Mendahulukan Orang Lain Dalam Ibadah

Prolog

Agama kita mengajarkan untuk mengalah kepada sesama Muslim. Banyak sekali dalil yang menganjurkan kita untuk mengalah dalam segala urusan. Misalnya, cerita Qabil dan Habil yang diabadikan dalam al-Quran dalam surah al-Maidah: 28,

لَإِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِيْ مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَّدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ

“Jika engkau mengulurkan tanganmu untuk membunuhku, maka aku tidak akan mengulurkan tanganku untuk membunuhmu. Sungguh, aku takut kepada Allah Tuhan pencipta Alam.”

Habil yang ketika itu hendak dibunuh oleh saudaranya sendiri, lebih memilih untuk diam dan tidak mau membalas daripada ia harus berduel dengan saudaranya sendiri. Padahal, Habil bisa saja untuk membela diri dari kejahatan Qabil.

Para shahabat Ansar juga memprioritaskan shahabat Muhajirin untuk berbagi harta ketika shahabat Muhajirin Hijrah ke Madinah. Sekalipun, shahabat Ansar kala itu juga sedang kesulitan. Hal ini kemudian diabadikan dalam al-Quran surah al-Hasyr: 9,

وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

“Mereka memprioritaskan dari pada dirinya sendiri sekalipun mereka dalam keadaan kesusahan.”

Namun, tidak semua sifat mengalah itu baik. Ada beberapa keadaan, yang mana kita harus mendahulukan diri kita dari pada orang lain. Bahkan, jika kita mengalah, maka tindakan kita bisa dicela oleh syariat. Berikut pembahasannya.

Pembahasan

Secara garis besar, mengalah termasuk tindakan yang terpuji. Karena mengalah berarti mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri. Namun Hal ini hanya terjadi dalam masalah pribadi dan duniawi, bukan masalah ibadah. Dalam masalah beribadah, kita justru dianjurkan untuk mendahulukan diri sendiri dari pada orang lain.

Syariat mencela orang yang mengalah dalam masalah ibadah. Hal itu dikarenakan, tujuan dari ibadah adalah mengagungkan Allah, sedangkan orang yang mengalah dalam beribadah berarti tidak mengagungkan Allah. Seperti orang yang mengalah di saf pertama dan mendahulukan orang lain untuk menempati saf tersebut. Tindakan semacam ini sama sekali tidak terpuji. Dikarenakan, dalam berjamaah kita harus bersegera menempati saf pertama karena pahalanya yang sangat besar. Bukan malah mengalah dan memprioritaskan orang lain untuk menempati saf pertama.1

Syaikh Abu Muhammad dalam kitab al-Furuq-nya menjelaskan, jika seseorang wajib melakukan shalat dan ia hanya memiliki air yang cukup untuk berwudu untuk dirinya maka ia tidak boleh memberikan air itu untuk siapapun. Hal ini berbeda dengan permasalahan seseorang yang hanya memiliki makanan yang cukup untuk dirinya. Maka ia boleh memberikan makanan tersebut dan memprioritaskan orang lain sekalipun tindakan tersebut menyebabkan ia mati kelaparan. Karena dalam masalah pertama, yakni berwudu berhubungan dengan beribadah kepada Allah. Maka tidak boleh mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri. Sedangkan permasalahan yang kedua berhubungan dengan masalah pribadi. Maka tidak masalah untuk mengalah.

Begitu juga dengan permasalahan seorang santri yang mendahulukan santri lain untuk membaca kitab atau hal-hal yang berkaitan dengan keilmuan. Hal tersebut tentu tidak dibenarkan. Karena kegiatan membaca kitab atau hal-hal yang berkaitan dengan ilmu harus dilakukan dengan giat dan semangat. Sehingga tidak layak untuk memprioritaskan santri lain dari pada dirinya sendiri.

Dari pembahasan di atas, Imam Suyuthi mengambil kesimpulan bahwa mengalah dalam masalah ibadah mempunyai tiga hukum. Pertama, haram. Jika mengalah mengakibatkan perkara wajib terbengkalai seperti permasalahan wudu di atas. Kedua, makruh. Jika mengalah mengakibatkan meninggalkan hal sunah atau melakukan hal makruh seperti masalah saf pertama. Ketiga, khilaful aula. Jika mengalah mengakibatkan melakukan hal yang menyalahi hal yang lebih utama seperti masalah santri mengalah untuk membaca kitab.

Namun, ada sedikit pembahasan tentang permasalahan seseorang yang ingin shalat berjamaah dan ia tidak menemukan saf renggang di depannya. Jika ia shalat sendiri di belakang, tentu hal ini sangat dimakruhkan dalam berjamaah. Dalam keadaan demikian, ia disunahkan menarik makmum yang ada di depannya untuk berdiri di sampingnya. Dan makmum yang ditarik disunahkan untuk mundur ke belakang agar bisa membantu jamaah yang di belakang sekalipun ia harus kehilangan pahala saf pertama. Hal tersebut sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi:

أَيُّهَا اْلمُصَلِّي هَلا دَخَلْتَ فِي الصَّفِّ أَوْ جَرَرْتَ رَجُلاً مِنَ الصَّفِّ يُصَلِّي مَعَكَ

“Wahai orang yang sholat. Hendaknya kau masuk ke dalam shaf atau kau menarik seseorang dari shaf supaya sholat bersamamu .”2

Jika kita mengikuti kaidah di atas, tentu tindakan makmum untuk mundur dan mengorbankan fadilah saf pertama tidak dibenarkan. Karena dengan ia mundur ke belakang berarti ia telah menghilangkan fadilah saf pertama demi membantu jamaah lain yang tidak menemukan saf. Hal ini senada dengan pendapat yang telah di-nash oleh Imam al-Buwaithi.3

Namun mayoritas ulama mazhab Syafii berpendapat sunah bagi makmum yang ditarik untuk mundur ke belakang sekalipun ia harus mengorbankan fadilah saf pertama. Karena tindakan semacam itu mengandung unsur menolong kepada sesama agar tidak melakukan hal-hal yang dimakruhkan dalam jamaah. Yakni berdiri sendiri di belakang saf. Pahala menolong inilah yang mengganti pahala saf pertama yang hilang. Bahkan Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa pahala saf pertama tidak hilang disebabkan makmum mundur ke belakang. Karena makmum tersebut meninggalkan saf pertama dikarenakan uzur sehingga tidak sampai menghilangkan pahala saf pertama.4

Kesimpulan

Mengalah adalah tindakan yang terpuji. Akan tetapi, mengalah harus tepat pada tempatnya. Yakni dalam masalah pribadi atau duniawi. Sedangkan mengalah dalam masalah beribadah sangatlah tercela.
Wallahu a’lam.

Oleh: Fathul Mujib


Referensi:

  1. As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr, al-Asybah wan Nadzair, hal. 116.
  2. Al-Haitami, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar, Tuhfatul Muhtaj, I/258
  3. An-Nawawi, Syarafuddin Muhyidin, Raudhatut Thalibin, I/360.
  4. Al-Haitami, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar, Tuhfatul Muhtaj, I/258

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *