Sisi Gelap Era Digital, Kegaduhan Merajarela
Kecanggihan alat digital semakin hari semakin memuaskan hasrat. Pertumbuhannya pun juga sangat pesat. Segala kebutuhan bisa terpenuhi hanya dengan rebahan, mulai dari belanja, belajar, atau bersosial. Bahkan untuk berdakwah, media digital sangat mempermudah. Hanya dengan beberapa ketukan ilmu kita sudah melesat ke seluruh penjuru dunia.
Namun dari sisi lain, era digital juga menjadi momok yang sangat mengerikan. Berita hoaks dengan sangat licin berseluncur ke sana-kemari. Saling adu domba tidak menemukan ujung pangkalnya. Saling mencaci juga tumbuh bak jamur di musim hujan. Pada akhirnya, kegaduhan pun merajalela di semua platfrom digital. Nah, dari sinilah era digital sangat cocok dijuluki sebagai ‘era kegaduhan’.
Faktor mendasar yang melatarbelakangi hal tersebut ialah minusnya pengetahuan masyarakat tentang etika media sosial. Oleh karena itu, sangat perlu kiranya menyajikan etika bersosial di dalam media sosial. Pertama, Validasi kabar sebelum menyebar. Salah satu faktor hoaks merajarela di dunia maya adalah banyaknya orang yang berbicara tanpa berpikir panjang. Ketika berita asing sampai ke telinga, seharusnya ada proses validasi terlebih dahuu sebelum proses penyebaran, apakah berita itu akurat atau hoaks. Kecerobohan inilah yang menjadi virus fatal dalam dunia digital.
Dalam al-Quran, Allah memerintahkan orang beriman untuk selalu melakukan proses validasi ketika berita yang didapat masih remang-remang, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” QS,al-Hujarat 6.
Ayat ini tidak hanya menyoal tentang berita yang masih remang-remang, bahkan juga tentang akibat yang didapat saat tidak melakukan proses validasi. Akibatnya tidak tanggung-tanggung, yakni tergolong orang bodoh. Penggunaan istilah jahalah (bodoh), dalam ayat ini, lebih fatal ketimbang istilah khata’ (keliru). Sebab, ketika seorang mujtahid salah dalam berfatwa ia hanya divonis khata’ bukan jahl[1]. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pelaku di balik penyebaran hoaks tidak hanya sekadar melakukan kesalahan semata, bahkan dia telah menyatakan kebodohan di hadapan publik.
Kedua, tidak saling mencaci. Tidak bisa dipungkiri lagi, kemudahan yang disajikan oleh era digital bukan hanya sebagai tunggangan kebaikan saja, namun juga mempermudah keburukan. Salah satu dari keburukan itu adalah saling mencaci. Kebiasaan mencaci mungkin telah mengakar di lubuk hati masyarakat sejak zaman dahulu. Buktinya, kebiasaan tersebut telah diurai dengan gamblang di dalam al-Quran, Allah berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ} [الحجرات: 11]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” QS, al-hujarat 11
Sebagian ulama mengategorikan sukhriyah (merendahkan) hanya dalam kasus orang kaya yang merendahkan orang miskin. Sebagian lain menganggap larangan merendahkan hanya khusus dalam kasus seseorang yang membuka aib orang lain[2]. Namun, pendapat yang dibenarkan oleh Imam at-Thabari tentang makna sukhriyah ialah segala pekerjaan yang mengandung unsur merendahkan, termasuk mencaci karena rupa, kemiskinan, membuka aib, serta segala unsur mencela.
memanggil orang lain dengan suatu sebutan yang tidak disukai juga termasuk kategori mencela, baik dengan sifat maupun nama[3]. Hal ini juga tergolong kebiasaan usang, sudah mengakar sejak masa jahiliah[4]. Kasus inilah yang sangat sering membuat dunia maya gaduh. Suatu kelompok yang membenci seorang tokoh, misalnya, akan membuat julukan seberagam mungkin. Di sisi lain, kelompok yang memproklamirkan dirinya sebagai penggemar, akan mencaci mati-matian kelompok yang menjuluki tokoh idaman mereka. Pada akhirnya, kericuhan tidak terelakkan lagi.
Selain itu, pengguna media sosial juga harus menjaga jari-jemarinya agar tidak menyebarkan hal-hal yang berbau maksiat. Jika dalam sedekah ada istilah jariyah yang berarti pahalanya akan terus mengalir, dalam maksiat pun juga demikian. Orang yang meng-upload sebuah maksiat akan selalu mendapatkan dosa, sekalipun ia sudah meninggal. Setiap kali ada orang melihatnya lalu dihitung maksiat, maka setiap kali itulah orang yang meng-upload dapat kiriman dosa. Tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berbentuk maksiat saja, bahkan hal-hal yang mendorong orang lain untuk melakukan maksiat juga merupakan ladang dosa[5].
Kesimpulannya, kita harus bijak dalam memosting apapun di semua platform digital. Sebab, apapun yang kita posting di media sosial akan abadi hingga ke anak turun. Oleh karena itu, jadikan media sosial sebagai lahan pahala, bukan sebagai ladang dosa.
Oleh : Hayatul Makki / Redaksi Istinbat
[1] Ar-Razi, Imam Fakhruddin, Mafatihil Ghaib, XlV/173.
[2] At-Thabari, Muhammad bin Jarir, Jamiul Bayan an Takwili Ayil Qurani, XI/298.
[3] Ibid, 230
[4] Abi Fidak, Imam Ismail bin Umar bin Katsir, Tafasirul Quran al-Azhim, IX/254
[5] Ba Basil, Muhammad bin Salim bin Said, Isadur Rafiq, 238