DI BALIK SAJAK DALAM AL-QURAN

Al-Quran telah memberi warna dan karakteristik yang tak tertandingi dalam kesastraan dunia. Karena itu, ia disebut mukjizat terbesar. Secara kultural bangsa Arab pada masa jahiliyah, terkenal sebagai pecinta syair. Untuk menandingi para sastrawan Arab itu, Islam datang dengan al-Quran yang bergaya bahasa sangat tinggi dan indah. Sentuhan-sentuhan syair-syair Arab pun akhirnya terpatahkan dengan kedatangan al-Quran. Terbukti, tidak seorang sastrawan Arab pun yang mampu membuat satu surat dari al-Quran yang tingkat kesulitannya lebih rendah sekali pun. Tak heran jika al-Quran menjadi pijakan wacana ideal karya sastra dan mengekspos diri sebagai sastra religius (Islami). Bila karya sastra terkadang diasumsikan sebagai ekspresi isi jiwa pengarang, maka sastra al-Quran adalah kualitas dan kapalitas seseorang dalam berdialog dengan Tuhan. Namun, nilai sastra al-Quran sangat elastis.

Disadari  atau tidak, al-Qur’an memuat untaian kalimat dengan nilai sastra yang tinggi. Diturunkan di tengah bangsa Arab yang begitu memuliakan keindahan kata, al-Qur’an menjadi mukjizat paling agung sepanjang masa. Kitab ini menyajikan cerita zaman dahulu dan keadaan masa yang akan datang.

al-Qur’an memiliki tiga aspek dalam penggunaannya yaitu kalimat ithnab (panjang), ijaz (pendek), dan musawah.[1]

Pertama, ithnab adalah mendatangkan makna dengan ucapan yang lebih banyak dari pada maksud yang dituju, tetapi dengan menghendaki suatu faedah dari penambahan tersebut. Adakalanya dengan mengulang-ngulang kalimat (takrir). Adakalanya mendatangkan suatu ucapan yang berhubungan dengan ucapan pertama (tadzyiil). Seperti contoh dalam al-Quran:

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Katakanlah (Muhammad) telah datang yang haq dan telah hancur kebathilan, sesungguhnya yang bathil itu hancur.” (QS. Al-Isra 81)

Kalam kedua adalah tambahan yang tujuannya menguatkan. Seandainya tidak diucapkan pun, kalam pertama sudah mencukupi. Namun dengan mendatangkan kalimat tersebut, mutakallim ingin menguatkan bahwa kebatilan pasti akan hancur.

Kedua, Musawah adalah mengucapkan kalam yang setara dengan makna yang dimaksud. Seandainya lafaz itu dikurangi, maka akan merusak maksud yang dikehendaki, sebagaimana contoh:

وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ

“Tipu daya jelek itu tidak akan berakibat jelek kecuali pada pelakunya.” (QS. Al-Fathir 43)

Ketiga, ijaz adalah mengungkapkan kata-kata dengan lafaz yang sedikit (ringkas) tetapi memiliki makna yang luas. Contohnya adalah:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ

“Dan bagi kalian dalam qhisas terdapat kehidupan.” (QS Al-Baqarah 179)

Penggunakan ijaz di atas merupakan sastra tertinggi yang tidak bisa dicapai orang Arab. Bagaimana ayat di atas berani menyandingkan dua lafaz yang berantonim, yakni lafaz qishas (kematian) dengan hayat (kehidupan). Lafaz tersebut mampu menggertak dan membuat orang berpikir seratus kali untuk membunuh.

Banyak cendekiawan Arab membuat pernyataan yang semakna dengan ayat di atas. Mereka berlomba membuat ungkapan yang mampu menghilangkan pembunuhan. Akhirnya terdapat pernyataan yang mereka anggap puncak kalimat sastra untuk membasmi pembunuhan, yakni:[2]

القتل انفى للقتل 

membunuh dapat menghilangkan pembunuhan

قتل البعض إحياء للجميع 

 membunuh sebagian orang dapat menghidupkan semuanya

 اكثروا القتل ليقل القتل 

perbanyaklah membunuh supaya sedikit terjadi kematian

Semua di atas adalah rangkaian kata yang dibuat sastrawan Arab. Meski sudah mengandung sastra yang tinggi, namun tak seindah rangkaian kata yang terdapat dalam kalam Al-Quran. Imam Fakhrur Rozi menguraikan perbedaan antara kalam terindah Arab dengan kalam ilahi di atas.

Pertama, ayat di atas lebih ringkas dari ungkapan mereka. Menurut kaedah sastra, semakin ringkas suatu ucapan, maka semakin tinggi nilai sastranya. Kedua, dalam ungkapan mereka terdapat pengulang-ulangan lafaz al-qotlu. Ketiga, ungkapan mereka hanya mencegah kematian saja, sedangkan ayat di atas mencegah kematian juga penyiksaan. Keempat, sesungguhnya pembunuhan secara zalim bukanlah menghilangkan pembunuhan, akan tetapi menambah terjadinya kematian. Secara zahir, ungkapan terbaik mereka adalah sebuah kebatilan.

Dari pernyataan yang diuraikan oleh Imam ar-Rozi, maka kita tahu betapa tingginya keunggulan sastra al-Quran atas sastra bangsa Arab. Mereka sudah menyadarinya, hanya saja fanatisme dan kesombongan membuat enggan mengakuinya.

Oleh: M. Hasani


[1] Al-Akhdhari, Abu Yazid Abdur Rahman bin Muhammad ash-Shughayyra bin Amir al-Akhdhari, Al-Jauharul makunun, hlm. 55

[2] Ar-Razi, Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin Al-Hasan bin Ali at-Tamimi Al-Bakri Al-Thabrastani, MafatihulGhaib, Hlm. 253

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *