TAUBATNYA TIGA SAHABAT YANG TIDAK MENGIKUTI PERANG TABUK

Kisah ini di antaranya dicantumkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin dan Fiqhus Sirah karya Syekh Said Ramdhan al Buthi. Dalam riwayat disebutkan, setelah menempuh perjalanan panjang dan lama dari Tabuk, Rasulullah dan pasukan kaum Muslimin tiba di Madinah. Setibanya di Madinah, Rasulullah memasuki masjid lalu shalat dua rakaat. Lalu Beliau duduk dan orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk mulai berdatangan menemui beliau sambil menjelaskan alasan mereka tidak ikut dalam perang Tabuk. Sekitar delapan puluh lebih mereka yang tidak ikut dalam peperangan tersebut menyebutkan berbagai alasan, Nabi tetap menerima alasan-alasan yang mereka ucapkan, memohonkan ampunan buat mereka, sedangkan urusan hati mereka diserahkan kepada Allah.

Di antara yang tidak ikut dalam perang Tabuk tersebut adalah tiga orang Sahabat Rasulullah yaitu Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin ar-Rabi’. Berbeda dengan orang-orang munafik yang menyampaikan alasan palsu, tiga orang sahabat ini menyampaikan kondisi mereka yang sebenarnya. Mereka mengaku tidak memiliki uzur yang menghalangi mereka untuk mengikuti Rasulullah dalam perang Tabuk tersebut. Mereka melakukan itu dengan harapan agar Allah berkenan mengampuni kesalahan yang telah mereka lakukan itu.

Ka’ab bercerita: “Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah dalam peperangan yang beliau lakukan kecuali perang Tabuk. Walaupun saya pernah tertinggal dari perang Badar, tapi Rasulullah tidak mencela saya dan siapapun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasulullah keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, hingga akhirnya Allah  mempertemukan beliau dengan musuh-musuhnya. Saya belum pernah merasa lebih kuat daripada keadaan saya ketika tertinggal dari beliau dalam perang (Tabuk) tersebut. Demi Allah, saya belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali perang Tabuk.”

Menjelang kedatangan Rasulullah dan muslimin, keinginan buruk muncul dalam benaknya. Ka’ab bin Malik  mengatakan, “Ketika sampai berita bahwa Rasulullah  dan kaum muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncul keinginanku untuk berbohong. Saya berkata dalam hati, ‘Dengan apa kira-kira saya bisa lolos dari murka beliau besok?”

Namun, ketika diberitakan bahwa Rasulullah sudah mulai bergerak menuju Madinah, keinginan untuk berbohong itu hilang. Setibanya di Madinah, Rasulullah dan pasukannya disambut oleh penduduk Madinah. Kemudian beliau menuju masjid dan shalat dua rakaat. Setelah itu, beliau duduk untuk menerima dan mendengarkan udzur orang-orang yang tidak ikut berperang. Ka’ab mengatakan, “Saya datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau tersenyum masam kepada saya seraya bertanya, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau telah menjual dirimu (untuk membela Islam)?” Saya menjawab, ‘Tentu. Sungguh, demi Allah! Wahai Rasulullah! Seandainya aku duduk dengan orang lain di dunia ini pasti aku bisa lolos dari kemarahannya dengan alasan, karena saya diberi kemampuan berdebat. Akan tetapi, demi Allah! Saya tahu, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu kebohongan yang bisa membuat Anda meridhai saya, pastilah Allah  akan membuat Anda marah kepada saya. Sungguh, seandainya saya berbicara kepada Anda dengan jujur, niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya betul-betul berharap ampunan dari Allah  dalam masalah ini. Demi Allah! Saya tidak memiliki uzur sama sekali. Saya tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah sama sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”

Kemudian Rasulullah bersabda, “Karena engkau sudah berkata jujur, maka berdirilah sampai Allah memberi keputusan tentangmu.” Hal yang sama juga dilakukan oleh dua Sahabat Rasulullah yang lainnya sebelum Ka’ab, yakni Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah.

Sejak saat itu, Rasulullah mulai melarang kaum muslimin berbicara dengan mereka. Kondisi ini tentu membuat mereka sedih dan tertekan. Semakin bertambah hari, semakin berat tekanan yang mereka rasakan. Mereka merasa terasing di Madinah. Kedua sahabat Ka’ab  merasa sangat tertekan dan hanya duduk di rumah mereka sambil menyesali apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan Ka’ab yang lebih muda, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin, berkeliling di pasar-pasar meskipun tidak ada seorang pun mengajaknya bicara.

Dalam keadaan seperti itu, utusan Raja Ghassan datang mencari dan menemui Ka’ab di pasar untuk menyerahkan sepucuk surat yang ternyata isinya, “Amma ba’du, Sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad) mengucilkanmu. Allah tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami, niscaya kami memuliakanmu.” Setelah membacanya, Ka’ab  berkata, “Ini juga ujian,” lalu menyalakan api dan membakarnya.

Ka’ab juga mengatakan, “Empat puluh hari berlalu, ketika utusan Rasulullah datang menemui saya dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.’Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?’ ‘Tidak, Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.’ Hal itu juga yang disampaikan kepada dua Shahabat yang lainnya. Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allah memutuskan perkara ini.”

Ka’ab menceritakan “Seusai shalat Shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas rumah, persis seperti diterangkan Allah, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Mendengar itu, saya pun bersujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullah telah memberitahukan bahwa Allah menerima taubat kami. Kaum Muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua Shahabat itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Ada suara yang lebih cepat daripada kuda, setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut, padahal, demi Allah! Saya tidak punya baju lain selain itu pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasulullah . Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allah.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullah sudah dikelilingi oleh para sahabat lain. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidullah  berlari-lari kecil menyambut dan menyalami saya sembari mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah”

Ka’ab  mengatakan, “Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah, Beliau berkata dengan wajah berseri-seri:

أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ

“Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu.”

Saya bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah ini dari engkau atau dari sisi Allah?” Beliau menjawab, “Dari sisi Allah.” Dan kalau Rasulullah gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.

Setelah duduk di hadapan Nabi, saya berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya sebagai bentuk tobat, saya menyerahkan seluruh harta saya untuk sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah berkata, “Tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik.” Saya berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”

Kisah tobat tiga sahabat ini diabadikan dalam al Quran surah at-Taubah ayat 117-119:

لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ࣖ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

“Sungguh, Allah benar-benar telah menerima tobat Nabi serta orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar yang mengikutinya pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok dari mereka hampir berpaling (namun) kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *