MEMBIDIK SOSOK PEMIMPIN IDEAL

Mengangkat seorang pemimpin merupakan sebuah keniscayaan bagi seluruh makhluk hidup. Tak hanya manusia, dalam koloni semut pun terdapat ratu yang dipatuhi oleh semut-semut lainnya.

Beberapa aspek kehidupan kita membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengatur alur kegiatan. Di kelas sekolah, terdapat ketua kelas yang memberikan kebijakan. Dalam organisasi, terdapat ketua organisasi yang memberikan pengarahan. Dalam keluarga, ada ayah sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab dalam segala urusan. Di kantor, ada direktur yang mengurus karyawan, apalagi dalam tata negara. Sudah tentu, kita harus mengangkat seorang pemimpin agar negara teratur dan tidak berantakan.

Seorang penyair di zaman jahiliah, Afwah al-Awdi berkata:

لا يَصلُحُ الناسُ فَوضى لا سَراةَ لَهُم * وَلا سَراةَ إِذا جُهّالُهُم سادوا

“Masyarakat tidak pantas mengalami kekacauan, tanpa seorang pemimpin. Begitu pula jika orang-orang bodoh yang memimpin mereka.[1]

Selaras dengan syair tersebut. Imam Mawardi berkata:

ولولا الولاة لكانوا فوضى مهملين، وهمجا مضاعين

“Tanpa pemimpin, niscaya masyarakat akan mengalami kekacauan, menjadi liar juga terlantar.

Ada dua tujuan pokok yang harus dibidik oleh seorang pemimpin, yakni “hirasatud-din” (menjaga keutuhan agama) dan “siyasatud-dunya” (mengurusi dunia) sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Abu Ya’la al-Farra’. Dua tujuan tersebut sudah diimplementasikan oleh pemimpin koloni semut di zaman Nabi Sulaiman. Saat itu, Nabi Sulaiman bersama bala tentaranya hendak melewati lembah Thaif yang dihuni beberapa semut. Sontak, pemimpin koloni yang bernama Thakhiyah berkata:

يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. (QS. An-Naml: 18).

Nabi Sulaiman mendengar komando dari Takhiyah tersebut dari jarak 3 mil, sehingga membuatnya tersenyum. Apa tujuan komando tersebut? Ulama menyampaikan bahwa; ada 2 tujuan yang terkandung di dalamnya. Satu, si pemimpin semut ingin mengatur koloninya agar masuk ke sarang supaya tidak diinjak oleh bala tentara Nabi Sulaiman tanpa mereka sadari, sebagaimana yang disampaikan oleh At-Taymi. Dua, si pemimpin khawatir jika Nabi Sulaiman dan bala tentaranya lewat maka koloninya ingin memiliki harta yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman, terlena oleh dunia dan disibukkan dari bertasbih pada Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dan dikutip oleh Al-Qurthubi[2]. Begitulah cerminan pemimpin yang patut diteladani. Ia tidak hanya memperhatikan keselamatan jasmani rakyatnya, tetapi juga memperhatikan keselamatan rohani mereka. Tidak hanya sibuk dengan merawat zahir dan melupakan perawatan batin.

Allah subhanahu wata’ala telah menjanjikan kemuliaan dan kejayaan suatu bangsa dengan 2 hal, menjaga hubungan zahir dengan manusia dan menjaga hubungan batin dengan Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada keculi berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan tali manusia.” (QS. Ali Imran: 112)

Tidak semua orang mampu mengemban amanah sebagai pemimpin. Perlu kriteria khusus yang harus melekat bagi seorang pemimpin ideal. Pemimpin adalah pilar masyarakat. Jika pilar mereka rapuh, maka mereka akan runtuh dan tidak akan bertahan secara utuh. Sebagaimana pilar yang menopang sebuah bangunan, jika pilar tersebut tidak kokoh, maka bangunannya pun akan roboh.

Afwah al-Awdi berkata:

وَالبَيتُ لا يُبتَنى إِلّا لَهُ عَمَدٌ  #  وَلا عِمادَ إِذا لَم تُرسَ أَوتادُ

“Sebuah rumah tidak akan terbangun kecuali dengan tiang, dan sebuah tiang tidak akan berdiri tanpa paku yang ditancapkan.[3]

Lalu bagaimanakah kriteria pemimpin yang ideal? Diriwayatkan dari Auf bin Malik, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

‌خِيَارُ ‌أَئِمَّتُكُمْ اَلَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ. وَيَصلون عليكم وتصلون عليهم. وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل: يا رسول الله! أفلا ننابذهم بالسيف؟ فقال لا. ما أقاموا فيكم الصلاة. وإذا رأيتم من ولا تكم شيئا تكرهونه، فاكرهوا عمله، ولا تنزعوا يدا من طاعة

“Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian, yang kalian doakan dan mendoakan kalian. Seburuk-buruknya pemimpin adalah yang kalian benci dan membenci kalian, yang kalian laknat dan melaknat kalian. Lalu dikatakan, “Wahai Rasulullah! Tidakkah kita perangi mereka dengan pedang?” Lalu beliau menjawab; Jangan! selagi mereka mendirikan salat. Jika kalian melihat pemimpin kalian melakukan hal yang tidak kalian sukai maka bencilah pekerjaannya. Namun, jangan angkat tangan kalian dari ketaatan pada mereka.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat tersebut, Rasulullah menjelaskan behwa sebaik-baiknya pemimpin adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya dan mencintai rakyatnya. Mereka mencintainya sebab ia bersikap adil sebagaimana yang disampaikan Mulla Al-Qari[4]. Dalam riwayat yang Rasulallah shallallahu alaihi wasallam memuji pemimpin yang bersikap adil. Beliau bersabda:

ليوم من إمام عادل خير من عبادة الرجل وحده ستين عاما

“Sungguh, satu hari bagi pemimpin yang berlaku adil lebih baik dari pada ibadahnya seseorang selama 60 tahun.” (HR. Ath-Thabarani)

Selain berlaku adil, pemimpin juga harus menjadikan ulama sebagai penasihatnya sebelum ia menetapkan suatu kebijakan untuk memastikan bahwa kebijakannya sejalan dengan syariat Islam. Imam al-Ghazali mengutip hadis berikut.

شرار العلماء ‌الذين ‌يأتون ‌الأمراء وخيار الأمراء الذين يأتون العلماء

“Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang menghampiri para pemimpin dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang menghampiri ulama[5].”


[1] Al-Mawari, Ali bin Muhammad. Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hlm; 40

[2] Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. Al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, XII/169

[3] Ad-Darimi, Muhammad bin Hibban. Raudhatul-Uqala’ wa Nuzha’ul-Fudhala’. Hlm; 270

[4] Al-Qari, Ali bin Muhammad. Mirqatul Mafatih Syarhu Misykatil Mashabih, VI/2935

[5] Al-Ghazali. Muhammad bin Muhammad. Ihya Ulumid Din, I/68

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *