Syariat Menyikapi Adat

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak lepas dengan tradisi atau adat yang berlaku di berbagai tempat. Tradisi atau adat di suatu tempat tentunya berbeda-beda. Bisa jadi adat di tempat kita berbeda dengan tradisi yang berlaku di tempat lain. Dalam hal ini, tentu syariat mengatur sedemikian rupa tentang seluk-beluk tradisi atau adat di suatu tempat.

Syariat sendiri memperbolehkan untuk mengikuti tradisi yang berlaku di suatu tempat selagi kebiasaan itu tidak melanggar norma agama. Bahkan ada sebagian ulama yang memberi himbauan agar tidak melawan tradisi yang berlaku di masyarakat selagi tradisi tersebut tidak melanggar syariat.[1] Hal itu dikarenakan orang yang melawan tradisi akan mendapat hujatan dan cacian dari masyarakat setempat.

Imam Ali Syibromulisi pernah menjelaskan tentang masalah berkumpulnya keluarga mayit di suatu tempat (rumah duka) agar didatangi banyak orang untuk ta’ziyah. Dalam pandangan syariat, hal ini dimakruhkan. Namun, jika hal tersebut sudah menjadi tradisi di suatu tempat. Dimana jika tradisi tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan keluarga mayit menjadi buah bibir masyarakat, hukum makruh menjadi hilang. Bahkan bisa berhukum wajib jika hal tersebut berpotensi besar menjadi buah bibir masyarakat.[2]

Namun yang manjadi pertanyaan adalah, bagaimanakah peran pemuka agama dalam menyikapi tradisi masyarakat yang tidak sesuai dengan syariat? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ketelitian dan kehati-hatian yang ekstra. Sebab, jika permasalahan diselesaikan dengan asal-asalan, akan menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Imam Ibnu Hajar al-Haytami pernah diminta fatwa tentang tradisi masyarakat yang melarang menjenguk orang sakit pada hari Sabtu. Dalam hal ini, jelas Imam Ibnu Hajar memfatwakan bahwa tradisi tersebut bid’ah. Karena tradisi tersebut termasuk mitos (Tasya’um) yang dilarang oleh Syariat. Hanya saja, jika tradisi tersebut betul-betul mengakar di masyarakat, maka seyogyanya untuk tidak menjenguk orang sakit di hari itu. Karena hal tersebut menyebabkan orang yang dijenguk bertambah sakit disebabkan pikiran negatif  tentang mitos tersebut. Lebih lanjut, Imam Ibnu Hajar menyebutkan sebuah kaidah yang berbunyi :

قَدْ تُتْرَكُ السُّنُّةُ لِعَوَارِضَ قَوِيَّةٍ

“Terkadang, perkara sunah tidak dilakukan dikarenakan hal lain yang kuat.”

Sekalipun demikian, pemuka agama tetap berkewajiban untuk menyadarkan dan mengajarkan kepada masyarakat bahwa tradisi semacam itu tidaklah dibenarkan. Cara mengajarkan agama kepada masyarakat juga harus berhati-hati. Sekiranya, pengajaran tersebut tidak sampai membuat kegaduhan di tengah masyarakat dan tidak berdampak negatif kepada pemuka agama tersebut. Jika pengajaran tersebut menyebabkan dampak negatif kepada pemuka agama tersebut (seperti mendapat gunjingan dan cacian), maka yang lebih utama adalah tidak mengajarkanya kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan kaidah :

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلىَ مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Mencegah kerusakan lebih baik daripada mencari kemaslahatan.”[3]

Ketika adat sudah mengakar dalam transaksi masyarakat

Setiap masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berlaku dalam transaksi. Terkadang, kebiasaan itu dapat mempengaruhi keabsahan suatu transaksi jika disebutkan di dalamnya. Lalu, apakah kebiasaan tersebut dapat mempengaruhi keabsahan transaksi jika tidak disebutkan?.

Dari sekian banyak kebiasaan yang ada, dua hal ini cukup sering terjadi di masyarakat. Pertama, kebiasaan masyarakat yang membayar hutang dengan lebih banyak, apakah kebiasaan tersebut dapat mempengaruhi transaksi? Menurut satu pendapat, kebiasaan tersebut dapat mempengaruhi transaksi. Sehingga transaksinya dianggap batal. Tapi menurut pendapat yang kuat, tradisi tersebut tidak sampai mempengaruhi keabsahan akad.[4]

Kedua, kebiasaan masyarakat menggunakan barang gadai (marhun), apakah kebiasaan itu dapat mempengaruhi transaksi? Menurut Imam Qoffal, kebiasaan tersebut dapat mempengaruhi transaksi. Sehingga transaksinya dianggap batal. Sedangkan menurut mayoritas ulama, kebiasaan tersebut tidak mempengaruhi transaksi.[5]

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa tradisi dan kebiasaan masyarakat seyogyanya untuk diikuti selagi tidak bertentangan dengan syariat. Namun, jika tradisi masyarakat bertentangan dengan syariat, maka pemuka agama dalam hal ini harus ekstra berhati-hati dalam menyikapi tradisi tersebut. Jangan sampai menimbulkan kegaduhan atau dampak negatif kepada pemuka agama itu sendiri. Wallahu a’lam.

  Oleh: Fathul Mujib


Referensi:

[1] Al-Judai’, Abdullah bin Yusuf, Taisiru Ilmi Ushulil Fiqh.

[2] Asy-Syibromulisi, Ali bin Ali, Hasyiyah Nihayatul Muhtaj ‘ala Syarhil Minhaj, III/13, Beirut, Lebanon.

[3] Al-Haitami, Syihabuddin, Ahmad bin Muhammad, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubro, III/195, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon.

[4] Az-Zarkasyi, Badruddin, Muhammad bin Abdullah, al-Mantsur fil Qowaid, II/431.

[5] As-Suyuti, Jalaluddin, Abdurrahman bin Abu bakr, al-Asybah wan Nadzoi, hal. 96.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *