Peran Siqayah dan Rifadah pada Masa Jahiliyah dan Relevansinya di Masa Kini
Pendahuluan
Perkembangan sistem sosial dalam sejarah masyarakat Arab pra-Islam, khususnya di Makkah, menunjukkan kemajuan yang signifikan, terutama dalam pelayanan terhadap jamaah haji. Dua lembaga sosial yang paling menonjol dalam konteks ini adalah Siqayah dan Rifadah. Kedua jabatan ini merupakan posisi yang sangat mulia karena berfokus pada pelayanan terhadap tamu-tamu Allah (jamaah haji). Selain itu, jabatan ini juga menjadi sumber prestise sosial bagi masyarakat Makkah, khususnya masyarakat Bani Quraisy. Hal ini disebabkan oleh posisi strategis kedua jabatan tersebut dalam melayani para tamu Allah.
Pelopor dari jabatan ini adalah Qushai bin Kilab, kakek Nabi Muhammad yang keempat. Setelah beliau wafat, jabatan ini dipegang oleh Abdu Manaf bin Qushai, kemudian dilanjutkan oleh Hasyim bin Abdu Manaf, lalu Abdul Muththalib bin Hasyim, dan akhirnya diteruskan kepada Abu Thalib bin Abdul Muththalib. Pada masa Rasulullah, ketika Abu Thalib wafat, jabatan ini beralih kepada saudaranya, Abbas bin Abdul Muththalib.
Di kalangan masyarakat Makkah, khususnya Bani Quraisy, kedua jabatan ini sangat dihormati karena berperan sebagai front office (wajah depan) dari kabilah Quraisy dalam menjalin interaksi sosial dengan masyarakat luar. Siqayah dan Rifadah sangat berperan dalam memberikan kesan positif kepada tamu-tamu Allah yang datang ke Makkah.
Baca Juga:
Baca Juga: Kilas Balik Haji di Era Jahiliyah
1. Konteks Sosial dan Budaya Quraisy
Suku Quraisy adalah penjaga Kakbah serta pemegang otoritas keagamaan, sosial, dan ekonomi di Makkah. Kota ini menjadi pusat ziarah agama dan perdagangan, tempat berkumpulnya suku-suku Arab setiap tahun dalam musim haji. Dalam konteks ini, muncul dua tanggung jawab utama terhadap jamaah haji, yaitu penyediaan air dan makanan.
Menurut Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, Bani Qushai bin Kilab menjadi pengelola utama pelayanan ini. Qushai bin Kilab, kakek keempat Nabi Muhammad, adalah tokoh pertama yang secara sistematis mengatur logistik makanan dan minuman bagi para jamaah, membentuk sistem Rifadah dan Siqoyah yang kemudian diwariskan secara turun-temurun[1].
2. Siqayah: Pelayanan Air Minum bagi Jamaah Haji
Siqayah berasal dari kata saqā (سقى) yang berarti “memberi minum”. Tugas ini berfokus pada penyediaan air bersih, terutama dari sumur Zamzam yang terletak di dekat Kakbah. Abdul Muththalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad, adalah orang yang menggali ulang sumur Zamzam yang telah lama tertimbun[2]. Ia mendapatkan petunjuk dalam mimpinya mengenai lokasi sumur tersebut, lalu menggali hingga menemukan kembali mata air yang menjadi sumber utama air bagi para jamaah haji.
Dalam kitab Akhbar Makkah karya al-Azraqi, disebutkan bahwa Abdul Muththalib tidak hanya menggali sumur Zamzam, tetapi juga membangun sistem distribusi air dan menyediakan tempat minum bagi jamaah, bahkan hingga ke area sekitar Masjidil Haram[3]. Tugas ini sangat dihormati karena pentingnya akses air di tengah kondisi geografis Makkah yang kering.
3. Rifadah: Penyediaan Makanan secara Kolektif
Rifadah adalah lembaga sosial Quraisy yang mengatur pembagian makanan secara gratis kepada para jamaah haji. Jabatan ini bermula dari Qushai bin Kilab yang melihat banyak tamu Allah datang ke Makkah dalam keadaan miskin dan lapar. Ia mengumpulkan dana dari tokoh-tokoh Quraisy dan menggunakannya untuk menyediakan makanan pokok selama musim haji[4].
Makanan yang disediakan bersifat sederhana namun mencukupi, seperti roti gandum, kurma, dan daging. Proses ini terus berlangsung setiap tahun dan menjadi sumber kebanggaan bagi kaum Quraisy. Bahkan pada masa-masa sulit, mereka tetap mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari pelayanan sakral kepada para tamu Allah.
4. Posisi Siqayah dan Rifadah dalam Perspektif Islam
Nabi Muhammad tidak datang untuk menghapus tradisi masyarakat Makkah, melainkan memperbaiki dan memperkuat nilai-nilai sosial yang baik, termasuk Siqayah dan Rifadah. Allah berfirman yang artinya:
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah.”
(QS at-Taubah: 19)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini turun sebagai respon terhadap pernyataan Abbas bin Abdul Muththalib yang merasa bangga dengan tanggung jawab Siqayah dan Rifadah yang diembannya, hingga menganggap perannya lebih mulia daripada mereka yang berjihad bersama Rasulullah[5]. Maka, Allah menurunkan ayat ini sebagai penegasan bahwa melayani Masjidil Haram dan berjihad tidak dapat disamakan, karena keduanya menyentuh aspek keimanan yang hanya dapat dinilai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Namun demikian, Rasulullah ﷺ tetap menghormati kedua tugas ini dan tidak pernah meremehkannya. Bahkan dalam beberapa riwayat, beliau turut membantu pamannya, Abu Thalib, dalam menyiapkan air minum untuk jamaah haji sebelum masa kenabian.
5. Relevansi Siqayah dan Rifadah di Era Modern
Meskipun bentuknya berubah, semangat Siqayah dan Rifadah tetap hidup di era modern:
a. Pemerintah Arab Saudi
Sebagai pelayan dua tanah suci (Khadimul Haramain), Arab Saudi melanjutkan peran Siqayah dan Rifadah dalam skala besar. Setiap musim haji, jutaan liter air Zamzam didistribusikan secara gratis, dan ribuan petugas disiagakan untuk membagikan makanan kepada jamaah, terutama di Arafah, Mina, dan Muzdalifah.
b. Kementerian Agama dan Pemerintah Negara Muslim
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) menyediakan layanan makanan dan minuman selama jamaah berada di Tanah Suci. Pemerintah juga mengatur katering yang sesuai dengan gizi, budaya makan jamaah, dan keamanan pangan. Ini merupakan bentuk modernisasi dari konsep Rifadah.
c. Organisasi Filantropi Islam
Lembaga seperti BAZNAS, Dompet Dhuafa, ACT, dan lainnya sering menjalankan program “Haji untuk Dhuafa” serta penyediaan logistik makanan bagi jamaah yang kurang mampu. Hal ini mencerminkan semangat Rifadah dalam bingkai zakat dan wakaf.
6. Makna Sosial dan Spiritualitas
Siqayah dan Rifadah mengajarkan nilai-nilai berikut:
- Kepedulian sosial terhadap sesama Muslim.
- Mengutamakan pelayanan terhadap tamu Allah sebagai bentuk amal utama.
- Pengelolaan kolektif sumber daya umat demi kepentingan publik.
Dua peran ini menjadi model awal welfare system Islam, yang menekankan bahwa akses terhadap sumber daya dasar (air dan makanan) merupakan hak publik, bukan komoditas eksklusif.
Baca Juga: EKSPEDISI BESAR YANG LAMA DITUNGGU
Kesimpulan
Siqayah dan Rifadah bukan sekadar tugas logistik, melainkan warisan peradaban Islam awal yang berakar pada nilai pelayanan, solidaritas sosial, dan spiritualitas. Pada masa Bani Quraisy, dua fungsi ini menjadi simbol kehormatan dan tanggung jawab moral. Islam kemudian mengintegrasikan keduanya sebagai amal saleh yang bernilai tinggi di sisi Allah.
Di era modern, dengan berbagai bentuk transformasi, prinsip dasar Siqoyah dan Rifadah tetap lestari dalam sistem pelayanan jamaah haji serta aktivitas filantropi umat Islam.
Oleh: Hubbi Abdillah/Istinbat
[1] Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyah, I/109-110, Dar al-Fikr.
[2] Ibnu Sa’d, ath-Thabaqat al-Kubra, I/82-83. Riwayat tentang Abdul Muththalib menggali kembali sumur Zamzam.
[3] Al-Azraqi, Akhbar Makkah, I/118-120. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
[4] Al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, I/232. Menjelaskan inisiatif Hasyim dalam mendirikan sistem Rifadah.
[5] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Tafsir QS at-Taubah: 19. Beirut: Dar al-Fikr.