Ingkar Bukan Berarti Intoleran

Jargon ‘Islam Rahmatan lil Alamin’ akhir-akhir ini menjadi status yang sangat diperebutkan oleh beberapa komunitas Islam. Mirisnya, jargon di atas dijadikan sebagai senjata ampuh untuk saling menjatuhkan dan memfitnah kelompok lain yang tidak sepaham. Utamanya, ketika ada sebagian kelompok lain yang sangat ghirah (semangat) dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar, mereka tuduh bahwa tindakan tersebut ‘anarkis’ dan ‘intoleran’, bahkan mereka tuduh bukan bagian dari ajaran Islam.

Perlu menjadi catatan penting bahwa ketika seorang Muslim ingkar atas pelaku maksiat, bukan berarti dia intoleran (tidak saling menghargai). Ibarat seseorang yang menjumpai saudaranya yang hendak meminum racun, maka tentu sebagai saudara, tidak mungkin dia hanya menonton dan membiarkan. Sebagai bentuk rasa simpati, dia seharusnya melarang. Oleh karenanya, Rasulullah e meng-gambarkan umat Islam ibarat sebuah bangunan. Saling menguatkan dan saling mengingatkan, bukan saling menjatuhkan. Rasulullah bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ, يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Artinya: “Seorang Mukmin bagi Mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan. Satu dengan yang lainnya saling menguatkan.” (HR. Abu Musa)

Seorang Muslim yang melaksanakan nahi mungkar kepada pelaku maksiat, bukan berarti dia benci. Bahkan, hal tersebut merupakan bukti cinta sejati kepada Ilahi. Sebab, setiap Muslim yang cinta karena Allah, seharusnya dia harus juga memiliki rasa benci karena pekerjaan yang Allah benci. Imam al-Gazhali sendiri berkata dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, “Ketahuilah bahwa setiap seseorang yang mencintai karena Allah, maka seharusnya ia juga benci karena-Nya. Sebab, jika kamu mencintai seseorang karena dia taat kepada Allah dan dicintai Allah, maka jika dia melakukan maksiat, seharusnya kamu marah, karena dia bermaksiat kepada-Nya dan dibenci di sisi-Nya.”

Ketika kemaksiatan secara terang-terangan didiamkan, maka dapat memunculkan opini pada masyarakat bahwa hal tersebut legal secara syariat. Tentu, bukan hanya agama yang dirugikan, namun moral bangsa dan masyarakat akan semakin turun pesat. Bilal bin Sa’ad berkata:

إِنَّ الْمَعْصِيةَ إِذَا أُخِيْفَتْ لَمْ تَضُرَّ إِلَّا صَحِبَهَا. فَإِذَا أَعْلَنَتْ وَلَمْ تُغَيَّرْ أَضَرَّتْ بِالْعَامَّةِ

Artinya: “Sesungguhnya jika maksiat dilakukan secara sembunyi-sembunyi (tidak ditampakkan), maka tidak dapat membahayakan kecuali bagi pelakunya sendiri. Namun, jika ditampakkan secara terang-terangan, maka membahayakan orang-orang secara general.”

Jika ada kelompok sinis yang menuduh tindakan nahi mungkar merupakan tindakan tidak saling menghargai atau intoleran, justru mereka sendirilah yang intoleran. Mereka tidak menghargai atau toleran terhadap keberlangsungan dan kebaikan moral bangsa dan umat Islam.

Ingat! Jika seseorang nahi mungkar, bukan berarti dia tidak toleransi. Toleransi bukan berarti diam diri akan adanya pelaku dan tempat-tempat maksiat. Toleran tetap harus dibungkus syariat. Dalam syariat Islam, wajib kifayah hukumnya bagi setiap Muslim untuk amar makruf nahi mungkar sesuai aturannya. Tindakan ingkar, bukan berarti benci terhadap individu pihak pelakunya, namun kita benci karena kemaksiatannya.

Oleh: Moh. Baihaqi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *