Sufisme Al-Ghozali Mencerahkan Dunia

Dari Shalahuddin al-Ayyubi Sampai Sunan Bonang di Nusantara

Siapa yang tidak kenal dengan sang pencerah dan pembaharu abad ke 5 H, beliau sohor dengan sebutan Imam Al-Ghazali, memiliki nama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Thushi, dan mendapat julukan (kunyah) Abu Hamid Al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tusy yaitu sebuah kota yang masih berada di wilayah Khurasan dan masih dalam kekuasaan Baghdad ibu kota Iraq. Beliau wafat pada tahun 505 H/ 1111 M, dalam usianya yang ke 55 tahun.

Sosok Imam Al-Ghazali adalah ulama besar kelas dunia yang pandangannya mencerahkan umat manusia yang masih kita bisa rasakan pada saat ini. Jernihnya pemikiran cerdas beliau dijadikan prinsip sebagian besar kehidupan manusia, peradaban Islam dalam berbagai aspek yaitu etika, tauhid, hukum syariat, spiritualitas dan filsafat, sepanjang  masa tak lepas dari pengaruhnya. Sehingga dapat menyatukan umat manusia dari kesesatan dan pemikiran pemikiran yang menyimpang, terutama karangan beliau yang monumental  dan banyak dijadikan pegangan oleh sebagian besar manusia sampai detik ini yaitu Ihya’ Ulumuddin.

para sejarawan menjelaskan bahwa imam Al-Ghazali sebelum menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau meninggalkan jabatannya yaitu Rektor Universitas Al-Nidhomiyah, menjauhi keduniaan, hidup zuhud dan memutus hubungan dengan dunia. Pengembaraan yang dilakukan Imam Ghazali cukup lama, sekitar sepuluh tahun, beliau berjalan dari Baghdad menuju ke Damaskus, Suriah, Bait Al Maqdis Palestina, dan kedua tanah suci Mekah dan Madinah. Selama dalam perjalanan inilah beliau sembari menulis kitab Ihya’ Ulumuddin sehingga menurut Ibnu Najjar; sesungguhnya Imam Al-Ghazali tidak berguru pada salah seorang ulama dan tidak pula belajar ilmu hadist pada para ahli hadist.

Artinya selama ia menulis Ihya’ Ulumuddin beliau tidak belajar atau menelaah terlebih dahulu kepada seorang ulama manapun. Sehingga tidak berlebihan jika sebagian besar ulama mengatakan bahwa kitab Ihya’ ulumuddin adalah ilham dari Allah SWT yang dihasilkan dari uzlah dan spiritualitasnya yang sangat serius selama sepuluh tahun.

Setelah pulang dari pengembaraannya, kitab Ihya’ Ulumuddin beliau bacakan dan ajarkan di masjid-masjid dan majelis-majelis taklim yang ada di Baghdad. Sehingga kitab Ihya’ Ulumuddin mendapat apresiasi dan komentar positif dari para ulama, di antaranya yaitu Abdu al-Ghafir al-Farisi, Sayyid al-Jalil Taj al-shekh Abdullah al-Idrus, dan al-Imam al-Faqih Abu al-Fadl al-’Iraqi yang menyatakan bahwa kitab Ihya’ ulumuddin adalah kitab yang paling baik sepanjang sejarah peradaban Islam yang menerangkan tentang pengetahuan halal dan haram.

Al-Ghazali adalah sosok ulama yang sangat mumpuni dalam berbagai imu pengetahuan, oleh sebab itu beliau menyandang predikat mujaddid ( pembaharu ) abad ke Lima Hijriah. Sebagaimana hadist riwayat Abu Hurairah RA.

ان الله تعالى يبعث لهذه الامة على رئس كل مائة سنة من يجدد لهاامر دينها

Artinya; “Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus kepada umat islam di setiap seratus tahun seorang yang memperbaharui pemikiran ke agamaannya”.

Para ulama menafsirkan hadist tersebut, bahwa setiap seratus tahun ( satu abad ) dari umat Islam akan muncul sosok pembaharu pemikir keagamaan. Imam al-Iraqi berkata bahwa di setiap seratus tahun pasti akan muncul seorang ulama yang kan menjelaskan agama dengan benar serta mendebat semua pemikir-pemikir yang menyimpang  dan menghidupkan kembali imu-ilmu agama Islam.

pandangan dan pemikiran pemikirannya pada abad ke 5 H mampu merubah dunia menjadi lebih baik dan meluruskan pemikiran pemikiran yang menyimpang. Terbukti karya-karyanya dalam bentuk kitab-kitab masih eksis dikaji, dipelajari, didiskusikan dan diajarkan di kampus, pesantren, masjid dan di tengah-tengah masyrakat hingga era modern saat ini, baik dari kalangan sunni bahkan hingga kalangan Syiah kecuali salafi wahabi yang tidak mengkajinya atau mengkaji tapi hanya untuk menyanggah pendapat dan pandangan beliau.

Kiprah dan pengaruhnya benar-benar menyebar ke pelosok dunia.  Mulai dari Timur Tengah, Barat hingga sampai ke Nusantara. Dalam catatan sejarah, pengaruh Imam Al-Ghazali di Nusantara terekam jejaknya pada era walisongo, tepatnya sejak era Sunan Bonang. Beliau adalah putra keempat dari Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang Bupati Tuban yaitu Area Teja. Beliau diperkirakan lahir sekitar tahun 1465 Masehi.

pengaruh Imam Al Ghazali terhadap sunan Bonang terlihat dalam naskah Primbon Bonang. Agus Sunyoto sejarawan Walisongo mengatakan, bahwa isi Primbon Bonang sejatinya lebih merupakan ikhtisar bebas kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan kitab Tamhid Fi Bayani al-Tauhid Wa Hidayah Li kulli Musyarsid Wa Rasyid karya Imam Abu Syakur Bin Syuaib al-kasi al-Hanafi.

Pengaruh Imam Al ghazali di Nusantara sangat kuat dan mengakar hingga  saat ini, terutama di kalangan  pesantren Nahdiyyin, Majlis Taklim, pengikut dan penerus perjuangan dakwah walisongo, seperti Syekh Nawawi al-Banteni, Syaikhona Kholil al-Bangkalani, Syekh Ihsan Jampes, KH. Sholeh Darat, KH Hasyim Asyari pendiri NU dari jombang. Mereka semua adalah di antara sosok sosok ulama yang berjasa menyampaikan pandangan dan pemikiran Imam al-Ghazali dengan cara mengkaji dan mengajarkan serta menjelaskan dengan jelas kitab kitab karya karya imam Al Ghazali.

Oleh: Redaksi


Referensi

Rohimuddin nawawi Al bantani, kisah ajaib Walisongo cet ke 1 november 2017, hal 80.

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, depok, pustaka Iiman, Trans pustaka. Ibid, hal, 206. dan LTN PBNU, cet, 2013, hal, 192.

Mukti Ali, Qissotu Ajaib Imam Al Ghazali, cet mei 2017, 1, 25, 29,30, 33,101,125,126.

Imam Ibnu Katsir, Al bidayah Wannihayah, Daru AL kutub, juz 12, hal 189.

Abi Bakar Bin Hidayatillah Al Husaini, Thobaqot As Syafiiyah, hal 192,193,194

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *