Klasifikasi Kitab Hadis

Hadis atau Sunah, baik secara struktural maupun fungsional telah disepakati sebagai sumber ajaran Islam oleh berbagai mazhab di dalamnya dan mayoritas umatnya. Karena dengan adanya Hadis  itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, Hadis-hadis telah ditulis dan dikumpulkan menjadi berbagai macam kitab yang berbeda-beda oleh para ulama, serta memiliki ciri khas yang berbeda dalam sistem penyusunannya.

Sebagian ulama telah memetakan kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama terdahulu menjadi beberapa tingkatan, diantaranya adalah as-Syaikh al-Imam Ahmad ad-Dihlawi yang membagi kitab-kitab hadis menjadi empat tingkatan.

Tingkatan pertama, pada tingkatan ini terdapat kitab-kitab yang didalamnya hanya mencakup hadis-hadis sahih dan masyhur. Tingkatan ini diwakili oleh tiga kitab, yaitu al-Muwatta’, Sahih al-Bukhori dan Sahih al-Muslim.

Tingkatan kedua, tingkatan ini diisi oleh kitab-kitab yang tidak sampai pada tingkatan al-Muwatta’, Sahih al-Bukhori maupun Sahih Muslim. Meskipun tidak memiliki posisi yang setara dengan tiga  kitab diatas, namun posisinya hampir menyamainya. Para pengarang kitab ini dikenal dengan orang yang dapat dipercaya, adil, baik hafalannya, mendalami ilmu Hadis, dan mereka tidak akan melakukan kelalaian dalam melakukan kodifikasi .

Kitab-kitab mereka banyak dipelajari oleh generasi berikutnya serta dijadikan landasan hukum oleh para ulama fikih dari generasi ke generasi. Hadis-hadis yang mereka kumpulkan juga menjadi landasan beberapa ilmu pada generasi selanjutnya. Tingkatan kedua ini diisi oleh kitab-kitab seperti Sunan Abi Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai.

Tingkatan ketiga,Pada tingkatan ini diisi oleh kitab-kitab yang merangkum hadis sahih, hasan, dhaif, ma’ruf, gharib, syadz, khata’, shawab, tsabit, maqlub. Kitab-kitab pada tingkatan ini tidak memiliki ketenaran sebagaimana kitab-kitab yang berada pada tingkatan sebelumnya. Meskipun demikian, kitab-kitab ini tidak memiliki predikat sebagai kitab hadis munkar secara mutlak. Para ulama fikih juga jarang menjadikan hadis yang berada di dalamnya sebagai landasan hukum, serta hadis-hadis yang telah terangkum di dalamnya jarang diteliti untuk diketahui kualitas hadisnya oleh para ulama hadis. Tingkatan ini diisi oleh kitab-kitab seperti Musnad Abi Ya’la, Mushannaf Abdu ar-Razzaq, Mushannaf Abi Bakar bin Abi Syaibah, Musnad Abdu bin Humaid, Musnad at-Tayalisi, dan kitab-kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi, at-Thahawi, dan at-Thabrani.

Tujuan ulama merangkum hadis-hadis tersebut hanya untuk mengumpulkan saja tanpa adanya pemilahan dari hadis-hadis yang telah mereka temukan, untuk kemudian dirangkum menjadi kitab yang mencakup hadis-hadis yang memiliki status hukum yang sama. Mereka juga tidak mengarahkan hadis-hadis yang telah ditulis untuk diamalkan.

Tingkatan keempat, para penulis kitab yang ada pada tingkatan ini bermaksud untuk merangkum hadis-hadis yang belum pernah ditemukan pada tingkat pertama dan kedua, dan dilakukan setelah beberapa kurun waktu setelah dua tingkat tersebut. Para penulis yang berada pada tingkatan ini bermaksud untuk menjadikan hadis-hadis yang mereka tulis lebih dikenal. Hadis-hadis ini mereka dapatkan dari para muhaddisin yang tidak mengkodifikasikan hadis yang mereka hafal, atsar  para sahabat dan tabiin, sertal cerita Israiliyat. Hadis-hadis yang mereka tulis juga mereka dapatkan dari perkataan ahli hikmah yang bercampur dengan sabda Nabi Muhammad, baik secara sengaja atau tidak.

Terkadang apa yang mereka dapatkan berupa redaksi riwayat yang masih diragukan antara hadis dan al-Quran. Hal ini disebabkan oleh sebagian orang yang meriwayatkan redaksi tersebut secara kontekstual tanpa mengetahui tata cara ketika seorang rawi hadis meriwayatkanya dengan baik dan benar. Sehingga mereka memberikan predikat kepada apa yang telah diriwayatkannya menjadi hadis marfu’. Terkadang redaksi yang dikumpulkan berupa pengertian yang didapatkan dari isyarat-isyarat yang ditunjukkan ayat-ayat al-Quran atau hadis Nabi yang dijadikan sebgai hadis tersendiri dengan mengesampingkan redaksi asal secara sengaja.

Tak hanya itu, isi kitab pada tingkatan ini juga didapatkan dari beberapa redaksi hadis yang berbeda kemudian dijadikan satu hadis dengan redaksi yang telah diubah penyusunannya, atau bisa disimpulkan, para penulis kitab pada tingkatan ini merangkum kesimpulan dari beberapa hadis menjadi satu hadis dengan redaksi yang baru. Adapun kitab-kitab yang berada pada tingkatan ini adalah kitab ad-Duafa’ karya Ibnu Hibban, al-Kamil karya ibnu a’diy, kitab-kitab karya al-Khatib, Abu Nuaim, al-Juzqoni, Ibni ‘Asakir, Ibnu Najjar, dan ad-Daylami.

Tingkatan ini bisa dikalasifikasi menjadi dua bagian. Pertama, kitab-kitab yang merangkum hadis-hadis yang masih dimungkinkan memiliki status dhaif. Pada bagian ini para ulama hadis menganggap kitab-kitab tersebut sebagai yang paling baik didalam tingkatan yang ketiga.

Kedua, kitab-kitab yang merangkum hadis yang memiliki status sebagai hadis maudlu’, atau merangkum hadis yang bersetatus sebagai hadis maqlub yang sangat ditentang oleh para ulama hadis. Diantaranya adalah kitab al-Maudlu’at karya Ibnu al-Jauzi dan kitab-kitab yang dianggap buruk oleh ulama hadis.

Bisa disimpulkan bahwa, kitab-kitab yang berada pada tingkatan pertama dan kedua merupakan kitab-kitab yang dijadikan referensi oleh para ulama. Sedangkan kitab-kitab yang berada pada tingkatan ketiga merupakan kitab-kitab yang isinya tidak bisa diamalkan secara langsung, dan juga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum tanpa ada penelitian lebih lanjut terhadap hadis-hadis yang terangkum didalamnya, kecuali hadis-hadis tersebut dihafal oleh orang-orang yang cerdas serta bisa memaparkan hal-hal yang jarang dipahami oleh orang-orang lain dan menghafal nama-nama para rawi hadis yang memiliki cacat. Terkadang hadis-hadis ini dijadikan sebagai hadis muttaba’ atau hadis syahid. Adapun kitab-kitab yang berada pada tingkatan keempat tidak akan digunakan kecuali oleh orang yang sembrono dengan hadis-hadis Nabi, seperti golongan Rafidah atau Mu’tazilah. Mereka mengambil refrensi dari hadis-hadis tersebut sebagai dalil dari mazhab mereka.

Oleh: Fahmi Aziz


Referensi:

  1. As-Syaikh al-Imam Ahmad ad-Dihlawi, Hujjatullah al-Baligah (Beirut: Darul jail, 2005), vol. I, hal. 385-391.
  2. As-Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al-Maliki, al-Manhal al-Latif fi Usulil-Hadits asy-Syarif
    (Madinah, 2000), hal. 243-245.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *