URGENSITAS VALIDASI DALAM ILMU HADIS

Kritik dalam hadis yang diwariskan ulama sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Karena melalui bahasa mereka, jalur suatu periwayatan (sanad) akan diketahui segi kualitas maupun kuantitasnya. Dalam prosesnya, kritik periwayatan ini dimulai dengan suatu penelitian yang mengarah pada pengelompokan perawi hadis, mana rawi yang dapat diterima (maqbul) dan mana yang ditolak (mardud).

Pengelompokan ini dilatarbelakangi oleh sebuah pertimbangan, bahwa hadis-hadis yang berhasil dikumpulkan bersumber dari bermacam-macam lapisan. Mulai dari lapisan alim ulama hingga seseorang yang telah divonis kadzdzab (sang pendusta). Oleh karena itu, tidak berlebihan jika mengkaji sejarah kehidupan pribadi perawi Hadis serta kesinambungan antara satu rawi dengan rawi lain dinilai sangat urgen. Nah, dari situlah para ahli Hadis kemudian menetapkan lima kriteria autentisitas Hadis.

Urgensitas validasi dalam ilmu Hadis merupakan hal yang nyata. Di samping karena Hadis merupakan sumber paling urgen dalam Islam setelah al-Quran, Hadis juga pernah mengalami masa kritis dan distorsi. Fenomena ini banyak terjadi sebelum masa kodifikasi hadis yang terealisasi di masa khilafah Umar bin Abdul Aziz. Distorsi dan pemalsuan Hadis yang dilakukan oleh beberapa oknum motifnya beragam. Mulai dari ingin memikat perhatian khalayak, munguatkan aliran yang sesat, bahkan ada pula yang bertujuan mengobarkan semangat ibadah umat islam.

Oleh karena itu, validasi dalam Hadis sangat diperlukan. Sebab, dengan proses validasi, Hadis bisa disortir, mana yang shahih, hasan, dho’if, atau maudu’. Dari situlah ahli Hadis kemudian membuat sebuah metodologi dalam rangka validasi sebuah Hadis yang kemudian dikenal dengan metode alJarhu watTa’dil. Pada akhirnya, metodelogi tersebut terbukti memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.

Data empiris telah membuktikan bahwa peran ahli hadis dalam upaya melestarikan Hadis Rasulullah tidak kecil. Terbukti, sistem isnad yang telah mereka ciptakan memiliki pengaruh yang sangat besar, guna menyeleksi autentisitas hadis. Mengenai hal itu, Imam Abdullah bin al-Mubarak menyatakan;

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ


“Isnad itu merupakan bagian dari agama. Dan sekiranya Isnad itu tidak ada, niscaya siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya”.

Melihat posisi Hadis yang sangat urgen dan cukup sentral dalam ajaran Islam, maka peran validasi terhadap pernyataan-pernyataan yang disandarkan kepada sang baginda jelas sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar hadis yang dijadikan sebagai barometer hukum dapat dipertanggungjawabkan nilai kesahihannya. Sebab, kedudukan kualitas hadis sangat erat sekali hubungannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadis dijadikan hujjah agama.

oleh : Hayatul makki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *