Sekat-Sekat Silang Pendapat Ulama

Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sangatlah dimaklumi. Khususnya, silang pendapat ulama Fikih dalam hukum-hukum yang bersifat zhanni. Beda halnya dengan hukum yang bersifat dharuri, yaitu hukum-hukum Allah yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui kepastian hukumnya dari agama, baik bagi umat Islam secara khusus (ulama) atau umum (orang-orang awam) tanpa adanya takwil. Hukum dharuri itu sebagaimana kewajiban shalat lima waktu, keharaman zina, keautentikan ayat-ayat al-Quran, dan sebagainya. Orang yang ingkar atau tidak meyakini kepastian hukum-hukum di atas, akan dihukumi kafir, meskipun dalam kepastian hukumnya tidak berdasarkan pada al-Quran atau hadis, sebagaimana al-Ijma’ as-Sukûti (konsensus ulama yang terjadi tanpa adanya pendapat).1 Maka dari itulah, sekte Syiah yang mengingkari status shuhbah (sahabat) Abu Bakar atau mengingkari keautentikan al-Quran dihukumi kafir,2 bukan bagian dari Islam. Begitu pula sekte Bathiniyah yang meyakini bahwa shalat tidak wajib, namun yang terpenting mengingat Allah juga dihukumi Kafir.

Adapun hukum yang bersifat zhanni adalah hukum yang berasal dari ijtihad para ulama (mujtahid). Hukum yang bersifat zhanni inilah yang menimbulkan perbedaan di kalangan para ulama. Meskipun hukum hasil ijtihad para ulama mujtahid bersifat zhanni (dugaan kuat), namun jika mereka berijtihad dalam suatu masalah, hukum yang dihasilkan menjadi sebuah hukum qath’i (pasti). Wajib bagi mujtahid dan pengikutnya untuk mengamalkan hasil ijtihadnya. Mengapa kepastian hukum hasil ijtihad para mujtahid bisa dipastikan benar meskipun dalilnya bersifat zahnni, tiada lain karena keistimewaan yang dimiliki para mujtahid, hukum yang mereka hasilkan diyakini kebenaranya meskipun berasal dari dalil-dali yang bersifat praduga. Juga, kekuatan praduga para mujtahid dari beberapa referensi ayat maupun hadis yang mereka pahami lebih mendekati ilmu atau kebenaran.3

Maksud mujtahid di sini ialah mujthaid mustaqil, yaitu seorang yang mengerahkan segala kemampuannya untuk mencetuskan hukum dari al-Quran dan hadis dengan kehati-hatian yang ekstra. As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen bin Umar al-Masyhur, yang pernah menjadi mufti Hadramaut berpendapat bahwa ranah ijtihad telah vakum (tidak pernah terjadi) mulai dari abad ke-3 Hijriah sampai sekarang.4

Dalam perbedaan pendapat inilah para ulama memberi warning untuk tidak mengingkari hukum-hukum yang mukhtalaf fih (hukum-hukum yang diperselisihkan para ulama Fikih). Mengenai hal tersebut, Imam Jalaluddin as-Suyûthi berkata dalam kaidahnya,

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Hukum yang bersifat khilafiah (diperselisihkan oleh para ulama) tidak diperkenankan untuk diingkari. Dan yang harus (wajib) diingkari ialah hukum yang telah disepakati.”5

Tapi tidak semua silang pendapat ulama fikih terbingkai dalam kaidah ini. Lebih lanjut, Imam as-Suyuthi menjelaskan beberapa pengecualian diantaranya:

1. Pendapat dengan dasar pengambilan hukum yang lemah. Maka dari itu, pendapat Imam Atha’ yang memperbolehkan me-wathi’ budak gadaian tidak dianggap.

2. Hukum yang telah diangkat ke pengadilan. Maka hakim wajib menghukumi sesuai mazhabnya. Oleh karenanya, seseorang yang bermazhab Hanafi tetap wajib di-had jika dia meminum nabidz (perasaan selain anggur), meskipun meminum nabidz menurut keyakinan mazhab Hanafi berhukum boleh.

3. Orang yang ingkar mempunyai hak, sebagaimana seorang suami yang melarang istrinya yang bermazhab Hanafi meminum nabidz.6

Syekh Wahbah az-Zuhaili menambahkan poin keempat, yaitu si pelaku meyakini keharaman sesuatu yang dia lakukan. Sebagaimana seorang yang me-wathi’ perempuan dalam masa ‘iddah ruju’.7

Akhiran, Imam Ibnu Shalah menukil sebuah ijma’:

لَا يَجُوْزُ تَقْليْدُ غَيْر الْأَئمة الْأَرْبَعَة اي حَتى الْعَمَل لنَفْسه فَضْلًا عَن الْقَضَاء وَالْفَتْوَى

Artinya: “Tidak boleh mengikuti pendapat selain mazhab yang empat (Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) bahkan untuk diamalkan sendiri, terlebih lagi jika digunakan dalam membuat keputusan dan fatwa.” Beliau beralasan karena selain empat mazhab tersebut, silang pendapat yang tejadi tidak dapat dipercaya (diragukan) kebenarannya. Juga tanpa didasari dengan riwayat yang dapat menangkis tuduhan distorsi dan manipulasi.8

Oleh: Moh. Baihaqi


Referensi:

  1. Zainuddin al-Malibâri al-Hindi, Fathul-Mu’in, Dâr Ibni Hazm, I/574.
  2. Abu Bakar al-Masyhur bil Bakri bin Muhammad Syatha ad-Dimyâthi, I’ânatuth-Thâlibîn, Dârul-Fikr , IV/152.
  3. Hasan bin Muhammad bin Mahmud al-‘Aththâr asy-Syafi’i, Hâsyiyatul-Aththâr, Dârul-Kutub al-Ilmiyah, I/63.
  4. As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen bin Umar al-Masyhur, Bughyatul-Mustarsyidin, al-Haramain, hal. 6.
  5. Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin as-Suyûthi, al-Asybâh wa an-Nazhâir, Dârul-Kutub al-Ilmiyah, I/158.
  6. Ibid.
  7. Syekh Mushthafa Wahbah az-Zuhaili, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtihâ, Dârul-Fikr, II/757.
  8. As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen bin Umar al-Masyhur, Bughyatul-Mustarsyidin, al-Haramain, hal. 8.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *