Sekolah Daring, Petaka Pendidikan Kita?
Pendidikan merupakan bagian terpenting ujung tombak kemajuan dan kesalehan dalam kehidupan sosial, agama, politik dan lain-lain. Kemajuan suatu negara dapat dilihat dari perhatian negara itu pada pendidikan dan tingkat keikutsertaan penduduknya dalam pendidikan.
Harus dipahami bahwa pendidikan adalah serangkaian usaha yang berdiri sendiri yang memuat target-target dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa institusi pendidikan tidak lebih dari sekadar perantara yang dijalankan sejurus dengan usaha, target dan tujuan pendidikan.
Sejauh ini, masyarakat kerap salah menilai banyak hal. Banyak di antara mereka tidak dapat membedakan antara hal yang menjadi tujuan dan perantara. Pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan ditempatkan satu derajat di bawah institusi yang notabenenya adalah perantara atau sarana.
Gambaran di atas dapat dibaca seiring perkembangan teknologi dan masalah yang datang silih berganti. Fakta teknologi memperlihatkan serangkaian fasilitas yang serba instan dan bertolak belakang dengan kehidupan sosial. ditambah masalah yang sejurus dengan akibat laju perkembangan teknologi (gap hubungan sosial. red).
Masalah terbaru yang tengah melanda adalah pandemi Covid-19. Masalah ini nyaris mengubah semua tatanan kehidupan, tidak terkecuali pendidikan, lebih tepatnya institusi pendidikan. Pengelola institusi didesak mengatur adaptasi pengelolaan pendidikan yang ada di dalamnya, dan walhasil, sebagian institusi pendidikan memberlakukan kegiatan pendidikan dengan jarak jauh (sekolah online/sekolah daring. red).
Tidak lama setelah sekolah daring diberlakukan, perdebatan-perdebatan bermunculan. Setidaknya perdebatan yang bertebaran itu kembali kepada tiga persoalan: Esksistensi pendidikan, idealisme pendidikan dan tujuan pendidikan dalam institusi sekolah online.
Tiga hal di atas ingin penulis jabarkan dari perspektif berbeda dan mencoba memberikan penawaran kompromi antara fakta, sikap masyarakat dan agama.
Perspektif Sunah
أَدَّبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
“Tuhan mendidikku lalu memperbaik pendidikanku” [1]
Adab dalam hadis di atas diartikan pekerti yang baik dan ilmu yang sampai ke dalam hati. Dapat dipahami bahwa Allah mengajarkan Rasulullah melatih hati dan akhlak yang baik, baik lahir dan batin. Arti Ihsân pada bagian akhir hadis itu adalah Allah memberikan secara langsung kepada Rasulullah suatu anugerah ilmu yang tidak diberikan kepada orang lain.[2]
Perspektif Al-Ghazali
وَالْمُعَلِّمُ مُشْتَغِلٌ بِتَكْمِيْلِهِ وَتَحْلِيَتِهِ وَتَطْهِيْرِهِ وَسِيَاقَتِهِ إِلَى الْقُرْبِ مِنَ الله عَزَّ وَجَلَّ
“Pengajar bertugas menyempurnakan hati, menghiasianya, menyucikannya dan membawanya dekat dengan Allah.”[3]
وَأَدْنَى دَرَجَاتِ الْفَقِيْهِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الآخِرَةَ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا
“Minimal pencapaian pembelajar adalah mengetahui bahwa akhirat lebih baik daripada dunia.”[4]
Perspektif Umum
Dalam UU No. 20 Tahun 2003, ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari pelbagai perspektif di atas, pendidikan menekankan kesalehan pekerti dalam bekehidupan. Tampak sekali bahwa pendidikan dalam perspektif agama lebih menekankan nilai-nilai untuk hari kemudian (akhirat). Sedangkan perspektif umum ingin menyeimbangkan nilai-nilai dunia dan akhirat.
Fakta Sekolah Daring
Kemudian, bagaimana menyikapi pendidikan dalam institusi sekolah online atau daring?
Beberapa sumber menyebutkan bahwa sekolah daring hampir dialami dan diterapkan di seluruh dunia, bahkan Amerika pun tidak ketinggalan. Sekolah-sekolah yang menerapkan sekolah daring mengalami masalah yang sama, yaitu pengaturan ulang sistem dan kegiatan pendidikan. Akhirnya pihak sekolah mengordinasikan semua hal terkait pembelajaran kepada orang tua peserta didik. Orang tua dihimbau untuk ikut serta mengontrol pendidikan dan pembelajaran anak dengan cara melaporkan keseluruhan kegiatan anaknya di rumah kepada pihak sekolah.
Kebijakan itu sejurus dengan himbauan pemerintah yang ingin menghentikan laju penyebaran Covid-19. Sehingga penerapan pendidikan model sekolah daring menjadi solusi satu-satunya. Sekalipun, semua pihak terkait sangat menyadari kemungkinan hasil pendidikan dengan model sekolah daring tidak berjalan seperti saat normal karena faktor kesiapan mental para peserta didik, perubahan pola kegiatan dan lain-lain.[5]
Banyak organisasi yang menyarankan pesantren menerapkan sekolah digital atau daring. Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) Abdul Ghaffar, misalnya, menyarankan pesantren mengembalikan para santri secara bertahap dan mencoba menerapkan sekolah daring karena melihat penyebaran virus.
Menurut Ghaffar, paradigma pesantren tentang hubungan antara guru dan murid dalam belajar yang sudah mengakar selama ini harus digeser, tanpa merasa risih pada penerapan sekolah daring dengan dalih berkah belajar.[6]
Di antara pesantren yang menerapkan sekolah daring adalah Pondok Pesantren Abu Hurairah Mataram. Pimpinan pesantren Abu Hurairah mengatakan bahwa belajar dari rumah (BDR) mempunyai banyak sisi negatif, terutama dalam sisi akhlak santri. Sekalipun demikian, pihak pesantren tersebut tidak bisa berbuat banyak lantaran hasil survei di luar lingkungan pesantren menyebutkan bahwa 60% wali santri menolak dilakukan pembelajaran tetap berlangsung.[7]
Sikap Kita
Telah disebutkan bahwa pendidikan adalah tujuan, sedangkan institusi sekolah adalah sarana. Meskipun disadari perbedaan antara pendidikan saat nomal dan pendidikan masa-masa pandemi. Hubungan langsung antara guru dan murid (talaqqi) sangat berperan menumbuhkan karakter yang baik dalam jiwa peserta didik dengan praktik-praktik konten pendidikan secara langsung dari guru (uswah hasanah).
Walau demikian, selama hak-hak pendidikan seperti kegiatan, target dan tujuan dapat dijalankan, selama itu pula pendidikan dalam model apa pun tidak masalah. Fakt sejarah menyatakan transnfer ilmu jarak jauh sangat mudah ditemukan pada abad pertengahan. Para ulama kita, dulu, berkirim surat – sekalipun pola transfer ini bagian terkecil – ilmu dan hadis ketika terhalang jarak yang sangat jauh.[8]
Oleh: A Dailami
Referensi dan catatan kaki:
- [1] Hadis dari jalur as-Sam’âni (dalam sub pembahasan Adabul Imlâ’, no. 31895) oleh imam Abdurraûf al-Munâwi dan imam as-Sakhâwi dinilai mempunyai mata rantai (sanad) lemah. ‘Alâuddîn Ali al-Muttaqi, Kanzul ‘Ummâl fi Sunanil Aqwâl, X/157, Muassatur-Risalah.
- [2] Muhammad Abdurraûf al-Munâwi, Faidhul Qadîr Syarhul Jâmi’ ash-Shaghîr, VI/73, Darul Kutub al-Ilmiah, cet. l 1994 M.
- [3] Hujjatul Islâm al-Ghazali, Ihyâu Ulûmiddîn, I/14, Pesantren Fathul Ulum, Kwagean Pare Kediri.
- [4] Ibid, 1/06.
- [5] https://www.kompasiana.com/mazdik/5e732d3f097f364c524e8042/korona-dan-belajar-sekolah-daring.
- [6] https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/dN60J8Rk-pesantren-siasati-transisi-kenormalan-baru-lewat-belajar-daring.
- [7] https://lombokpost.jawapos.com/pendidikan/18/06/2020/maksimalkan-belajar-daring-ponpes-abu-hurairah-persiapkan-diri/.
- [8] Berkirim surat dikenal dengan al-Kitâbah, yaitu guru menulis ilmu kepada murid yang berada di tempat berbeda. Praktik ini dibenarkan dengan catatan surat itu disisipi dengan Ijâzah (rekomendasi riwayah dari guru). Dr. Mahmûd ath-Thahhân, Taisîru Mushtalahil Hadîs, 120-123, Darul Kutab as-Salafiyah, Indonesia.