Jihad Lebih dari Sekadar Perang

Kata ‘jihad’ kerap terdengar mengerikan, seolah selalu identik dengan perang dan kekerasan. Namun, benarkah jihad sebatas itu? Sejatinya, dalam al-Quran dan hadis, jihad memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas. Ia bukan hanya urusan mengangkat senjata, tapi juga perjuangan batin, dakwah, ilmu, bahkan ekonomi. Al-Quran menyebut kata “jahada” sebanyak 42 kali dalam berbagai bentuk. Salah satu yang paling menyentuh terdapat dalam surah al-Ankabût ayat 69(artinya):

“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabût[29]: 69)

Hadis-hadis Nabi juga banyak menjelaskan keutamaan jihad. Suatu ketika, Shahabat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ ditanya:

“Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia?

Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Orang itu bertanya lagi: “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

Pertanyaan berlanjut, “Kemudian apa?”

Rasulullah ﷺ menjawab; “Haji yang mabrur.”

Dalam hadis lain, Shahabat Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah ﷺ,

“Wahai Rasulullah, amal apa yang paling dicintai Allah?”

Nabi bersabda, “Shalat tepat waktu.”

“Kemudian apa?” tanya Ibnu Mas’ud. “Berbakti kepada kedua orang tua,” jawab Nabi. “Lalu apa?”

“Jihad di jalan Allah,” jawab beliau.

Dari sini tampak bahwa jihad menempati posisi tinggi dalam Islam. Dalam konteks amal yang paling mulia, jihad berada di urutan kedua setelah iman. Sedangkan dalam amal yang paling dicintai Allah, jihad menempati urutan ketiga setelah salat dan bakti kepada orang tua.

Baca Juga: Saudara Kita

Secara bahasa, jihad berasal dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dan upaya. Secara istilah syar’i, jihad berarti mengerahkan seluruh kemampuan seorang Muslim untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Islam demi mencapai ridha Allah. Oleh karena itu, kata jihad dalam al-Quran kerap diiringi dengan frasa fî sabîlillâh, menunjukkan bahwa perjuangan ini harus sesuai tuntunan syariat dan diniatkan semata karena Allah. Namun, sayangnya, makna luhur jihad ini kerap mengalami penyempitan. Di masa kini, istilah jihad sering hanya dipahami sebagai perang fisik melawan orang kafir. Penyederhanaan ini tidak lepas dari beberapa faktor:

Pertama, framing media barat. Sejak abad ke-20, terutama pasca peristiwa 9/11, istilah “Jihad” kerap dimonopoli media barat untuk menggambarkan kekerasan dan aksi terorisme. Kata “Jihadis” menjadi label negatif, yang bahkan turut diadopsi oleh media di negara-negara Muslim sendiri. Akibatnya, persepsi publik terhadap jihad menjadi sempit berupa “Jihad = Perang”.

Kedua, kurangnya pendidikan agama yang komprehensif. Banyak lembaga pendidikan hanya mengajarkan jihad dari sisi historis dan defensif, tanpa menggali nilai-nilai spiritual, sosial, dan kultural di baliknya. Padahal, Nabi sendiri menyebut jihad melawan hawa nafsu sebagai “Jihad akbar” (jihad besar).

Ketiga, penyalahgunaan makna jihad oleh kelompok ekstremis. Kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda memanipulasi makna jihad untuk membenarkan kekerasan terhadap orang tak bersalah. Mereka menutup mata terhadap dimensi-dimensi jihad lainnya, seperti jihad ilmu, dakwah, dan pembangunan masyarakat.

Dr. KH. Abdul Ghafur Maimoen, MA., menyatakan bahwa makna jihad kini terlalu disederhanakan dan sering dikaitkan dengan radikalisme. Padahal, jihad sangat relevan untuk diaplikasikan dalam banyak aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial, hingga politik. Jihad tidak harus kaku dan bersenjata; ia bisa lembut namun berdampak besar.

Tampaknya, jihad qitālī sulit untuk dilakukan di Indonesia. Bukan hanya sulit dilakukan secara teknis tapi juga problematik secara hukum, dan sosial. Lebih jauh lagi, jika dibandingkan dengan negara-negara adidaya yang memiliki senjata canggih dan sistem militer berbasis teknologi tinggi, peperangan di masa kini nyaris tidak lagi melibatkan kontak fisik secara langsung. Cukup dengan menekan tombol dari jarak jauh, dampaknya bisa sangat dahsyat. Dalam realitas seperti ini, membayangkan perang dengan senjata seadanya seperti bambu runcing tentu terasa tidak masuk akal. Karena itu, jihad qitālī seharusnya menjadi opsi terakhir yang dilakukan hanya ketika semua jalan damai telah benar-benar buntu, dan dalam konteks perang sah yang ditetapkan oleh negara. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga bentuk jihad yang bisa dilakukan oleh umat Islam masa kini:

1. Jihad Melawan Hawa Nafsu

Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

“Mujahid sejati adalah orang yang berjihad melawan nafsunya karena Allah”.

Jihad militer lebih mudah dilakukan daripada jihad melawan hawa nafsu. Jihad militer hanya butuh keberanian, sedangkan jihad melawan hawa nafsu butuh semua jenis ketangguhan moral, plus keberhasilan hati dan kebeningan nurani. Dalam jihad militer kita melawan musuh yang terlihat jelas dan kita benci, sedangkan dalam jihad nafsu kita melawan musuh yang tidak terlihat dan justru kita senangi. Jihad militer bisa diselesaikan dalam waktu beberapa pekan, bulan, atau setahun, sedangkan jihad nafsu terus menerus dilakukan hingga ajal merenggut segalanya dari kita.

2. Jihad dengan Lisan dan Ilmu

Allah berfirman dalam Surah Al-Furqan ayat 52 (artinya):

“Maka, janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah melawan mereka dengan Al-Qur’an secara sungguh-sungguh (jihad yang besar).” (QS. al-Furqan[25]: 52)

Ayat ini turun di Makkah, sebelum ada perintah perang. Maka jelas, jihad yang dimaksud bukan perang, melainkan dakwah, penyampaian ilmu, dan debat ilmiah. Syekh Wahbah Zuhaili bahkan menyebut jihad dengan ilmu ini sebagai jihad yang lebih agung daripada perang, karena Allah menyebutnya jihad kabîra (jihad besar) yang menunjukkan keistimewaan tersendiri bagi jihad yang satu ini. Mungkin, inilah yang disebut dengan jihad kultural, membangun masyarakat melalui pemikiran dan pendidikan.

3. Jihad dengan Harta

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang menyumbangkan hartanya di jalan Allah, maka akan dicatat baginya pahala 700 kali lipat.” (H.R. Ahmad dan an-Nasai)

Jihad juga bisa dilakukan dengan harta. Dalam banyak ayat al-Quran, jihad dengan harta kerap disandingkan dengan jihad jiwa. Dr. Said Hawwa dalam bukunya Jundullah menjelaskan bahwa jihad harta sangatlah urgen. Dakwah butuh biaya: untuk menerbitkan buku, membangun lembaga pendidikan, bahkan menyokong perjuangan yang lebih besar. Tanpa logistik dan dana, seluruh gerak jihad, baik lisan, maupun fisik, akan terhambat. Oleh karena itu, jihad bil-māl adalah titik vital bagi keberlangsungan jihad-jihad yang lain.

Jihad bukanlah istilah kaku yang hanya bermakna perang. Dalam dunia yang terus berubah, jihad menyesuaikan bentuknya kadang menjadi perjuangan batin, kadang menjadi gerakan ilmu, kadang menjadi kontribusi sosial dan ekonomi. Dan dalam setiap bentuknya, jihad tetap bermuara pada satu tujuan: mencari ridha Allah. Dengan memahami jihad secara utuh, kita bisa mengembalikan kejernihan makna dari istilah ini menjadikannya bukan sebagai momok yang ditakuti, tetapi sebagai cahaya perjuangan yang membimbing umat menuju kebaikan.

Baca Juga: Memahami Kalimat Jihad dengan Cermat dan Tepat

AHMAD SYAFIQ YAHYA/ ISTINBAT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *