ULAMA SUFI PLURALIS?
Tampaknya konflik yang banyak terjadi di negara-negara Islam, khususnya di kawasan Timur Tengah, menimbulkan beragam respon di kalangan masyarakat. Apalagi, hal tersebut diperparah oleh berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh sebagian ormas keagamaan terhadap orang-orang non-Muslim. Di antara respons yang muncul adalah dari kalangan aktivis liberal di tanah air, mereka memunculkan gagasan pluralisme sebagai solusi untuk menghilangkan tindak kekerasan dan penindasan antarpemeluk agama di Indonesia. Mereka juga mengumpulkan berbagai dalil yang menurut mereka sesuai dengan paham pluralism baik dari al-Quran maupun hadis yang tentunya setelah ditafsirkan sesuai dengan kehendak mereka dalam mendukung ide bahwa semua agama adalah benar.
Beberapa waktu lalu, saya pernah membaca buku karya salah satu tokoh liberal terkenal. Dalam bukunya, ia mengutip pernyataan beberapa ulama sufi yang sekilas tampak mencerminkan penerimaan terhadap semua agama sebagai argumen pendukung pluralisme. Di antaranya adalah pernyataan berikut:
“Hatiku bisa menerima segala bentuk: menjadi padang rumput bagi rusa, dan biara bagi para rahib. Sebuah kuil untuk berhala, dan Kakbah bagi para peziarah; Loh Taurat, dan mushaf al-Quran. Aku mengikuti agama cinta, ke mana pun kendaraan cinta membawaku. Itulah agamaku dan keimananku.”
Atau ungkapan yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali dari Imam Zainal Abidin:
يَا رَبِّ جَوْهَرُ عِلْمٍ لَوْ أَبُوحُ بِهِ
لَقِيلَ لِي أَنْتَ مِمَّنْ يَعْبُدُ الْوَثَنَا
وَلَاسْتَحَلَّ رِجَالٌ مُسْلِمُونَ دَمِي
يَرَوْنَ أَقْبَحَ مَا يَأْتُونَهُ حَسَنًا
“Ya Rabb, hakikat ilmu yang bila aku ungkapkan,
niscaya akan dikatakan: ‘Engkau termasuk orang yang menyembah berhala.’
Dan bisa jadi orang-orang Muslim justru akan menghalalkan darahku,
karena mereka melihat perbuatan keji mereka sebagai sesuatu yang terpuji.”
Tentu, hal ini perlu dibahas secara kritis untuk menjaga umat dari paham-paham yang dapat merusak akidah mereka apalagi penggiringan opininya seakan sangat menarik dan disampaikan dengan diksi yang lembut.
Untuk menjawab fenomena ini, pertama-tama kita perlu memahami posisi tasawuf dalam Islam. Hakikat (tasawuf) tidak boleh lepas dari syariat. Para ulama mengibaratkan keduanya seperti jasad dan ruh: syariat sebagai jasad dan hakikat sebagai ruh, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Hakikat harus selalu berlandaskan pada syariat. Apabila dalam proses pembersihan jiwa terdapat unsur yang bertentangan dengan syariat, maka dapat dipastikan bahwa ia telah menyimpang.
BACA JUGA: Sufisme Al-Ghozali Mencerahkan Dunia
Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“كُلُّ حَقِيقَةٍ لَا تَشْهَدُ لَهَا الشَّرِيعَةُ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ.”
“Setiap hakikat yang tidak disaksikan oleh syariat, maka itu adalah zindiq.”
Dan beliau juga berkata:
“طِرْ إِلَى الْحَقِّ عَزَّ وَجَلَّ بِجَنَاحَيِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، ادْخُلْ عَلَيْهِ وَيَدُكَ فِي يَدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.”
“Terbanglah menuju kebenaran dengan dua sayap: Kitab dan Sunah; masuklah ke hadapan-Nya dengan tanganmu menggenggam tangan Rasul ﷺ.”
Demikian pula Syekh Abu al-Hasan asy-Syadzili menyatakan:
“إِذَا تَعَارَضَ الْكَشْفُ مَعَ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ، فَاتْرُكِ الْكَشْفَ وَأَمْسِكْ بِالْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ.”
“Jika kasyaf (penyingkapan spiritual) bertentangan dengan al-Quran dan Sunah, maka tinggalkanlah kasyaf dan berpeganglah pada al-Quran dan Sunah.”
Syariat menetapkan bahwa satu-satunya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Dalam al-Quran disebutkan:
…إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali ‘Imran: 19)
Syariat juga menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia:
… مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍۢ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَ
“Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki di antara kalian, melainkan Rasul Allah dan penutup para nabi…” (QS. Al-Ahzab: 40)
Maka, seseorang dapat dianggap sebagai Muslim apabila ia meyakini bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Jika ia mengingkari hal tersebut, maka ia keluar dari Islam. Ketetapan ini bersifat qath’i (pasti) dan tidak dapat diubah atau diinterpretasikan secara bebas, apalagi dengan dalih perkataan ulama sufi, yang notabene tidak bisa diartikan secara tekstual dan lepas dari konteks spiritualnya.
Lalu bagaimana dengan pernyataan ulama seperti Ibnu Arabi yang secara lahiriah tampak mendukung pembenaran semua agama? Di sisi lain, beliau adalah ulama besar. Imam Ibnu Hajar al-Haitami pun menegaskan bahwa Ibnu Arabi adalah seorang wali Allah dan ‘arif billah. Maka menurut saya, sikap Imam as-Suyuthi sudah sangat cukup untuk menjelaskan bagaimana kita memposisikan pernyataan Ibnu Arabi. Dalam salah satu karyanya, Imam as-Suyuthi berkata:
“النَّاسُ افْتَرَقُوا فِيهِ فِرْقَتَيْنِ: الْفِرْقَةُ الْمُصِيبَةُ تَعْتَقِدُ وِلَايَتَهُ، وَالْأُخْرَى بِخِلَافِهَا. ثُمَّ قَالَ: وَالْقَوْلُ الْفَصْلُ عِنْدِي فِيهِ طَرِيقَةٌ لَا يَرْضَاهَا الْفِرْقَتَانِ، وَهِيَ اعْتِقَادُ وِلَايَتِهِ وَتَحْرِيمُ النَّظَرِ فِي كُتُبِهِ.”
“Orang-orang terbagi dua dalam menyikapi Ibn Arabi: satu kelompok meyakini kewaliannya, dan kelompok lainnya menolaknya. Pendapat saya yang paling tepat—yang tidak diterima oleh kedua kelompok itu—adalah meyakini kewaliannya, sekaligus mengharamkan membaca karya-karyanya.”
Lebih lanjut, yang patut dikritisi dari tokoh liberal tersebut adalah bagaimana ia memahami ungkapan-ungkapan para sufi secara tekstual, tanpa memperhatikan bahwa disiplin tasawuf sarat dengan simbol dan isyarat. Bahkan Ibnu Arabi sendiri telah memperingatkan:
نَحْنُ قَوْمٌ يُحَرَّمُ النَّظَرُ فِي كُتُبِنَا، وَذَلِكَ أَنَّ الصُّوفِيَّةَ تَوَاطَؤُوا عَلَى أَلْفَاظٍ اصْطَلَحُوا عَلَيْهَا، وَأَرَادُوا بِهَا مَعَانِيَ غَيْرَ الْمَعَانِي الْمُتَعَارَفَةِ مِنْهَا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ الظَّاهِرِ. فَمَنْ حَمَلَ أَلْفَاظَهُمْ عَلَى مَعَانِيهَا الْمُتَعَارَفَةِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ الظَّاهِرِ كَفَرَ وَكَفَّرَهُمْ.
“Kami adalah suatu kaum yang mengharamkan membaca buku-buku kami, karena para sufi telah bersepakat menggunakan istilah-istilah tertentu yang telah mereka sepakati maknanya, dan mereka menghendaki dengan istilah-istilah itu makna-makna yang berbeda dari makna yang umum dikenal oleh para ulama syariat. Maka barang siapa memahami istilah-istilah mereka berdasarkan makna lahiriah menurut ulama zahir, niscaya ia akan menjadi kafir, dan ia pun akan mengkafirkan mereka.”
Dengan demikian, menafsirkan pernyataan sufi secara tekstual tanpa ilmu dan konteks yang tepat sangat berbahaya. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam memahami teks-teks tasawuf sangat diperlukan agar tidak tergelincir pada kesesatan yang membahayakan akidah.
BACA JUGA: Mengurai Tuduhan Al-Quran Pluralisme
FATHUR ROSI/ISTINBAT