Kredit Ala IMBT

Sebagaimana  penulis sebutkan di edisi sebelumnya, perubahan masa memang memiliki andil dalam mengubah sebuah hukum. Hal ini dapat dimaklumi karena otentisitas sebuah hukum masih perlu meninjau keadaan dari segala aspek, termasuk waktu. Maka dari itu, pantas jika banyak ulama mengatakan,

تَتَغَيَّرَتِ الْاَحْكَامُ بِتَغَيُّرِ الْاَزْمَانِ وَالْاَحْوَالِ

“Hukum-hukum dapat berubah disebabkan perubahan masa dan keadaan.”

IMBT misalnya, jika diperhatikan lebih lanjut, dapat kita pahami bahwa IMBT merupakan praktek transaksi sewa-menyewa yang memiliki perkembangan. Ruh transaksi dalam praktek IMBT sejatinya hanyalah transaksi ijarah fil ‘ain. Namun bedanya, objek sewa dalam praktek IMBT akan menjadi milik penyewa atau nasabah di akhir tempo yang sudah ditentukan sebagaimana disinggung di edisi sebelumnya.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa transaksi IMBT merupakan transaksi lanjutan dari ijarah fil ‘ain, maka rukun dan syarat yang ada dalam ijarah fil ‘ain juga berlaku dalam transaksi IMBT. Melihat maraknya praktik ini dilakukan di berbagai Lembaga Keuangan Syariah (LKS), setidaknya ada tiga model transaksi IMBT yang telah berlaku di Indonesia:

Pertama, pihak yang melakukan IMBT harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu, setelah akad ijarah selesai, disusul kemudian dengan perjanjian perpindahan hak milik objek sewa ke tangan penyewa dengan perjanjian yang bersifat tidak mengikat.

Dalam perpindahan hak milik tersebut, pelaku transaksi dapat menggunakan dua opsi. Opsi pertama, menggunakan transaksi jual-beli dengan ujrah (ongkos sewa) yang dijadikan tsaman (harga beli) atas objek sewa yang akan dijual. Jika praktek IMBT yang dilakukan menggunakan ujrah bertahap, ujrah tahap akhirlah yang dijadikan sebagai tsaman. Dari sini dapat dipahami bahwa pemanfaatan objek sewa yang dilakukan oleh pihak penyewa di akhir masa sewa sebelum terjadinya transaksi jual-beli, bisa menggunakan sistem ‘ariyah (pinjam-meminjam) atau ibahah (restu/izin pemanfaatan). Dipandang dari beberapa aspek yang terjadi di opsi pertama ini, maka bisa dipastikan bahwa IMBT dalam opsi ini merupakan praktek IMBT yang sah.

Opsi kedua, perpindahan objek sewa menggunakan praktek hibah. Dalam opsi ini, pihak LKS menghibahkan objek sewa yang dimiliki kepada pihak penyewa di akhir transaksi IMBT. Maka pemanfaatan objek sewa yang dilakukan oleh pihak penyewa di akhir masa sewa sebelum terjadinya transaksi hibah, tetap menggunakan sistem ijarah, sehingga uang pembayaran atas pemanfaatan objek sewa yang dilakukan oleh pihak penyewa tetap disebut ujrah (ongkos sewa). Dan opsi kedua ini juga bisa dipastikan sah.1

Kedua, melakukan transaksi ijarah terlebih dahulu dengan waktu  yang sudah ditentukan dan dengan pembayaran ujrah yang bertahap. Dalam praktek kedua ini, pihak LKS sebagai pemilik barang menyerahkan tanggung jawab objek sewa secara penuh kepada penyewa, baik biaya perawatan atau resiko kerusakan, tanpa meninjau unsur kesengajaan. Selain itu, jika pihak penyewa telat membayar ujrah kepada pihak LKS, maka LKS sebagai pemilik objek sewa berhak menangguhkan objek sewa sehingga penyewa tidak bisa memanfaatkan objek sewa. Setelah penyewa melunasi seluruh ujrah yang dibayar secara bertahap, maka objek sewa menjadi hak milik penyewa.

Jika kita amati model IMBT ini, bisa dipastikan bahwa praktek ini merupakan transaksi IMBT yang tidak sah karena terdapat kolaborasi dua transaksi yang berbeda, yaitu bai’ dan ijarah. Ini dikarenakan dalam transaksi ijarah, tanggung jawab atas semua resiko yang timbul dari objek sewa harus ditanggung oleh pemilik objek sewa bukan pihak penyewa. Dipandang dari terjadinya dua transaksi yang dicampuradukkan, maka IMBT jenis ini seharusnya dihindari. Karena pihak nasabah atau penyewa sudah pasti dirugikan.2

Ketiga, melakukan transaksi transaksi sewa-menyewa dengan tempo selamanya atas objek sewa yang sudah ditentukan dengan pembayaran ujrah secara langsung. Sebenarnya praktek ini oleh ulama kontemporer tidak dimasukkan dalam kategori praktik IMBT. Hal itu disebabkan perpindahan hak milik objek sewa dalam praktik ini tidak terjadi di akhir masa sewa, akan tetapi terjadi seketika itu, dan itu tidak sesuai dengan kriteria al-muntahiyah bit tamlik.

Dari sini dapat dipahami bahwa praktek tersebut tidak sesuai dengan akad ijarah, melainkan lebih mendekati pada transaksi jual-beli.3 Mengenai praktek ini, ulama mengatakan bahwa praktek ini merupakan syaubu bai’ wa ijarah (gabungan antara jual-beli dan sewa-menyewa).4

Mengenai keabsahan praktek ini, ulama mengatakan bahwa praktik ini sah. Hanya saja, dalam beberapa kitab klasik, praktik ini terdapat dalam tiga kasus saja, yaitu: menjual hak pemanfaatan pengaliran air, menjual hak pembangungan di atas tanah dan menjual hak pemanfaatan tembok rumah untuk menyandarkan kayu.5

Oleh: Hasanuddin


Referensi:

  1. Syekh Yusuf as-Syubaili, Fiqhul Muamalat al-Mashrifiyah, Maktabah Syamilah, IV/22
  2. ibid
  3. Sayid Abu Bakar Syatha, I’anatut Thalibin, Maktabah Syamilah, III/129
  4. Imam Jalaluddin al-Mahalli, Kanzur Raghibin, Maktabah Syamilah, II/60
  5. Sayid Abu Bakar Syatha, I’anatut Thalibin, Maktabah Syamilah. III/5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *