Kupas tuntas mafhum al-mukhalafah

Pengertian

Mafhum al-mukhalafah adalah perlawanan dari makna suatu lafal (mantuq). Yakni, setiap lafal pasti mempunyai maksud atau pengertian, dan mafhum al-mukhalafah adalah antitesisnya (pemahaman yang bertentangan dengan maksud lafal tersebut). Seperti hadis yang membahas tentang batasan air yang berstatus najis jika kejatuhan najis:

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ

“Jika ukuran air mencapai dua qullah maka tidak bisa berubah (menjadi mutanajjis) sebab najis”.

Dari hadis tersebut dapat kita pahami bahwa, jika air dua qullah kejatuhan najis maka tetap berhukum suci dan mensucikan selagi tidak berubah. Dan sebaliknya, jika air tidak sampai dua qullah kejatuhan najis maka berhukum najis. Pertentangan hukum inilah yang di sebut dengan mafhum al-mukhalafah.

Macam-macam mafhum mukhalafah

Dr. Muhammad Hasan Hitu dalam kitabnya al-wajiz fi ushul at-tashri’ al-islami, membagi mafhum al-mukhalafah menjadi lima bagian. Pertama, mafhum as-sifat, yaitu menggantungkan hukum pada suatu sifat yang di sematkan dalam nash, seperti sabda rasulullah sallallahu alaihi wasallam:

فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ

“Dalam kambing yang digembala terdapat zakat (yang wajib di tunaikan)”.

Kata sa’imah (gembala)menjadi sifat bagi kambing yang wajib ditunaikan zakatnya. Maka dari itu, melalui pendekatan mafhum al-mukhalafah, kita akan tahu bahwa ma’lufat al-ghanam (kambing ternak) tidak wajib di zakati.

Kedua, mafhum as-syarti, yaitu menggantungkan hukum pada huruf-huruf yang mengandung makna syarat (al-ahruf as-syarthiyyah). Sebagaimana firman Allah:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ

“Dan jika mereka (perempuan yang di talaq) dalam keadaan hamil maka berelih mereka nafkah”.

Dalam ayat itu tercantum huruf in yang bermakna syarat, yang mengindikasikan bahwa perempuan yang sudah ditalak wajib di nafkahi apabila dalam keaadan hamil. Apabila tidak hamil maka tidak wajib dinafkahi.

Ketiga, mafhum al-ghayah, yaitu menggantungkan hukum pada batasan tertentu menggunakan huruf yang bermakna batasan (ghayah). Sebagaimana firman Allah:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

“Maka jika ia telah mentalak istrinya (dengan talak ba’in) maka ia tak halal baginya, sampai istrinya dinikahi oleh orang lain”.

Dalam ayat itu tercantum huruf hatta yang bermakna ghayah, yang mengindikasikan bahwa istri yang telah ditalak tidak halal bagi suaminya kecuali setelah dinikahi oleh orang lain, dan jika sudah dinikahi oleh orang lain maka ia halal bagi suami pertamanya (setelah ditalak oleh suami keduanya).

Keempat, mafhum al-adad, yaitu menggantungkan hukum pada bilangan tertentu. Seperti firman Allah:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

“Perempuan pezina dan laki-laki pezina, maka cambuklah mereka seratus kali cambukan”.

Dalam ayat tersebut Allah membatasi cambukan bagi orang yang berzina sebanyak seratus kali, maka tidak boleh melebihi bilangan tersebut.

Kelima, mafhum al-laqab, yaitu menggantungkan hukum pada laqab. laqab yang dimaksud dalam hal ini ialah lafal jamid (tidak bisa di-tashrif) yang terdapat dalam nash, baik berupa nama, julukan, atau kunyah bagi objek yang dihukumi. Ulama sepakat bahwa mafhum al-laqab tidak dapat dijadikan hujah dalam memahami nash al-qur’an ataupun al-hadis, seperti firman Allah subhanahu wata’ala:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ

“Muhammad adalah utusan Allah”.

Jika kita pahami menggunakan mafhum al-laqab maka memberikan kesimpulan bahwa selain nabi Muhammad bukanlah utusan Allah, tentu pemahaman ini sangatlah rancu dan tidak dapat di benarkan.1

Syarat mafhum al-mukhalafah yang bisa dijadikan hujjah

            Syarat mafhum al-mukhalafah yang bisa di jadikan hujjah ialah ketika mantuq (makna lafal) disebutkan secara khusus, tidak ada faidah selain menafikan hokum maskut (makna yang tersirat). Seperti lafal sa’imah dalam contoh di awal pembahasan yang berperan mengkhususkan mantuq dan menafikan hukum maskut, yaitu wajibnya zakat dalam ghanam ma’lufah (kambing ternak). Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka mafhum al-mukhalafah berstatus mulgha (tersia-sia), dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mafhum al-mukhalafah berstatus mulgha. Pertama, bertujuan mengikuti kebiasaan atau adat yang berlaku, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لَا تَقْتُلُوْا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ

“Janganlah kalian mebunuh anak-anak kalian karna takut fakir”.

Penyebutan “khasyyata imlaq” tidak bisa di mafhum al-mukhalafah, karna illat (alasan/sebab) itu disebutkan hanya untuk memaparkan kebiasaan orang musyrik pada zaman jahiliah. Mereka membunuh anak-anaknya karna takut kefakiran. Maka tidak bisa di-mafhum al-mukhalafah bahwa membunuh anak karena alasan selain takut fakir diperbolehkan.

Kedua, jika maskut tidak di sebutkan takut tuhmah (prasangka buruk), seperti perkataan seorang mualaf yang sedang berada di kerumunan orang islam:

تَصَدَّقْ بِهَذَا عَلَى أَقْرِبَائِي الْمُسْلِمِيْنَ

“sedekahkan barang ini pada para kerabatku yang muslim”.

Penyebutan kata “al-muslimin” di atas tidak bisa di mafhum al-mukhalafah, karna tidak ditujukan untuk menafikan hukum maskut, yakni bolehnya bersedekah pada kerabatnya yang kafir, akan tetapi untuk menghindari omongan orang Islam di sekitarnya yang akan menuduhnya sebagai orang munafik ketika menyebutkan kerabatnya yang kafir.

Ketiga, berkenaan dengan kejajdian yang dialami mutakalim, seperti ucapan yang di lontarkan kepada orang yang menyakiti tetangganya yang muslim:

لاَ تُؤْذِ جَارَكَ الْمُسْلِمَ

“Jangan kamu sakiti tetanggamu yang muslim”.

 

Keempat, jawaban dari suatu pertanyaan, seperti kalimat:

فِي الْغَنَمِ السَّئِمَةِ زَكَاةُ

“Dalam kambing yang di gembala terdapat zakat yang wajib di tunaikan”

Yang menjadi jawaban bagi pertanyaan هَلْ فِي الْغَنَمِ السَّائِمَةِ زَكَاةٌز Dan masih banyak faktor lain yang tidak di di paparkan dalam artikel ini karna waktu yang tidak mencukupui.2

Namun mafhum al-mukhalafah yang berstatus mulgha, masih bisa di gali hukumnya melalui thariqat al-qiyas.3 Wallahu a’lam bi as-shawab.

Oleh: Redaksi


Refrensi:

  1. Al-wajiz fi ushul at-tashri’ al-islami hal 132
  2. Ushul al-fiqh hal 24
  3. Ushul al-fiqh li al-Khudlari hal 56

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *