Al-Imam Abu Hanifah; Cahaya Fikih dari Negeri Irak

Beliau bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mah al-Kufi, nisbat pada daerah Kufah, Irak yang menjadi tempat kelahirannya. Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H di daerah Kufah, Irak. Pada saat itu, Kufah menjadi tempat pergulatan berbagai pemikiran. Ada majusi dengan ajaran Zoroasternya. Ada Kristen yang mengadopsi pemikiran Yunani kuno. Bahkan pemikiran sekte-sekte Islam, seperti Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, juga berkembang subur di sana. Berbagai corak pemikiran ini yang kemudian hari melahirkan sosok seperti al-Imam Abu Hanifah.

Beliau juga lahir di tengah-tengah keluarga yang berkecukupan. Bahkan beliau memiliki usaha sendiri, yaitu dengan menjual kain sutra dan memiliki beberapa buruh untuk mengerjakan usahanya. Beliau juga enggan menerima berbagai pemberian dari pemerintah. Hal ini timbul dari sikap waraknya. Beliau di kalangan ulama memang terkenal memiliki sifat zuhud dan warak, seperti yang pernah disampaikan oleh Yazid bin Harun tentang Abu Hanifah:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا اَوْرَعَ وَلاَ اَعْقَلَ مِنْ اَبِيْ حَنِيْفَةَ

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih warak dan lebih cerdas ketimbang Abu Hanifah.”

Di Kufah, beliau sering bertemu dengan shahabat Anas bin Malik. Sebab, sepeninggal Rasul, shahabat Anas pindah ke daerah Bashrah, yang letaknya tidak terlalu jauh dengan Kufah, tempat tinggal Abu Hanifah. Ayah Abu Hanifah sendiri berkebangsaan Persia, Kabul, Afghanistan.

Abu Hanifah memiliki banyak guru dalam menimba ilmu pengetahuan Islam. Di antara mereka sebagaimana yag dicatat al-Mizzi dalam kitab Tahdzîbul-Kamâl yaitu ‘Athiyah al-‘Ufi, Nafi’, Salamah bin Kuhail, Abu Jakfar al-Baqir yang masih merupakan Ahlul-Bait Nabi, ‘Amr bin Dinar, dan Hammad bin Abu Sulaiman. Sejarah mencatat bahwa Abu Hanifah paling lama berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, yakni sekitar 18 tahun. (Tahdzîbul-Kamâl, IX, 193).

Di samping keluasan ilmunya, Abu Hanifah dikenal sebagai pribadi yang taat beribadah, dermawan, cerdas, rajin mengerjakan tahajud, mengaji, dan ibadah pada malam hari. Bahkan sebagaimana yang diceritakan dari Asad bin ‘Amr dan dicatat oleh al-Mizzi dalam Tahdzîbul-Kamâl, bahwa selama 40 tahun, Abu Hanifah selalu shalat isya dan subuh dengan satu kali wudhu. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak pernah tidur malam dan mengisinya dengan beribadah selama 40 tahun lamanya.

Beliau juga tercatat memiliki banyak murid yang kemudian hari menjadi pelita di masanya, seperti Zafar bin al-Hudzail al-‘Anbari, al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, Abu Muthi’ al-Hakim bin Abdullah al-Balkhi, dan al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lui, dan tentunya masih banyak lagi murid beliau yang kemudian hari melanjutkan estafet keilmuan fikihnya.

Banyak sekali ulama yang mengapresiasi atas keilmuan, kealiman, hingga tekunnya beliau dalam beribadah. Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak pernah berkomentar tentang Abu Hanifah, “Abu Hanifah merupakan orang yang paling paham fikih.” Al-Imam asy-Syafii juga pernah berkata, “Dalam ilmu fikih, semua orang menjadi keluarga dari Abu Hanifah.” Al-Qadhi Abu Yusuf, yang merupakan murid Abu Hanifah dan melanjutkan perkembangan mazhab Hanafi pernah berkata, “Abu Hanifah memiliki bentuk tubuh yang ideal, tutur katanya jelas, penyampaiannya juga tegas dan lugas.”

Al-Mizzi mencatat bahwa hanya ada 4 orang yang pernah mengkhatamkan al-Quran dalam satu rakaat. Mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim ad-Dari, Sa’id bin Jubair, dan Abu Hanifah. Hal ini dipertegas oleh pernyataan al-Qadhi Abu Yusuf sendiri. Ia pernah berkata:

كَانَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَخْتِمُ الْقُرْآنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْ رَكْعَةٍ

“Setiap malam Abu Hanifah mengkhatamkan al-Quran dalam satu rakaat saja.”

Pernah diceritakan bahwa Abu Hanifah menangis di suatu malam saat sedang membaca al-Quran. Kisah ini ditulis oleh al-Mizzi dalam Tahdzîbul-Kamâl. “Dikisahkan dari al-Qasim bin Ma’an bahwa di suatu malam, saat Abu Hanifah sedang ibadah, ia mengulang-ulangi firman Allah (surat al-Qamar ayat 46) ‘Bahkan hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka. Hari kiamat itu lebih dahsyat, dan lebih pahit’. Abu Hanifah lalu menangis, dan terus bersimpuh hingga terbit fajar.”

Abu Hanifah sering mendapatkan hukuman dari pemerintah lantaran tidak mau diangkat menjadi Qadhi. Yazid bin Umar bin Hubairah, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Kufah saat masa Khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad, pernah mencambuknya, karena Abu Hanifah menolak saat diminta untuk menjadi Qadhi. Lalu pada masa Dinasti Abbasiyah, beliau dipindah ke Baghdad, Ibu Kota Abbasiyah saat itu untuk dijadikan sebagai Qadhi. Namun permintaan ar-Rabi’ Hajib al-Manshur ini juga ditolak oleh beliau, sehingga beliau dipenjara, dan kemudian wafat. Sebagaimana penuturan muridnya, al-Qadhi Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan Syawal, tahun 150 H, yang bertepatan dengan tahun kelahiran al-Imam asy-Syafi’i. (Tahdzîbul-Kamâl, XI, 196).

Oleh: Akmal/Redaksi Istinbat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *