SAUDARA KITA

Suatu hari, ketika perang Badar mulai sunyi dari kecamuk pertempuran yang akhirnya mengoyak kejahatan dan memenangkan kebenaran Islam, Abdurrahaman bin ‘Auf menggiring lelaki tampan dan ranggi yang terbelenggu itu. Dia menggelandangnya dengan hati-hati dan lembut tanpa melepaskan genggaman pada ikatannya. Mereka berdua mendekat ke arah lelaki yang berwajah mirip dengan sang tawanan. Sangat mirip.

Abdurrahman takzhim pada lelaki itu. “Assalamualaika Ya Mush’ab yang baik. Inilah saudaramu, Abu Aziz!”

Mush’ab bin Umair menjawab salam dan menjawab mengangguk dalam-dalam.

Sang tawanan, Abu Aziz disergap lega. Syukurlah, dia akan diserahkan pada kakak yang disayanginya. Betapa mimpi buruk hari ini; mengikuti perang Badar, menyaksikan darah bersimbah ruah, melihat tumbangnya kejayaan Quraisy di tangan orang-orang Bani Najjar, dan kini sebagai tawanan sungguh menyakitkan. Kini dia berada di depan kakak yang  telah bertahun-tahun tak dijumpainya. Dia rindu dan ingin memanggilnya penuh harap, “Kanda..”

Tapi Mush’ab tan memandang ke arahnya, tak segera memeluk menyambutnya, dan seakan tak berkehendak melepaskan belenggu pengikatnya. Sang kakak justru menundukkan kepala, “Tahanlan dia!” ujar Mush’ab pada Abdurrahman yang nyaris berbisik. “Kuatkan ikatanmu, dan eratkan belenggumu. Sesungguhnya dia memiliki seorang ibu yang menyayangi dan memanjakannya. Insyaallah engkau akan mendapat tebusan yang berharga darinya, saudaraku!”

“Apa?”, Abu Aziz membelalak. “Aku tak percaya ini!. Engkau, hai Mush’ab saudaraku sendiri. Kau menjualku dan membiarkannya meminta tebusan yang begitu besar pada ibu kita. Dimana cintamu pada adikmu ini, saudaraku?!”. Dia meronta.

Mush’ab memalingkan wajahnya. Ada kilau di matanya. Dihelanya nafas panjang-panjang ke dalam dada. “Tidak! Engkau bukan saudaraku. Dia inilah saudaraku!” sambil menunjuk Abdurrahman.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Ikatan persaudaraan antar mukmin dalam ayat ini digambarkan oleh Allah dengan kata ikhwah, “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain” kata az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir-nya “adalah saudara, ikhwah dalam agama dan dihimpunkan dalam kata yang satu, yakni “iman”. Allah dalam ayat ini menggunakan “innama” yang berfungsi untuk mengkhususkan, membatasi, dan menafikan keberadaan yang lain. “Tiada persaudaraan, tiada ikhwah, kecuali di antara orang-orang yang beriman”. Ya, inilah maksud ayat ini.

Innamal-mukminûna ikhwah berpesan pada kita, bahwa ikhwah adalah persaudaraan senasab, ayahnya adalah Islam dan ibunya adalah iman. Mereka adalah saudara kandung dari satu rahim, yaitu keimanan.  Ikhwah jauh lebih kuat daripada Ikhwan yang hanya bermakna persaudaraan dalam persahabatan, ungkap al-Maraghi dalam tafsirnya.

Seperti yang dialami Mush’ab, persaudaraan iman jauh lebih kuat, mengalahkan persaudaraan nasab. Dan, bahkan persaudaraan nasab seolah tiada, hampa, tak ternilai, jika tidak ada akidah yang mengikat hati mereka pada keyakinan yang sama.

Iman mengingatkan kita akan persaudaraan yang menembus batas ruang dan waktu. Ia selalu menyatukan kita dalam doa, sebagaimana tanpa kita sadari, tiap detik berjuta lisan melafalkan doa ini untuk kita. Bahkan tanpa kita sadari para nenek moyang kita berdoa untuk cicit canggahnya, dan para cicit pun berdoa untuk para sesepuhnya. Mereka mungkin tak pernah berjumpa, terpisah oleh ruang dan masa, tapi mereka bersatu dalam doa, dalam iman, dalam persaudaraan akbar yang melintasi gurun, kutub, lautan, hutan dan zaman. Allahummaghfir lil-mukminîna wal-mukminât.

Oleh: M. Firdaus soleh | IstinbaT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *