PENDIRI MAZHAB FIKIH BUTA HADIS, MUNGKINKAH?
Ibarat bayi, problematika kekinian harus melibatkan bidan-bidan serta alat canggih, apalagi saat problem tersebut sangat sulit nan pelik. Nah, bidan dalam hal ini adalah ulama yang mencapai derajat mujtahid. Oleh karena itu, mereka diharuskan memahami lika-liku teks serta makna yang tersurat maupun tersirat dalam al-Quran dan Hadis.
Hal itu karena memang perjalanan masa selalu menumbuhkan problem-problem baru bak jamur di musim hujan. Semua problem itu harus dituntaskan setiap kali tumbuh. Sementara umur para mujtahid terbatas. Oleh karena itu, mereka harus menciptakan sebuah metodologi untuk menggali sebuah hukum. Agar orang-orang setelahnya mampu menumpaskan problem yang tumbuh. Metodologi ini pertama kali dibukukan oleh Imam Syafi’i, serta memiliki nama Ushul Fikih.
Sementara alat untuk membidani lahirnya sebuah hukum ada dua, yakni al-Quran dan Hadis. Keduanya dikupas tuntas untuk bisa menghasilkan sebuah hukum. Sebab, orang yang nekat menggali tanpa memiliki kapasitas yang memadai harus besedia menduduki kursi panas di neraka. Nah, bagaimana bila salah satu revolusioner fikih disinyalir tidak paham hadis, mungkinkah?
Diantara tiga belas madzhab yang berhasil berdiri tegak pada masanya, hanya ada empat madzhab yang mampu menghadapi gilasan zaman, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sementara sembilan yang lain tenggelam oleh arus zaman, sebab metodologi dan karya-karya mereka tidak mampu menembus tabir zaman.
Dari empat madzhab yang masih eksis hingga kini, hanya madzhab Hanafiyah yang paling menomor satukan akal. Hal itu didasari oleh komponen metodologi yang dibangun oleh sang revolusioner, Imam Nu’man bin Stabit al-farisi. Untuk menerbitkan sebuah hukum atau illat, Hanafiyah cenderung menggunakan filsafat dan pemikiran [1]. Tidak hanya itu, sang imam juga tidak memiliki karya dalam bidang hadis, sebagaimana tiga imam yang lain. Imam Malik memiliki Muwaththa’ yang sangat fenomenal di masa beliau masih hidup, bahkan pernah digantung di dinding Kakbah[2]. Imam Syafi’i memiliki Musnad as-Syafi’i, serta Imam Ahmad bin Hanbal memiliki Musnad yang berjilid-jilid.
Oleh karena itu, sang revolusioner mendapat banyak klaim-klaim miring tetang kredibilitasnya dalam ilmu Hadis. Mungkinkah sang revolusioner buta Hadis? Lalu, jika memang beliau minus dalam bidang Hadis, bagaimana dengan madzhab yang beliau dirikan? Mari kita bahas!
Julukan revolusioner tidaklah berlebihan jika dihadapkan kepada sosok Imam Abu Hanifah. Beliau merupakan penemu ilmu Fikih. Dengan kata lain, beliau adalah orang pertama yang mengarang Fikih selain bab taflis, hajr, sabqu, dan ramyu, karena pengarang empat bab tersebut adalah Imam Syafi’i[3]guru dari Imam Malik, pendiri mazhab Malikiyah. Imam Syafi’i pernah berkomentar tentang sosok Abu Hanifah, “Dalam bidang Fikih, seluruh manusia membutuhkan Imam Abu Hanifah”. Imam an-Nadhr bin Syumail juga memuji beliau, “Dulu manusia tertidur di atas ilmu Fikih, sehingga Abu Hanifah membangunkan meraka melalui pemaparan dan penjelasan beliau”[4].
Meski banyak ulama yang menyanjung, tidak sedikit pula yang andil mengkritisi beliau, Meremehkan, menuduh buta hadis, hingga membanding-bandingkan beliau dengan pendiri madzhab yang lain. Secara rasional tanpa datapun, ucapan seperti ini sangat absurd. Meraka hanya mengungkit satu sisi, tanpa menengok sisi lain. Jika memang Imam Abu Hanifah buta hadis, mengapa madzhab yang beliau dirikan diterima di kalangan para ahli hadis.
Banyak ahli hadis yang geli mendengarkan imam mereka dicaci orang-orang bodoh. Pada akhirnya, mereka membuat kitab hadis riwayat Imam Abu Hanifah yang telah dikantongi dua murid beliau, yakni Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Abi Yusuf. Di antara ahli hadis yang membukukan hadis Imam Abu hanifah adalah Imam Abu Muhammad al-Harisi, Imam Abu Bakar al-Muqri, Imam al-Qasim. Imam al-Qasim berkata :
“Di Syam, saya mendengar sebagian orang bodoh yang meremehkannya (Imam Abu Hanifah), mencaci, serta mengagungkan imam yang lain. Mereka berdalih dengan sedikitnya hadis yang diriwayatkan olehnya. Mereka membandingkan dengan Imam Malik dengan Muwaththa’-nya, Musnad-nya Imam Syafi’i. Mereka mengira bahwa Imam Abu Hanifah tidak memiliki Musnad, serta tidak banyak meriwayatkan hadis. Pada akhirnya, muncul gelora di hatiku untuk mengumpulkan hadis riwayat Imam Abu Hanifah dari lima belas kitab Musnad ahli hadis”[5].
Kesimpulannya, mustahil bagi seorang revolusioner fikih tidak memiliki pembendaharaan hadis, apalagi buta padanya. Munculnya kitab Musnad Abi Hanifah mampu membungkam ocehan-ocehan orang-orang bodoh, meski kitab itu bukan karya tulis Imam Hanafi, sebagaimana komentar Imam Ibnu Hajar di kitab Zawaid-nya[6]. Setidaknya, kitab tersebut menunjukan kredibilitas beliau dalam ilmu Hadis.
[1] Al-Hasani, Sayyid Muhammad bin Alawai bin Abbas al-Maliki, Syariatullahi al-Khalidah, 180
[2] Ibid,163
[3] Al-Jawi, Muhammad bin Umar bin Ali an-Nawawi, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, 7
[4] Al-Hasani, Sayyid Muhammad bin Alawai bin Abbas al-Maliki, Syariatullahi al-Khalidah, 168
[5] Ibid, 170