Antara Kebebasan Individu dan Batas Syariah

Dalam kehidupan sehari-hari, selera pribadi menjadi asas bagi banyak pilihan manusia, dari soal makanan, pakaian, hiburan, gaya hidup, bahkan dalam keagamaan. Islam sebagai sistem kehidupan yang syumul, universal, tidak menolak keunikan dan perbedaan selera individu. Namun, dalam kerangka fikih Islami, kebebasan yang lahir dari selera pribadi manusia takluk pada panduan tertentu agar tidak menyimpang dari landasan syariat.

Selera pribadi dari sudut bahasa Arab dikenal dengan sebutkan dzauq (ذوق) artinya rasa, kecenderungan atau pilihan pribadi, atau dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), selera disebut dengan nafsu (kemauan untuk berbentuk sesuatu), keinginan. Selera pribadi terbentuk dari pelbagai faktor; pengalaman, budaya, pendidikan, dan psikologi. Dalam konteks modern, selera sering dikaitkan dengan gaya hidup, identitas diri, dan kebebasan ekspresi individu.

Namun, Islam tidak memahami kebebasan secara mutlak. Kebebasan dalam Islam adalah bersyarat, terikat dengan prinsip takwa dan maslahah (kebaikan umum). Hal ini senada dengan firman Allah ﷻ dalam al-Quran (yang artinya):

“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’ [17]: 36)

BACA JUGA: Syariat Menyikapi Adat

Fikih Islami sebagai produk ijtihad ulama bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia dalam semua aspek. Selera tidak dikecam secara mutlak, sebaliknya selera diterima sebagai bagian daripada fitrah manusia. Namun, fikih menekankan prinsip-prinsip penting untuk memastikan selera itu tidak membawa kepada kemudaratan atau penyimpangan. Maka dari itu, fikih Islami dalam komentar ulama merupakan sebuah sistem atau aturan hidup yang universal dalam hak asasi manusia bukan dalam hak asasi Islami saja.

Selain itu, fikih Islami merupakan hukum yang sempurna dan moderat, tidak terlalu mengekang dan tidak begitu longgar, sehingga sangat baik dijadikan sebagai undang-undang dasar untuk kedaulatan Islam dan kedaulatan negara, karena dalam fikih Islami sendiri memiliki tatanan hidup yang sempurna, mulai dari tatanan hidup yang sepele sampai yang dianggap serius dalam kenegaraan dan keagamaan. Hal yang sepele seperti menjaga fitrah manusia dengan bersiwak, khitan, dan sebagainya. Sedangkan hal yang serius seperti berbisnis dan hak hukum.

Prinsip-prinsip penting yang dibawa oleh fikih Islami ialah menjaga lima hal, yakni menjaga agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Jika selera pribadi merusak salah satu daripada lima hal di atas, maka selera pribadi perlu disekat. Semisal, saat selera mengajak untuk pindah agama demi menikah dengan kekasih pilihannya, maka fikih menjadi palang merah demi menjaga kelestarian agama, atau selera ingin menikmati hiburan dengan minum minuman yang memabukkan yang dibeli menggunakan uang hasil curian, sehingga menjadi jalan berhubungan secara ilegal bahkan berakibat fatal yakni pembunuhan, maka fikih juga berperan sebagai lampu merah guna menjaga tersia-sianya nyawa, menjaga kelestarian nasab, kesehatan akal, dan kesejahteraan harta.

Dalam hal makanan, Islam membenarkan umatnya menikmati yang halal dan baik, halalan thayyiban. Namun, manusia tidak bebas memakan apa saja sesuai selera mereka. Islam mengharamkan makanan yang dapat membahayakan kesehatan seperti mengkonsumsi makanan harus dihindari menurut ahli gizi semisal makan daging olahan tinggi seperti burger, atau makanan yang menjijikkan secara fitrah manusia, khabaits, walaupun makanan tersebut menjadi kegemaran individu.

Dalam hal pakaian, di era globalisasi selera fashion berkembang pesat. Islam tidak menghalang perkembangan fashion, malah menyarankan umatnya berpakaian kemas dan bersih. Namun, batas syariat mesti dipatuhi seperti kewajiban menutup aurat, larangan menyerupai jantina lain, tidak menyombongkan diri, dan tidak meniru budaya yang bertentangan dengan Islam seperti pakaian adat budaya yang vulgar atau pakaian adat orang barat contoh kecilnya rok mini.

Dalam hal hiburan, selera manusia terhadap hiburan; musik, film, media sosial, atau hiburan modern adalah isu kontemporari yang sering menjadi bahan pembahasan fikih. Fikih mengiktiraf keperluan hiburan untuk rekreasi jiwa. Namun, tetap mensyaratkan bahwa hiburan itu mestilah bebas dari unsur haram seperti pornografi, maksiat, dan kerusakan akhlak, bahkan mengganggu dan merusak hak orang lain.

Fikih menyusun bukan menyekat selera, selera yang tidak rapi atau tidak searah jalur syariat maka fikih menyusun dan mengarahkan selera ke jalur yang seharusnya sebagaimana syariat tetapkan. Fikih Islami merupakan ruh kehidupan umat Islam. Pepatah mengatakan, “Kejayaan umat akan terus ada selagi fikih ada. Kejayaan umat akan tiada di saat fikih sudah tidak dianggap ada”.

Selera pribadi bukanlah satu bentuk dosa atau penyimpangan. Selera pribadi sebagian daripada fitrah manusia yang diakui dalam Islam. Namun, kebebasan menurut yang menghamba kepada selera perlu dilaraskan dengan tanggung jawab sebagai hamba Allah ﷻ dan anggota Masyarakat. Fikih Islami menyediakan kerangka yang rapi dan seimbang antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif.

Dalam dunia modern yang menyanjung kebebasan tanpa batas, Islam datang dengan tawaran unik yaitu kebebasan yang mengandung nilai akhlak, dan maslahat. Maka dari itu, seorang Muslim yang berpegang teguh kepada fikih Islami tidak akan memusuhi seleranya, tetapi akan mendidiknya agar tunduk kepada nilai-nilai wahyu, sebab Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki berpendapat, “Andaikan umat Islam sekarang ini menjalakan hukum-hukum fiqh dan ajaran agama Islam sebagaimana di zaman sahabat Nabi, maka mereka akan menjadi umat yang paling sejahtera dan umat yang paling beruntung.” Wallahu a’lam.

Saiful Anwar/Istinbat

BACA JUGA: Bebas tak Berasas; Seputar Kebebasan Beragama

Referensi;

Syekh Zakariya al-Anshari, Ghayatul-Wushul,

Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syari’atullah al-Khalidah,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *