Dibandingkan dengan janda, perempuan yang masih gadis (perawan) lebih baik untuk dinikahi. Keistimewaan yang didapat jika menikahi perempuan perawan adalah dapat menumbuhkan rasa cinta yang kuat dari pihak istri. Karena, cinta akan lebih melekat dan kuat untuk kekasih yang pertama3.

Dan masih banyak lagi beberapa kriteria yang dianjurkan, seperti berakal sempurna, al-Walud dan al-Wadud 4, janda yang belum memiliki anak dan janda yang sudah move on dari suaminya yang pertama5. Semua kriteria tersebut merupakan kriteria yang dianjurkan oleh para ulama. Namun yang namanya gagak berwarna putih memang sangat sukar untuk ditemukan. Maka sangat pantas jika Imam al-Khathib as-Syirbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj berkomentar: “Semua kriteria ini sulit ditemukan dalam diri perempuan-perempuan di dunia ini dan hanya bisa ditemukan dalam diri perempuan-perempuan surga6.

Dipandang dari realitas yang ada, memang hampir tidak ditemukan perempuan yang mencakup kriteria di atas secara keseluruhan. Mencari yang sempurna mungkin bisa dikatakan mustahil, akan tetapi bukan berarti jalan terbaik yang harus ditempuh adalah menjomblo. Maka sangat pantas jika Gus Mus pernah bertutur; “Barangsiapa mencari jodoh yang sempurna, maka bersiaplah untuk jomblo seumur hidup”. Karena jika ia terus menghabiskan waktunya untuk mencari yang sempuna, maka seumur hidup ia tak akan mendapatkannya. Bukan hanya dari pihak laki-laki, pihak perempuan pun ketika mencari ‘imam’ yang sempurna, maka juga akan mengalami hal yang sama. Mencari yang diidolakan memang dianjurkan, namun bukan berarti menutup ruang harapan untuk menerima lelaki yang meminangnya. KH. Asrori Al-Ishaqi pernah menegaskan; “Ojok gampang nolak cinta, mundak angel jodohmu”.

Mengenai kriteria laki-laki yang pantas untuk dijadikan suami oleh kaum Hawa adalah kriteria yang sudah disebutkan di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam al-Qalyubi 7. Maka dari itu, dianjurkan bagi para wali yang memiliki putri, untuk menawarkan putrinya kepada lelaki yang cakap dalam beragama dan memiliki ketakwaan yang mumpuni8. Imam Mutawalli as-Sya’rawi dalam pidatonya berkata: “Begitu pun perempuan dalam memilih suami, jika datang pada kalian (para orang tua) lelaki yang bagus dalam beragama maka nikahkanlah dengan putri kalian. Jika dia mencintai putri kalian, dia akan memuliakannya, jika dia tidak mencintainya, dia tidak akan berbuat zhalim padanya. Inilah sebuah pondasi yang harus dipertahankan oleh dua belah pihak9“. Habib Luthfi bin Yahya dalam salah satu dawuhnya pernah bertutur; “Untuk pemudi, paling penting kriteria calon suami itu semangat bekerja, bertanggungjawab, dan tidak meninggalkan shalat lima waktu”.
Wallahua’lam.

Oleh: Redaksi


Refrensi:

  1. Imam Ibnu ‘Asyur, at-Tahrir wat Tanwir, Beirut, Libanon, XXI/32.
  2. Ayat di atas tidak memberikan arti bahwa jika kita orang baik, akan mendapatkan jodoh yang baik pula, begitu pun sebaliknya. Asumsi inilah yang sering dikatakan banyak orang. Pasalnya, masih banyak orang salih yang bersanding dengan perempuan yang fasik, begitu juga sebaliknya.
  3. As-Syirbini, Muhammad al-Khathib, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul FIkr, III/123.
  4. al-Walud dan al-Wadud.  al-Walud merupakan istilah bagi perempuan yang bisa memberikan banyak momongan untuk suami. sedangkan al-Wadud merupakan istilah bagi perempuan yang bisa mencintai suaminya.
  5. Al-Idrus, Sayin Muhamad Amin bin Idrus, Budurus Sa’adah, Darus Yaikh Abu Bakr bin Salim, hal: 89.
  6. As-Syirbini, Muhammad al-Khathib, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul FIkr, III/175.
  7. Al-Idrus, Sayin Muhamad Amin bin Idrus, Budurus Sa’adah, Yaman, Darus Yaikh Abu Bakr bin Salim, hal: 93.
  8. Al-Anshari, Abu Yahya Zakaria, Asnal Mathalib, Beirut, Darul Fikr, III/118.
  9. As-Sya’rawi, Mutawalli, Tafsir al-Khawathir, Maktabah Syamilah, Hal: 3329.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *