LEGALITAS PRE-WEDDING DALAM SYARIAT

Secara bahasa, pre-wedding bisa diartikan sebagai masa pra-pernikahan, artinya adalah masa ketika pasangan kekasih belum menikah atau masih akan melangsungkan pernikahan. Oleh karenanya, istilah foto pre-wedding lebih fokus pada sesi pemotretan yang dilakukan oleh  sepasang kekasih sebelum hari pernikahan.

Jika melihat alur dari adanya foto pre-wedding maka dapat diartikan, pemotretan tersebut dilakukan oleh sepasang  kekasih dengan cara saling melihat, saling menatap atau saling bersentuhan yang hanya diperbolehkan ketika sudah menjadi pasangan sah secara syariat.

Laki-laki dan perempuan dapat disebut sebagai pasangan halal jika ijab dan qobul selesai diucapkan. Sayangnya, masih banyak para pemuda dan bahkan orang tua calon pengantin yang belum mengerti sepenuhnya mengenai hal tersebut, karena hal yang semacam itu sudah dianggap sebagai hal biasa seakan-akan sudah menjadi ritual wajib sebelum resepsi pernikahan.

  1. Melihat seseorang yang belum halal untuk dilihat

Berikut beberapa keharaman yang terjadi dalam foto pre-wedding:

Keharaman saling melihat dalam sesi foto pre-wedding sudah sangat jelas, sebagaimana yang disampaikan Syekh Ibrahim al Bajuri di dalam kitabnya, “Haram hukumnya melihat bagian dari tubuh wanita yang bukan mahram (mencakup terhadap telapak tangan dan wajah) sekalipun dengan tanpa syahwat ataupun takut terjadinya fitnah”[1].

Kemudian Imam asy-Syubramillisi memaparkan alasan lanjutan kenapa sekalipun dengan tanpa syahwat memandang bagian tubuh wanita langsung dihukumi haram, karena seorang laki-laki ketika memandang perempuan akan berpotensi menyebabkan keinginan untuk menyentuh dan berduaan dengan orang yang dipandangnya. [2]

  • Tabaruj

Tabaruj adalah berjalan atau melakukan pose di depan ajnabi dengan pakaian yang dapat menarik orang sekitar dan dapat menyebabkan syahwat pada orang yang memandangnya. Tabaruj ini diharamkan oleh syariat sebagaimana larangan Surah An-Nur ayat 31:

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.[3]

  • Bersentuhan dengan orang yang bukan mahram

Imam Nawawi berkata dalam Syarhu Shahih Muslim:

Perkataan (suara) wanita ajnabiyah boleh kita dengar ketika ada keperluan dan suaranya tidak termasuk aurat. Menyentuh kulit wanita ajnabiyah tidak dibolehkan tanpa adanya alasan darurat seperti sebab pengobatan, pendarahan, bekam, mencabut gigi, dan semacamnya, ketika tidak ada wanita yang sanggup melakukannya. Lelaki yang bukan mahram dibenarkan melakukannya disebabkan alasan darurat tertentu”.[4]

Beliau juga menambahkan keterangan ini dalam karangannya yang lain, Raudhatut Thalibin:

Jika melihat wanita yang bukan mahram itu diharamkan, sudah tentu menyentuh kulitnya lebih diharamkan. Hal ini adalah karena menyentuh lebih mudah membangkitkan syahwat[5]”.           

Dari tiga poin di atas maka dapat disimpulkan bahwasannya hukum foto pre-wedding sebagaimana yang lumrah terjadi berhukum haram, karena terdapat tiga unsur keharaman sebagaimana yang dipaparkan di atas. Hanya saja keharaman tersebut bisa hilang jika sesi foto tersebut dilakukan setelah adanya ijab kabul yang sah, dengan artian kedua pasangan kekasih sudah resmi menjadi pasangan suami yang sah secara syariat.

Oleh : Khoiron Rofik


[1] Al-Bajuri, Ibrahim,  Hasyiyatul Baijuri Ala Ibni Qasim. II/105. DKI

[2] Asy-Syubramillisi, Ali. Hasyiyatusy Syabramallisi. XX/186. Maktabah Syamilah.

[3] Al Auqof Al Kuwaitiyah.  Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah. Juz VII/88. DKI.

[4] An-Nawawi, Syarhun Nawawi, ala Shahih Muslim XIII/10, Maktabah Syamilah.

[5] An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, XII/27,  Maktabah Syamilah.

2 komentar pada “LEGALITAS PRE-WEDDING DALAM SYARIAT

  • 15 November 2023 pada 10:34 am
    Permalink

    Assalamualaikum wr wb
    Bagaimana jika calon perempuan mempunyai keinginan yang kuat untuk melakukan foto prewedding,jika tidak diikuti keinginannya maka dia akan marah bahkan ingin membatalkan pernikahannya,sedangkan kita tidak ingin semua itu terjadi karna kita sudah menyiapkan semua dan kita juga sudah benar-benar serius dengan calon istri kita
    Bagaimana tanggapan kita jika mempunyai calon istri seperti itu, terimakasih

    Balas
    • 14 Desember 2023 pada 11:23 pm
      Permalink

      Harus akad dulu.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *