HAKIKAT KEAJAIBAN
Terkadang, manusia oleh Allah dianugerahi nikmat besar berupa pengetahuan tentang rahasia-rahasia agung kekuasaan-Nya, seperti melihat surga, neraka, arsy, alam malakut dan hal abstrak lain yang menakjubkan. Namun riskannya, rahasia kecil dan sepele yang terkubur dalam lubuk sanubari justru tidak terjangkau. Ada apa gerangan? Peristiwa sepele tidak mampu digapai di saat hal besar mudah diraih?
Sejatinya, hal luar biasa seperti melihat surga dan neraka adalah bagian dari mukāsyafah. Menyaksikan peristiwa gaib dengan mata telanjang merupakan keajaiban besar yang hanya dianugerahkan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi, mukasyafah semacam ini bukanlah mukasyafah yang dituju para salik dalam pendakiannya menuju Hadratilllah. Mukasyafah ini esensinya adalah cobaan yang berpotensi membelokkan hati dari setapak suluk dan menyeretnya keluar dari rute wushul. Maka, bagi salik yang tengah menempuh perjalanan jauh menuju Hadratillah, jangan sampai berhenti di tengah jalan lantaran tertipu oleh keajaiban supranatural. la harus terus kontinu melangkah sampai betul betul merenggut mukasyafah hakiki yang meliputi tiga aspek fundamental; tajallish-shifah, asma’, dan dzât.
Selain itu, mukasyafah ini juga bukan pertanda kemuliaan si empunya, walau hal itu terbilang luar biasa dan melawan derus arus istiadat. Akan tetapi, tidak merefleksikan pemiliknya sebagai pribadi super power berpangkat tinggi di sisi Sang Kuasa. Sebab, keistimewaan semacam ini bukanlah identitas shalihin dan kekasih Allah, melainkan anugerah yang murni diberikan-Nya kepada siapa saja yang dipilih-Nya. Oleh karena itu, orang jahat sekalipun bisa saja menuai nikmat ini. Hanya realitas yang ada, rahmat ini biasanya diterima oleh hamba spesial dengan segudang prestasi.
Ada pula orang biasa-biasa, bisa juga dibilang durhaka kepada Allah, justru kebagian anugerah ini. Contoh konkretnya adalah kisah masyhur tentang seorang Nasrani bermaksud mencuri di rumah Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Saat rumah kosong tak berpenghuni, si Nasrani masuk dengan diam diam. Apesnya, ketika hendak beraksi, tiba-tiba Syekh Abdul Qadir memasuki rumah. Spontan, si Nasrani langsung bersembunyi di kolong tempat tidur. Syekh Abdul Qadir yang mengendus kehadiran maling di rumahnya, bukannya mengadili atau mengusir si maling, malah mendoakannya supaya menjadi seorang wali. Benar saja, maling Nasrani itu langsung diangkat sebagai wali abdal sesuai doa sang waliyullah.
Kisah ini adalah bukti bahwa keistimewaan seperti ini murni karunia dari Allah dan tidak dapat diusahakan, diintervensi ataupun ditirakati guna menggapainya. Karena itu, apabila ketepatan di antara kita mendapat anugerah ini, secepatnya sadar diri kalau hakikat keajaiban itu dari Allah agar terhindar dari bisikan setan terkutuk yang berusaha menjebloskan anak Adam pada nestapa pembanggan diri dan takabur. Dengan demikian, kita telah memosisikan sesuatu pada tempatnya. Bukankah manusia memang tidak akan kuasa melakukan hal ajaib seperti itu?
Namun anehnya, ketika rahasia agung yang terkandung dalam perut langit dan bumi berhasil diungkap, rahasia yang kurang sensasional dan fantastik justru terjaga dari pengetahuan. Mata tajam yang tembus pandang, berkelana hingga lapisan langit ketujuh, malah tumpul kala berhadapan dengan hati manusia. Seperti kita tahu, hati adalah gudang misteri. Di sana tersimpan jutaan rahasia. Secara naluri akal, kalau rahasia langit dan bumi saja bisa diungkap, apalagi hanya rahasia manusia yang terkubur dalam hati. Apalah arti misteri manusia dibanding misteri agung kerajaan Sang Khalik. Namun ternyata, Allah menghendaki berbeda. Dia beber rahasia akbar sementara rahasia kecil Dia sembunyikan. Dia berkenan menyingkap tabir misteri alam malakut, tetapi menjaga ketat alam sanubari insani. Kenapa begitu?
Setidaknya, terdapat dua alasan mengapa hal itu dikatakan sebagai sebuah musibah. Pertama, keahlian membaca hati orang lain sedang diri tidak bergelimang rahmat Ilahi mengantarkan hati ke gerbang kehancuran. Alasannya jelas karena hal itu akan memicu diri untuk berbangga hati kepada orang lain, merasa dirinya hebat, dan takjub dengan apa yang bisa dilakukannya. Padahal, jelas sekali perangai-perangai seperti ini adalah akhlak tercela yang harus kita jauhi.
Kedua, keahlian itu bisa menjadi sumber malapetaka. Pribadi yang tak bertahtakan rahmat ilahiah kemudian dianugerahi kemampuan membaca hati, besar sekali kemungkinan ia terjerumus pada jurang nestapa. Bisa-bisa ia mengaku bersifat layaknya Tuhan dan berlagak seolah penguasa. Ringkasnya, Allah tidak memberikan kemampuan untuk membaca hati karena manusia belum siap memikul anugerah agung itu sehingga rentan menyalahgunakannya. Sebab, skill ini mesti diimbangi dengan perasaan iba dan kasih sayang luar biasa yang dalam bahasa Ibnu Athaillah disebut sebagai rahmat ilahiah, seperti merahasiakan kelakuan pendosa, mengasihi orang zalim, membalas kebaikan terhadap orang yang berbuat jahat, dan menyayangi seluruh hamba Allah.
Karena saking beratnya persyaratan untuk menstabilkan diri kala dianugerahi kemampuan ini, Nabi Ibrahim pun tidak lulus seleksi dan berbuah teguran dari Ilahi. Ketika Allah menyingkap rahasia-rahasia langit dan bumi untuk Nabi Ibrahim, Allah memperlihatkan perilaku pelaku maksiat kepadanya. Nabi Ibrahim lalu mendoakan celaka orang itu dan doa beliau langsung dikabulkan oleh Allah karena beliau adalah hamba yang doanya mustajab. Hal itu berulang hingga beberapa kali sampai Allah menegurnya agar tidak mendoakan celaka hamba-Nya yang durhaka. Allah berfirman bahwa meskipun seorang hamba durhaka, masih ada tiga kemungkinan yang bisa dipetik darinya; dia bertaubat, keturunannya saleh, atau dosanya dibawa hingga hari pembangkitan dan nasibnya di tangan Allah; diampuni lalu dihadiahi surga atau disiksa dengan dijebloskan ke api neraka.
Oleh : Hasani / Redaksi Istinbat