CINTA MEMUDAR TASBIH BERPUTAR

Dalam  prespektif Fikih rasa suka diposisikan sebagai gelora hati yang timbul tanpa ikhtiar[1]. Perasaan ini lazim bagi siapapun yang ditakdirkan hidup dengan nafsu, terlebih para manusia kekinian. Hanya saja, banyak dari mereka yang tidak rela jika rasa kecewa hadir karena cinta  yang tidak terbalaskan, sehingga memaksa mereka untuk menggunakan ritual tertentu dalam mengobati bahkan membalaskan kekecewaanya, padahal Syekh Muhammad bin Ibrahim berpendapat bahwa seorang pecinta sejatinya harus rela berkorban tanpa mengharap atau menuntut sebuah balasan[2].

Secara global, metode untuk membuat orang lain jatuh hati atau familiar dengan sebutan ilmu pengasihan itu ada 2 model: Pertama, sihir, apabila piranti yang digunakan berupa sihir. Kedua, ruqyah atau tiwalah, apabila piranti yang digunakan adalah asma’ Allah, ayat Al Quran, doa yang ma’tsur atau lafaz yang difaham maknanya serta tetap meyakini bahwa yang memberi pengaruh  adalah Allah.

Dari pembagian tersebut, Imam Suyuthi berpendapat bahwa ulama telah berkonsensus terhadap legalitas model kedua.[3] Hanya saja, hemat penulis perlu disyaratkan pula adanya niatan baik. Jika tidak demikian, maka diharamkan karena ada unsur idza’ (menyakiti) pada pihak lain. Sedangkan  untuk praktik model pertama dihukumi haram dan termasuk dosa besar.[4]

Selain mempraktikkannya, mempelajari model pertama  juga di hukumi haram  kecuali dalam tiga hal. Pertama ada manfaat syar’i, Kedua, untuk menolak bahaya, Ketiga untuk mengetahui hakikat sihir tersebut[5].

Namun, kebanyakan orang melakukan sebuah ritual atau mantra itu lebih fokus terhadap tujuannya tanpa melihat bahwa metode yang mereka gunakan itu salah atau benar. Bahkan, tanpa mereka sadari perbuatan itu sampai menyebabkan kekufuran pada dirinya sendiri, seperti mendatangi dukun kemudian mempercayai bahwa amalan tersebut memiliki ta’tsir (pengaruh) secara pribadi atau menganggap Allah telah memberikan kekuatan pada amalan tersebut[6].

Motivasi terbesar seseorang melakukan ritual pengasihan yang keliru adalah cinta yang didasari hasrat nafsu kemudian memaksa untuk memiliki. Bahkan, dengan cara yang justru membuat nafsu mereka semakin tak terkendali. Syekh Al-Busyiri bersyair dalam Burdah-nya:

فَلَا تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا * اِنَّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ

وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى * حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

Janganlah kau mengira dengan maksiat nafsumu akan pecah! Tidaklah kau lihat bahwa makanan akan membuat orang yang rakus semakin parah.

Nafsu itu laksana anak kecil, terus menyusu sampai dewasa dan dapat berhenti jika kau mampu menyapihnya”.[7]

Dengan demikian, sebagaimana tujuan indah tidak akan mungkin diraih dari jalan yang salah, maka hati yang gelisah tidak bisa terobati kecuali dengan yang lillah. Hanya saja, dalam berharap pada Allah, selayaknya kita tidak terlalu memaksakan keinginan. Namun, lebih memasrahkan diri dan menyadari bahwa Allah lebih mengerti yang terbaik untuk kita, sehingga dengan cara ini mungkin saja Allah menunjukkan kita pada cinta sejati yang akan melipur duka dan menciptakan tawa.

Oleh: Zainul Umam


Referensi:

[1] I’lamul Muwaqiîn III/105

[2] Syarhul Hikam II/62

[3] Fathul Majid, hlm. 126

[4] AlMausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, XXIV/262

[5] Al-Qalyubi Ala Syarhil-Minhaj, IV/129

[6]. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah XXIV/264. Fatawa Ar Romli hlm. 372

[7] Al-Umdah fi Syarhil Burdah hlm. 65-66

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *