Mencegah Kemungkaran Seorang Pemimpin

Rasulullah saw bersabda;

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْاِيْمَانِ

“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman”.1

Secara tersriat, hadis di atas menjelaskan bahwa menyampaikan kebenaran merupakan susuatu yang urgen dalam agama Islam dan dalam praktiknya tidak boleh pandang bulu, baik pelaku kemungkaran itu saudara, teman, bahkan seorang raja sekalipun.

Dalam hadis lain disebutkan,

لَا يَمْنَعَنَّ رَجُلاً هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

“Janganlah menjadi sebuah penghalang untuk menyampaikan kebenaran bagi seorang laki-laki, perasaan kagum atau hormat kepada seseorang”.(HR. at-Tirmidzi).

Hadis ini selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Imam Ahmad meriwayatkannya dengan sedikit perbedaan. Beliau menggunakan kata مهابة sebagai ganti dari هيبة . Sekalipun memiliki sedikit perbedaan dalam redaksi yang digunakan, akan tetapi tidak mempengaruhi kualitas hadis yang disampaikan.

Imam al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumiddin mengatakan bahwa هيبة adalah rasa takut yang muncul karena adanya rasa hormat.2 Oleh sebab itu, rasa takut yang muncul bukan karena ada landasan rasa hormat, seperti takut kepada hewan buas atau rasa takut yang muncul karena rasa khawatir dari perilaku seseorang bukan masuk ke dalam kategori هيبة.

Maka dari itulah, rasa kagum, segan ataupun hormat tidak boleh dijadikan penghalang untuk menyampaikan kebenaran ketika orang lain berbuat kekeliruan, sekalipun dia memiliki pangkat yang lebih tinggi, seperti pemimpin, raja dan pemerintah.

Bahkan hadis lain menyebutkan bahwa meyampaikan kebenaran kepada pemimpin adalah jihad yang paling utama, Rasulullah bersabda:

اَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada raja yang zalim”

Ketika Imam Abdur Rauf al-Munawi memberikan syarah hadis ini, beliau mengutarakan alasan, bahwa orang yang berjihad (berperang) dengan musuh memiliki dua perasaan yang sama-sama dominan, antara takut dan harapan, sedangkan orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar kepada raja, berarti dia telah yakin dan bersedia mati. Juga karena kezaliman seorang raja mencakup objek yang luas, maka ketika ada seseorang yang mencegahnya, dia telah memberikan kemanfaatan pada orang banyak.3

Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan amar makruf nahi mungkar. Imam al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa amar makruf nahi mungkar memiliki empat tingkatan, yaitu memberitahukan, menasehati, berkata kasar (tegas), dan mencegah secara paksa dengan cara memukul dan memberikan hukuman. Tingkatan yang diperkenankan untuk dilakukan kepada seorang pemimpin adalah tingkatan pertama dan kedua, yakni memberitahukan hal yang benar dan menasehati. Adapun tingkatan ketiga yang berupa berkata kasar seperti mengatakan, “Wahai pemimpin zalim” atau “Wahai pemimpin yang tidak takut kepada Allah” dan semacamnya, jika hal ini bisa menimbulkan fitnah yang berimbas kepada orang lain, maka tidak diperkenankan. Akan tetapi, jika fitnah tersebut hanya akan berefek kepada diri sendiri, maka untuk tingkatan ketiga ini diperkenankan, bahkan berhukum sunah. Sedangkan tingkatan keempat yang berupa mencegah secara paksa, merupakan hal yang tidak boleh dilakukan kepada pemimpin, karena hal tersebut bisa menyebabkan timbulnnya fitnah dan keburukan. Bahkan hal-hal negatif yang akan terjadi lebih banyak daripada maslahat yang akan diperoleh.4

Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa menyampaikan kebenaran kepada orang lain bersifat kolektif dan tanpa pandang bulu. kharisma besar pelaku mungkar, intimidasi dan ancaman yang akan dia lakukan bukanlah sebuah penghalang yang menyebabkan sebuah kebenaran akan tertahan dan tidak tersampaikan. Tapi tetap dengan menimbang hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Para ulama dahulu adalah gambaran sempurna tentang hal tersebut. Mereka meyampaikan kebenaran tanpa melihat siapa pelakunya. Tangan besi raja, cacian serta makian orang lain tidak dapat menghentikan langkah kaki mereka. Di mata mereka kesalahan harus tunduk di bawah kebenaran. Karena bila kesalahan dibiarkan terus-menerus, bisa jadi orang yang melakukan kesalahan merasa apa yang dilakukan tersebut dia anggap benar. Hal ini senada dengan apa yang telah disampaikan Sayyidina Ali,

حِيْنَ سَكَتَ أَهْلُ الحَقِّ عَنِ البَاطِلِ، تَوَهَّمَ أَهْلُ البَاطِلِ أَنَّهُمْ عَلَى الحَقِّ

“Ketika orang-orang yang mengerti terhadap kebenaran diam, maka orang-orang bodoh akan berasumsi bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran”.

Oleh: Fahmi Aziz 


Referensi:

  1. Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Darul Jail, I/50.
  2. Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulumiddin, Darul Makrifah, II/249.
  3. Al-Munawi, Abdur Rauf, Faidul Qadir, Darul Kutub al-Ilmiah, II/39
  4. Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulumiddin, Darul Makrifah, II/343.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *