Mengenal Konsep Amar Makruf dan Nahi Mungkar

Dan hendaklah ada di antara kalian terdapat golongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. QS. Ali Imran: 104

Amar makruf-nahi mungkar merupakan sebuah quthbul a’zham dalam agama Islam, dan juga merupakan sebuah kepentingan para nabi yang telah diutus oleh Allah ﷻ.1 Maka, jika kita melihat orang yang melaksanakan perintah ini, harus bagi kita untuk membantunya.2 Ayat ini, menurut Imam al-Ghazali merupakan dalil kewajiban melaksanakan amar makruf-nahi mungkar. Taraf wajib dalam menjalankan amar makruf-nahi mungkar adalah fardu kifayah. Sehingga jika ada sekelompok orang yang menjalankannya, kelompok lain yang berdiam diri tidak tertimpa dosa.3 Secara global, titik yang dibidik oleh syariat dalam mewajibkan amar makruf-nahi mungkar adalah lenyapnya kemungkaran.

Jika kita perhatikan lebih lanjut, ayat ini sebenarnya juga menjelaskan salah satu sifat yang membedakan kaum Muslim dengan non-Muslim dalam menyikapi kemungkaran. Perbedaan sikap Muslim dengan non-Muslim bisa dipahami dari QS. Ali Imran: 104 dan QS. Al-Maidah: 78-79. Dalam QS. Al-Maidah: 78-79 dijelaskan bahwa kaum kafir dari Bani Israil berpangku tangan dalam menyikapi kemungkaran yang ada di sekitar mereka. Dan inilah yang menyebabkan mereka dilaknat oleh Allah I melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi Isa bin Maryam.

Kata ‘’mungkar” lebih umum dibandingkan dengan kata “maksiat”. Karena “mungkar” bisa mencakup sebuah prilaku yang secara bentuk sama dengan kemungkaran namun tidak bisa dikatakan maksiat, seperti anak kecil meminum khamr atau berzina. Dipandang dari perilaku, sebenarnya tetap dianggap tidak perpuji. Namun, dipandang dari pelaku, maka juga tidak masuk kategori maksiat. Perincian ini muncul disebabkan pelaku masih belum mencapai taraf taklif yang bisa menentukan apakah pelakunya mendapatkan dosa atau tidak. Dalam masalah ini, nahi mungkar tetap berlaku meskipun kemungkaran yang dihadapi bukanlah sebuah kemaksiatan. Oleh karena itu, nahi mungkar tidak hanya berpatok pada kemaksiatan, melainkan juga terarah pada perilaku yang mirip dengan kemaksiatan. Dan ini dalam fikih dikenal dengan nahyunan shuratil-mungkar.

Syarat Pelaksana Amar MakrufNahi Mungkar

Tidak semua pihak berkewajiban untuk melakukan amar makruf-nahi mungkar. Ada beberapa syarat muhtasib (pelaksana) yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, tamyiz. Ketiga, mukalaf. Jika syarat ini sudah terpenuhi, amar makruf nahi mungkar sudah wajib baginya tanpa memandang kaya, miskin, kuat, lemah, orang hina, orang mulia, besar dan kecil. Maka dari itu, tidak ada satu pun ulama yang mengatakan; jika ada anak kecil melarang kemungkaran yang dilakukan orang dewasa termasuk su’uladab (etika yang buruk).4

Syarat Kemungkaran yang Harus Diingkari

Ada beberapa Syarat kemungkaran yang harus dipenuhi untuk diwajibkannya amar makruf dan nahi mungkar. Pertama, harus benar-benar kemungkaran. Kedua, kemungkaran itu harus muncul dipermukaan tanpa ada unsur tajassus.5 Jika ada pelaku mungkar secara sembunyi-sembunyi dengan mengunci pintu rumahnya, maka tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumahnya untuk memastikan kemungkaran yang ada. Ketiga, kemungkaran harus disepakati oleh semua ulama. Maka, penganut mazhab Hanafiyah tidak boleh ingkar pada penganut mazhab Syafiiyah dalam masalah khilafiah. Atau kemungkaran masuk dalam kategori khilafiah, namun pelaku meyakini akan keharaman yang ia lakukan. Maka nahi mungkar harus dilaksanakan.6

Prosedur Pelaksanaan Nahi mungkar

Dalam melaksanakan nahi mungkar, tidak boleh semerta-merta melakukan tindakan anarkis dan brutal, tetapi harus sesuai dengan prosedur. Sedangkan prosedur yang dipakai dalam nahi mungkar menggunakan konsep al-akhaf fal-akhaf (mengambil yang lebih ringan).7 Dalam artian, pelaksana nahi mungkar harus melarang pelaku dengan cara yang lembut terlebih dahulu, dengan urutan sebagaimana berikut: Pertama, memberitahu pelaku bahwa yang dilakukan itu merupakan kemungkaran. Kedua, melarangnya dengan dinasehati dan ditakut-takuti akan pedihnya siksaan Allah. Ketiga, mencegah pelaku dengan menggunakan kalimat yang kasar. Keempat, mencegahnya dengan sebuah tindakan tanpa merusak harta pelaku.

Empat tahapan prosedur di atas harus diikuti, tidak boleh mengambil tindakan ketiga sebelum melakukan tindakan kedua. Namun terkadang, dengan memandang pelaku kemungkaran, prosedur itu tidak diperkenankan untuk dilaksanakan semua. Dalam kasus kemungkaran yang dilakukan oleh presiden atau pemerintah, rakyat hanya diperkenankan melakukan tahapan pertama dan kedua. Tahapan nomor empat tidak boleh secara mutlak. Sedangkan tahapan ketiga, seperti mengatakan “Wahai pemerintah yang zalim”, jika nantinya akan menimbulkan fitnah yang berbahaya kepada orang lain, tidak diperbolehkan. Namun, jika bahaya itu hanya terjadi pada dirinya, hal tersebut justru disunahkan. Bahkan ulama salaf sering kali membahayakan diri sendiri untuk melarang kemungkaran demi memperoleh gelar “syahid”.8

Perlu diketahui, bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar bisa berubah menjadi haram dalam dua kasus. Pertama, pelaksanaan dilakukan oleh orang yang tidak bisa membedakan mana yang “makruf” dan mana yang “mungkar”. Karena kemungkinan besar yang dia perintah adalah kemungkaran dan yang dia larang adalah kemakrufan. Kedua, nahi mungkar menyebab timbulnya kemungkaran yang lebih besar. Semisal melarang meminum khamr bisa mengakibatkan terjadinya pembunuhan.9 Wallahu a’lam.

Oleh: Hasanuddin Syafii 


Referensi:

  1.  Al-Qasimi, Syekh Jamaluddin, Mauidzatul Mukminin, Maktabah Syamilah, hal.243.
  2.  Ba ‘Alawi, Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul FIkr, I/536.
  3.  Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulumiddin, Beirut, Darul Makrifah, II/307.
  4.  Ba ‘Alawi, Sayid Abdurrahman bin Muhammad, BughyatulMustarsyidin, I/536, Beirut, Darul FIkr.
  5.  Tajassus adalah mencari-cari kemungkaran yang ditutup-tutupi oleh pelaku.
  6.  Al-Haitami, Ahmad bin Hajar, Fatawa Fiqhiyah Kubro, IV/119, Beirut, Darul Fikr.
  7.  As-Syarwani, Abdul Hamid, Hawasyi as-Syarwani, VII/217, Beirut, DKI.
  8.  Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulumiddin, II/318, Beirut, Darul Makrifah.
  9.  Az-Zabidi, Sayid Murtadla, Ithafussadah al-Muttaqin, VII/53, Beirut, DKI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *