Hadis Cinta dalam Diam

“Barangsiapa yang rindu lalu dia menyimpannya dan menjaga diri sampai ia mati, maka dia mati syahid”

Mencintai keindahan dan kebaikan merupakan sesuatu yang pragmatis. Ia merupakan watak dan naluri yang tidak ada jalan untuk mengubahnya. Maka tidak heran jika para pecinta membahasakan cinta sebagai sesuatu yang datang tanpa diundang.

Cinta adalah sebuah ungkapan dari ketertarikan watak terhadap sesuatu yang dianggap nyaman1. Setiap sesuatu yang ketika ditemukan ada rasa nyaman dan tenang, maka ia akan dicintai. Cinta akan berubah menjadi rindu ketika cinta itu menguat. Rindu sendiri dikenal dengan sebutan Isyq 2. Para perindu meyakini bahwa rindu dapat membunuh mereka melebihi racun yang mematikan.

Banyak kita temukan orang yang mencintai bahkan sampai merindu tapi tidak bisa memiliki. Dia lebih memilih menyimpan dan menahan diri daripada mengatakan apalagi berbuat suatu yang keji. Ia rela menanggung beban rindu yang sangat berat itu sendiri. Ia juga berusaha menjaga kesucian cintanya dengan tidak bermaksiat serta tidak mengumbarnya kepada orang yang dicintai. Beban batin yang ditanggungnya begitu berat, sehingga pantas dia mendapatkan balasan pahala syahid di akhirat. Karena itu, dalam salah satu hadis ia digolongkan sebagai syahid. Dia akan hidup mendapat rizki di sisi Allah3. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَنْ عَشِقَ فَكَتَمَ وَعَفَّ فَمَاتَ فَهُوَ شَهِيْدٌ 4

“Barangsiapa yang rindu lalu dia menyimpannya dan menjaga diri sampai ia mati, maka dia mati syahid”

Dalam Riwayat lain disebutkan:

مَنْ عَشِقَ وَكَتَمَ وَعَفَّ وَصَبَرَ غَفَرَ اللهُ لهُ وَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ 5

Barang siapa yang merindu dan menyimpannya, menjaga diri dan bersabar maka Allah akan mengampuninya dan memasukkannya ke Surga

Syekh Bakry bin Muhammad Syatha dalam Hasyiah I’anah ath-Thalibin mengutip untaian syair yang menyinggung betapa beratnya orang yang jatuh cinta:

كَفَى الْمُحِبِّيْنَ فِيْ الدُّنْيَا عَذَابهُمُ * * تَاللهِ لَا عَذَّبَتْهُمْ بَعْدَهَا سَقَرُ

بَلْ جَنَّةُ الْخُلْدِ مَأْوَاهُمْ مُزَخْرَفَة * * يُنَعَّمُوْنَ بِهَا حَقًّا بِمَا صَبَرُوْا

فَكَيْفَ لَا، وَهُمُ حَبَّوْا وَقَدْ كَتَمُوْا * * مَعَ الْعِفَافِ بِهَذَا يَشْهَدُ الْخَبَرُ

يَأْووا قُصُوُرًا، وَمَا وفوا مَنَازِلَهُم * * حَتَّى يَروا اللهَ، فِيْ ذَا جَاءَنَا الْأَثَرُ

“Sudah cukup di dunia siksaan bagi para pecinta (yang tak sampai). Demi Allah kelak di akhirat mereka tidak disiksa oleh panasnya api neraka.

Surga keabadian akan menjadi tempat bagi mereka, mereka akan dibalasi perhiasan, disuguhi kenikmatan oleh Allah sebagai balasan atas kesabaran mereka.

Bagaimana tidak, mereka cinta, namun merahasiakannya sembari menahan diri dari larangan-larangan Allah.

Mereka akan menetap di istana-istana surga, kebahagiaannya menjadi sempurna dengan bertemu Allah (Sang Kekasih Abadi).”6

Di sisi lain, hadis ini masih diperselisihkan oleh para ulama, ada yang membenarkan adapula yang mempermasalahkan. Di antara ulama yang besikukuh membela keberadaan hadis ini adalah Imam az-Zarkasyi. Beliau mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih. Ibnu Hazm juga berargumentasi bahwa para perawi hadis ini tsiqah7 . Sedangkan ulama yang tidak sepakat akan keberadaan hadis ini adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia lebih setuju bahwa hadis di atas merupakan perkataan Ibnu Abbas8. Karena hadis di atas diriwayatkan oleh Suwaid bin Sa’id. Ibnu Qayyim menukil pendapat para ulama hadis yang mengkategorikan hadis Suwaid ini sebagai hadis Munkar. Sebagian ulama yang mengatakannya adalah Ibnu Adi dalam kitab Kamil nya, Imam al-Baihaqi dalam ad-Dakhirah nya, Ibnu Tahir dalam at-Tadzkirah nya. Lebi tegas lagi, Abu al-Faraj ibnu al-Jauzi mengkategorikan hadis ini sebagai hadis palsu9.

Selain mengkritik perawi hadis, Ibnu Qayyim juga mengkritik matan hadis tersebut. Dia juga menyanggah kesahihan hadis ini dari Rasulullah. Ibnu Qayyim berkata:

“Hadis ini tidak berasal dari Rasulullah ﷺ dan tidak mungkin perkataan itu dari beliau. Sesungguhnya syahadah (mati syahid) merupakan posisi yang sangat tinggi di sisi Allah setara dengan derajat orang-orang yang jujur. Dan untuk mencapai derajat syahid harus ditopang dengan tindakan dan keadaan yang menjadi syarat untuk mendapatkannya.

Sayyid Ahmad bin as-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya yang berjudul Dar’ al-Dhu‘fi ‘an ḥadis man ‘asyiqa fa‘affa yang tebalnya sekitar 124 halaman membantah satu persatu kritik matan dan sanad dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang di lontarkan dalam beberapa kitabnya. Dalam kitab itu beliau berkseimpulan sebagai berikut:

  فَقَدْ ظَهَرَ مِمَّا ذَكَرْنَا أَنَّ الْحَدِيْثَ صَحِيْحٌ مِنْ جِهَةِ الرِّوَايَةِ وَمِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى

Dari apa yang kami paparkan jelaslah bahwa hadis ini sahih dari segi riwayat dan arti.10

Di samping ketidak setujuan Ibnu Qayyim untuk menstatuskan kutipan di atas sebagai hadis Rasulullah, dia meyakini bahwa barang siapa yang diuji mencintai seorang perempuan, kemudian ia berjuang dan berperang melawan keinginannya dan berpegang teguh dengan Tuhannya dan kembali kepada-Nya, tidak diragukan lagi dirinya masuk dalam firman Allah:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى [ سُورَةُ النَّازِعَاتِ : 40 – 41 ]

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (Qs. An-Naazi’aat (79): 40-41)11

Pendapat Ibnu Qayyim tentang hadis ini selaras dengan Ibnu Taimiyah selaku gurunya. Ibnu Taimiyah mengatakan hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Namun dalil-dalil syariat mengatakan bahwa ketika orang yang diuji dengan kerinduan lalu dia menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan serta tetap sabar menyimpan dan tidak menceritakan maka dia termasuk orang yang bertakwa dan bersabar dalam firman Allah12:

 إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرُ فَإِنَّ اللهَ لَايُضِيْعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ [ سُورَةُ يُوْسُف : 90 ]

“Sesungguhnya orang yang bertakwa dan bersabar maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan” (Qs. Yusuf : 90)

Kesimpulannya, para ulama masih berbeda pendapat dengan setatus kutipan di atas, apa itu hadis atau bukan. Namun mereka sepakat bahwa orang yang menahan kerinduan dengan tidak berbuat maksiat serta tidak mengumbar perasaannya akan mendapatkan jaminan surga. Maka dari itu, barang siapa yang mencintai dan menahan cinta karena Allah maka akan dikasihi oleh-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang mengumbar cinta dan menjadikan nafsu sebagai pemuasnya maka Allah tidak akan meridhainya

Oleh:Usman/Istinbat


Refrensi:

  1. Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad al-Gzali, Ihya’ Ulumiddin 3/389, Maktabah Syamilah
  2. Ibid
  3. An-Nawawi, Muhammad bin Umar, Tanqihul Qaul al-Hatsis fi Syarhi Lubabul Hadis, hlm. 44, Maktabah Syamilah
  4. Jalaluddin, Abdur Rahman bin Abu Bakar as-Suyuti, Jami’ al-Ahadis, hlm, 21/65, Maktabah Syamilah
  5. Ibid.
  6. Syekh Abu bakar Syatha, I’anah Ath-Thalibin, 2/212
  7.  Abdur Rauf  al-Munawi, Faid al-Qadir, 6/180
  8. Ibnu Qayyim al-Jauziah, Al-Jawab al-Kafi li man Saala an ad-Dawa’ as-Syafi, hlm. 242, Maktabah Syamilah
  9. Ibid.
  10.  Dar’ al-Dhu‘fi ‘an ḥadis man ‘asyiqa fa‘affa. Hlm. I35
  11. Ibnu Qayyim al-Jauziah, Al-Jawab al-Kafi li man Saala an ad-Dawa’ as-Syafi, hlm.294 , Maktabah Syamilah
  12. Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 10/133, Maktabah Syamilah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *