BENANG MERAH ANTARA QIYAS, TANZHIR DAN ILHAQ

Fikih merupakan basic kita untuk menjawab persoalan-persoalan yang tiada henti dan terus bermunculan di kehidupan sehari-hari. Dalam memahami fikih, kita harus menguasai tiga bidang yang tidak bisa dipisahkan, yaitu ilmu Furu’, Ushul dan Kaidah. Dengan demikian, ilmu fikih tidak akan kuat jika hanya melihat pada Furu’ saja, tanpa dikuatkan dengan Kaidah Fikih dan Ushul Fikih.

Ushul Fikih adalah bidang ilmu untuk mengkaji mashadirul-ahkam, sedangkan maudhu’-nya adalah nash syar’iyah (al-Quran dan Hadis) dan bukan fi’lul mukallaf. Ushul Fikih tidak hanya untuk MUJTAHID, akan tetapi juga untuk ulama fikih (al-Faqih), karena Ushul Fikih berfungsi menguatkan basic kita. Contohnya, seperti kebiasaan masyarakat Indonesia ketika berhutang. Kebanyakan mereka tidak menggunakan kata “hutang” tetapi kata “pinjam”. Dengan demikian, apakah nantinya juga akan berlaku hukum i’arah atau hukum qardhu? Kalau kita cari dalam kitab fikih, maka tidak akan ditemukan jawabannya.

Dalam salah satu kitab fikih seperti di Tuhfatul Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, terdapat keterangan demikian:

مَا كَانَ صَرِيْحًا فِي بَابِهِ وَلَمْ يَجِدْ نَفَاذًا فِي مَوْضِعِهِ كَانَ نِهَايَةً فِي غَيْرِهِ

“Masalah yang sudah jelas dalam babnya, namun tidak menemukan jalan keluar dalam akar pembahasannya, maka masalah tersebut menjadi puncak dalam masalah lainnya”.

Secara tekstual, transaksi di atas berlaku hukum kinayah fil-qardh, padahal jika dikaji secara Ushul Fikih, tidak tergolong kinayah. Hal ini disebabkan ibarat atau istilah dalam fikih itu menggunakan bahasa Arab, yang tentu sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita tidak akan menemukan teks ibarat yang jelas dalam kitab-kitab fikih, kecuali dengan menggunakan pendekatan Ushul Fikih. Misalnya, bagaimana hukum jual beli jangkrik dan ulat karena dianalogikan dengan dudul quzzi? Maka jika hanya dikaji dari Furu’ murni tanpa pendekatan Kaidah atau Ushul Fikih, hukumnya adalah sah. Mengingat dalam kitab klasik seperti I’anatuthThalibin dan Hasyiyah al-Bajuri, di antara tsubutul-mabi’ manfaatnya haruslah universal (‘am) bukan yang parsial (khash). Maka dari itu, tidak boleh menjual hewan yang hanya ya’riful-khawash (diketahui oleh orang tertentu). Kecuali dudul quzzi, karena manfaatnya sudah menjadi ‘am. Dengan demikian niscaya akan tergiring untuk menganalogikan jangkrik dengan dudul quzzi tersebut, sehingga jangkrik juga kita anggap ‘am dan sah hukum menjualnya. Ini merupakan penerapan yang keliru, karena hanya menggunakan istilah furu’, sama sekali tidak menggunakan istilah lainnya. Padahal masalah ini merupakan analogi, sedangkan analogi ada tiga macam : Qiyas, Tanzhir, dan Ilhaq .

Sebenarnya kalau kita lihat makna tekstual baik Qiyas, Tanzhir, dan Ilhaq memiliki arti yang sama. Ketiganya sama-sama berarti menganalogikan satu masalah dengan masalah lain. Namun, meski sama dalam arti tekstual, ketiganya memiliki perbedaan. Perbedaan yang mencolok ialah dalam segi penerapannya.

            Qiyas adalah menganalogikan problem temporer (waqi’iah haditsah) dengan nusush-syariyah (al-Quran dan hadis). Maksudnya, mengkiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash pada dalil yang sudah ada dalam nash. Seperti menganalogikan nabidz yang tidak pernah di-nash dengan ashirul-‘inab atau khamr yang nash nya sudah ada, karena memiliki ciri khas (jami’ illat) yang sama: yaitu memabukkan (iskar). Metode qiyas semacam ini hanya bisa dilakukan oleh seorang Mujtahid Mutlak melalui pendekatan al-Quran dan Hadis.

Tanzhir adalah menganalogikan waqi’ah haditsah dengan Nashshul Imam. Maksudnya, setelah para Mujtahid Mutlak wafat, ulama berikutnya tidak memungkinkan menjawab persoalan-persoalan di zaman itu. Namun biasanya sebelum para Mujtahid Mutlak wafat, mereka sudah menyiapkan metodologi penggalian hukum (istinbathul-hukmi) yang disebut Qawa’idul-istinbath atau dikenal dengan sebutan Ushul Fikih.

Selanjutnya, Qawa’idul istinbath tersebut diterapkan oleh para pengikut mujtahid. Namun kebanyakan ashhab tidak melakukan kiyas, tetapi menggunakan metodologi yang diterapkan Mujtahid Mutlak saat menganalogikan waqi’iyah haditsah dengan al-Quran dan Hadis, sehingga hasil qiyas ashhab diafiliasikan kepada imam-nya (manshub lil imam) atau disebut juga “Taqlid Istinbathi”.

Mayoritas generasi berikutnya memproduksi hukum al-Quran dan Hadis dengan menerapkan metodologi Imam. Mereka tidak pernah menganalogikan waqi’iyah haditsah dengan al-Quran dan hadis selagi problem kontemporer tersebut memiliki kemiripan dengan nashshul Imam. Misalnya, keharaman memisah ibu dan anak kandunng dalam penjualan berhukum haram. Imam al-Ghazali menganalogikan Tafriq fil-bai’ dengan Tafriq fi ghairil-bai’. Menurut Imam al-Ghazali hukum haram dalam pemisahan paket pembelian ibu dan anak kandung tidak hanya berlaku dalam jual beli, akan tetapi juga berlaku di selain jual beli. Inilah yang dinamakan Tanzhirul-masalah yang pendekatannya menggunakan nashshul Imam. Dalam masalah ini, Imam al-Ghazali menganalogikan suatu problem dengan problem yang sudah di-nash oleh Imam asy-Syafi’i. Jadi meski bukan Imam asy-Syafi’i yang mengatakan, akan tetapi terafiliasi kepada Imam asy-Syafi’i.

Adapun Ilhaq adalah menganalogikan waqi’iyah haditsah dengan nashshul Imam atau ashhabul wujuh tidak dengan nushus-syari’ah. Pendekatannya tidak melalui pendekatan yang rumit, seperti Ushul Fikih secara murni. Akan tetapi, melalui Kaidah dan Dabith.

5 komentar pada “BENANG MERAH ANTARA QIYAS, TANZHIR DAN ILHAQ

  • 11 Desember 2023 pada 1:25 pm
    Permalink

    Apa sama status kedudukan tandzir dengan ilhaq? Lalu jika kedudukannya sama, perbedaan hanya di lafdz saja?

    Balas
    • 15 Desember 2023 pada 2:14 pm
      Permalink

      status kedudukan keduanya sama, akan tetapi yang menerapkannya berbeda.
      kalau tandzir itu dilakukan oleh Ashhabul Wujuh sedangkan Ilhaq dilakukan oleh para fuqoha’ setelahnya seperti ar-Rafi’i dan an-Nawawi.

      Balas
    • 15 Desember 2023 pada 2:21 pm
      Permalink

      Sebenarnya keduanya nyaris tidak ada perbedaan. Hanya saja aktor dari keduanya berbeda, kalau Tandzir yang melakukan adalah Ashhabul Wujuh, sedangkan Ilhaq dilakukan oleh fukaha setelahnya seperti Ar-Rafi’ie dan An-Nawawi.

      Balas
  • 17 Desember 2023 pada 12:02 am
    Permalink

    Belum jelas konsekuensi dari masing” pembagian, mana saja yang boleh digunakan bagi seorang santri dalam menjawab problematika umat berikut alasannya.
    Contoh dari ilhaq juga tidak dibeberkan, juga perbedaannya.

    Balas
  • 17 Desember 2023 pada 12:11 am
    Permalink

    Tidak dijelaskan konsekuensi dari masing-masing pembagian, bagian mana saja yang dapat digunakan bagi seorang santri dalam menjawab problematika umat berikut alasannya. Contoh dari ilhaq tidak dibeberkan, juga perbedaanya.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *