KHIDIR, NABI ATAU WALI ( ?)

Khidir adalah seorang tokoh yang Allah ceritakan dalam Surah al-Kahfi ayat 60-82 bersama dengan Nabi Musa A.S. Kisah keduanya bermula ketika Nabi Musa ditanya oleh kaum Bani Israil tentang siapa manusia yang paling saleh di muka bumi ini, Saat itu pula Nabi Musa menjawab bahwa dirinyalah yang paling saleh. Namun, Allah segera menegur Nabi Musa dan mengatakan padanya bahwa masih ada hamba lain yang lebih saleh dari dirinya, bahkan hamba tersebut memiliki ilmu yang tidak Nabi Musa miliki. Dia adalah Nabi Khidir, hamba yang saleh dan mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Nabi Musa.

Khidir adalah nama yang diberikan kepadanya disebabkan peristiwa ajaib yang terjadi atas izin Allah sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

إِنَّمَا سُمِّيَ الخَضِرَ أَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ مِنْ خَلْفِهِ خَضْرَاءَ

“Sesungguhnya dinamakan Khidir karena dia telah duduk di atas tanah putih (tanah yang kering tanpa tumbuhan), lalu bergoncang di belakangnya dan menjadi berwarna hijau (subur dengan tumbuhan).”HR al-Bukhari (3402)[1]

Dalam tulisan kali ini, kami tidak menyajikan tentang cerita keduanya (Nabi Musa dan Al-Khidir). Akan tetapi kami akan mengulas perihal apakah status Nabi Khidir yang sesungguhnya. Apa benar beliau adalah seorang nabi ataukah wali?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Khidir adalah salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah. Pendapat ini disampaikan oleh al-Hafiz ibn Hajar al-‘Asqalani, Imam Ibnu Hajar al-Haitami,[2] Imam Ibnu Hazm al-Andalusi, [3] Imam Syihabuddin ar-Ramli,[4] Imam asy-Syatibi,[5] Imam al-Qurtubi,[6] Imam ibn ‘Atiyyah al-Andalusi, Syekh Muhammad al-Amin asy-Syanqiti,[7] Syekh Abdul Razzaq al-‘Afifi Rahimahumullah, Syekh Yusuf al-Qardhawi[8] dan ulama-ulama lainnya. Ini adalah pendapat yang kuat berdasarkan dalil-dalil berikut:

Pertama, firman Allah ﷻ:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

 “Lalu mereka (Nabi Musa AS dan pembantunya) mendapati seorang hamba (Khidir) dari hamba-hamba Kami yang telah kami karuniakan kepadanya rahmat dari Kami, dan Kami telah mengajarnya sejenis ilmu dari sisi Kami”(QS al-Kahfi: 65)

Syekh Muhammad al-Amin asy-Syanqiti Rahimahullah berkata: “Ulama berbeda pandangan apakah Khidir seorang nabi, atau wali, atau malaikat, tetapi dapat difahami dari ayat-ayat tersebut bahwa rahmat yang dimaksudkan adalah rahmat kenabian dan ilmu ladunni adalah wahyu yang diberikan kepada Nabi Khidir.”[9]

Imam al-Qurtubi Rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas berkata:

“Khidir adalah nabi menurut mayoritas ulama’. Ayat al-Qur’an menunjukkan bahwa Khidir adalah seorang nabi karena beliau tidak melakukan sesuatu melainkan sesuatu tersebut telah Allah wahyukan kepadanya. Sedangkan menurut Qil (pendapat kedua) bahwa beliau adalah lelaki saleh (Wali), bukan seorang nabi. Pendapat ketiga beliau adalah seorang malaikat yang diperintahkan oleh Allah untuk Nabi Musa AS agar belajar ilmu batin darinya. Adapun pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama.”[10]

Kedua, firman Allah ﷻ:

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ

 “Dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut akal fikiranku sendiri. QS al-Kahfi: 82

Ayat ini menunjukkan bahwa Khidir tidak melakukan sesuatu apapun seperti yang terdapat dalam surah al-Kahfi dengan mengikuti kehendaknya sendiri, tetapi tindakan beliau mengikuti wahyu yang diterima dari Allah ﷻ. Imam al-Qurtubi Rahimahullah telah berkata: “Ayat ini menunjukkan sesungguhnya Khidir adalah seorang nabi.”[11]

Imam ibnu ‘Atiyyah al-Andalusi Rahimahullah juga berpendapat: “Kata-kata Al-Khidir: (وَما فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي) menunjukkan bahwa beliau adalah seorang nabi”[12]

Adapun pendapat lain yang mengatakan bahwa Khidir adalah wali bukan nabi antara lain adalah pendapat Syekh Abdur Rahman bin Nasir as-Sa’adi Rahimahullah: “Sesungguhnya hamba Allah yang ditemui oleh Nabi Musa bukanlah seorang nabi, tetapi beliau adalah seorang lelaki saleh kerana beliau merupakan seorang hamba Allah yang dikaruniai rahmat (karomah) serta ilmu, dan tidak disebut bahwa beliau mendapat risalah kenabian, karena jika beliau adalah seorang nabi, maka beliau akan dikaruniai risalah kenabian sebagaimana nabi-nabi yang lain”[13]

Kesimpulan

Kami berpandangan bahwa pendapat yang kuat dalam perkara ini adalah Khidir merupakan salah seorang nabi daripada nabi-nabi Allah berdasarkan dalil dari ayat-ayat al-Quran dan tafsiran kebanyakan para ahli tafsir mengenai ayat-ayat tersebut. Imam ibnu Katsir dan Imam al-Mawardi Rahimahumullah pula telah menukilkan pendapat-pendapat lain mengenai status Nabi Khidir AS, tetapi beliau berdua hanya sekadar menyebutnya tanpa memberikan tarjih terhadap perbedaan pendapat tersebut.

Kami juga ingin memaparkan pendapat Syekh Syu’aib al-Arnauth Rahimahullah dalam kitab Tahqiq Sahih ibnu Hibban berdasarkan apa yang beliau nukil dari al-Hafiz ibnu Hajar al-‘Asqalani Rahimahullah:

وَكَانَ بَعْضُ أَكَابِر العُلَماءِ يَقُولُ: أَوَّل عَقْدٍ يُحِلُّ مِنْ الزَّنْدَقَةِ اِعْتِقَاد كُونِ الخضر نَبِيًّا لِأَنَّ الزَّنَادِقَةَ يَتَزَرعُونَ بِكَوْنِهِ غَيْرَ نَبِيٍّ إِلَى أَنَّ الوَلِيَّ أَفْضَلُ مِنْ النَّبِيِّ

“Sebagian ulama-ulama besar mengatakan: paham pertama kali yang dirusak oleh orang-orang zindik (orang yang sesat) adalah status Khidir sebagai seorang nabi. Mereka (orang-orang zindik) mengatakan bahwa Khidir bukanlah seorang nabi melainkan seorang wali, dan dengan pendapat ini mereka memanfaatkan untuk berhujah bahwa seorang wali lebih baik dari seorang nabi.”[14]

Semoga kita dan anak cucu kita selalu diberikan keberkahan oleh Allah ﷻ serta selalu berada dalam keridhaannya Amin.

Oleh: Lutfi Maulana


[1] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhori II /239

[2] Fathul Bari Syarhu Sahih al-Bukhari,  I/221

[3] al-Muhalla bi al-Athar, I/71

[4] Fatawa ar-Ramli IV/222

[5] Al-Muwafaqat, II/507

[6] Al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, XI/16

[7] Adwa’ul Bayan fi Idhahil Qur’an bil Qur’an III/322-323

[8] Fatawa Mu’asirah I/161-163

[9] Adwa’ul Bayan fi Idhahil Qur’an bil Qur’an, III/323

[10] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an XI/16

[11] Idem XII/39

[12] Al-Muharrar al-Wajiz fi TafsiriI Kitab al-‘Aziz, III/537

[13] Taisirul Karim ar-Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hlm. 482

[14] Tahqiq Sahih Ibnu Hibban, XIV/110

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *