MERAJUT PAMOR PEREMPUAN
Tinta sejarah menjadi saksi bisu betapa bengisnya budaya jahiliyah mengiris hati perempuan di era pra-Islam. Kehadiran meraka di tengan-tengah keluarga ditengarai akan membawa sial. Akibatnya, meraka dicap sebagai aib sosial. Oleh karena itu, di masa jahiliyah banyak bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Kondisi perempuan ini banyak terekspos dalam al Quran dan mendapat respon dari al-Quran (QS. Al An’am 14, an-Nisa’ 19, an-Nahl 59)
Al-Quran mengisahkan keadaan orang-orang jahiliah, ketika mereka mendapati bayi yang mereka kandung berkelamin perempuan
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
“Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” [1]
Ayat ini menggunakan redaksi busysyira yang memiliki arti kabar gembira. Semestinya, mereka (orang jahiliyah) bahagia, dan respon al Quran dengan redaksi tadi mengajak mereka agar bergembira dengan kehadiran buah hati. Namun kala itu, asumsi negatif tentang ‘si pembawa sial’ sudah sangat menjamur, sehingga kehadiran sang buah hati tidak mendapat respom positif, bahkan respon negatif lah menyambut sang buah hati. Selanjutnya, al Quran menggambarkan sikap mereka dengan redaksi zhalla wajhuhu muswaddan wahuwa kazhim, redaksi ini bermakna metafora yang berarti sikap kekecewaan dan tidak terima atas kelahiran bayi perempuan.
Dalam perdaban Yunani kuno, perempuan menjadi kepemilikan orang yang menguasainya. Saat sebelum menikah, perempuan menjadi milik bapaknya atau saudaranya. Setelah menikah menjadi kepemilikan suaminya atau orang yang menguasainya. Perempuan bebas untuk diperjual-belikan, tanpa mendapat sepeser pun dari hasil penjualannya. Dalam peradaban Romawi juga tidak jauh berbeda, bahkan lebih tragis lagi. Karena di samping boleh diperjual-belikan, perempuan juga diperkenankan untuk dibuang, disiksa, bahkan dibunuh sekalipun[2].
Ketika islam datang, identitas ‘manusia’ dikembalikan pada diri perempuan. Mereka tidak lagi dianggap benda mati yang boleh diperjual-belikan dan dibuat mainan. Bahkan di dalam Islam perempuan mempunyai hak secara utuh untuk memiliki mahar yang diberikan oleh suaminya, harta warisan dari orang tua, saudara atau suaminya. Suami tidak boleh mengintervesi harta perempuan kecuali mendapat kerelaan darinya.
Di zaman modern ini, para kaum fenim merasa kurang puas dengan pamor yang telah disumbangkan oleh Islam. Karena Islam masih membatasi gerak-gerik perempuan pada hal-hal yang bersifat domestik. Sementara peran publik, perempuan tidak mendapatkan porsi sedikitpun, seperti bidang politik atau ekonomi. Oleh karena itu, banyak pegiat gender yang mengusung reinterpretasi terhadap tafsiran-tafasiran klasik dengan menggunakan metode dan pendekatan yang modern. Sebab, metode klasik mereka anggap telah usang, tidak bisa menjawab permasalahan-permasalahan masa kini.
Pemikiran seperti ini hanyalah ungkapan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau suatu kelompok. Meski tujuan mereka baik, ingin menyeragamkan al-Quran dengan realita milenial. Hanya saja, cara mereka terbalik. Bukannya al-Quran yang menjawab realita, tapi realitalah yang harus menjawab teks al-Quran. Kaidah ini sangat sering dipakai oleh pegiat-pegiat liberal. Perihal kerancuan kaidah ini, tidak perlu ditanyakan lagi. Sebab, kaidah-kaidah seperti ini sangat sarat dengan semangat ‘distorsi al-Quran’ ala milenial. Meski kedok yang dipakai sangat teoretis, bahkan sangat mudah dinalar.
Oleh karena itu, banyak muncul teori-teori milenial yang menyampingkan Hadis, ijma’, apalagi komentar ulama klasik. Padahal Allah mengutus para rasul untuk menjelaskan arti kandungan al-Quran. Dari sini, kita bisa memvonis bahwa tujuan mereka dalam menafsiri al-Quran bukan untuk menggapai sebuah kebenaran atau menggapai makna yang dihendaki Allah. Karena memang teori yang mereka bangun menerjang sabda Rasulullah yang diutus oleh Allah di muka bumi sebagai penyampai wahyu. Bahkan, penafsiran yang mereka dengungkan tidak lain hanya sebuah kedok yang berisikan kepentingan-kepentingan pribadi atau sebuah kelompok.
Ala kulli hal, kemunculan Islam di balik luasnya padang pasir, memberikan sumbangsih sangat besar nan penting pada martabat kaum hawa. Islam juga mengembalikan pamor perempuan yang menempati tingkat terendah saat masa pra-Islam. Sementara yang ditetapkan Islam untuk membatasi gerak-gerik kaum fenim merupakan sebuah perhatian dan respek Islam pada kodrat perempuan yang sangat berbeda dengan laki-laki. Apakah adil harus sama rata? Pastinya tidak! Wallahu A’lam.
Oleh: Redaksi Istinbat
[1] QS. An Nahl: 58
[2] As-Sya’rawi, al-Mar’ah fil-Quran, 8