DAKWAH EFEKTIF DENGAN METODE PERSUASIF

Dalam era modern sekarang ini berdakwah rasanya bukan lagi menjadi sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan perseorangan. Selain karena hal tersebut adalah sebuah perintah, menurunnya dekadensi moral adalah faktor utama yang menjadikan dakwah sebagai kebutuhan.

Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah SWT memberikan kabar kepada Nabi Muhammad SAW tentang perjalanan, metode, dan berbagai rintangan dakwah para nabi-nabi terdahulu sebagai pembelajaran kepada Nabi Muhammad SAW 1.  Dalam menjalankan misi dakwahnya Nabi Muhammad SAW diberikan petunjuk oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surat an-Nahl ayat 125:

{ ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)} [النحل: 125]

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.

Para mufassir menyebutkan bahwa sebenarnya perintah ini diperuntukkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah mengajak kaumnya. Namun melihat dari esensi dari ayat ini ulama tafsir memasukkan mereka yang berdakwah ke jalan Allah SWT sebagai penerus estafet dakwah kenabian. Sehingga mereka tercakup dalam isi ayat di atas2.

Secara tekstual ayat di atas menerangkan tentang tiga metode dalam berdakwah. Pertama, metode hikmah yaitu dengan menggunakan argumen yang jelas yang dapat menampik kebatilan-lebatilan, sehingga dapat tertanam dalam hati secara kokoh3. Dakwah ini dilakukan lebih fokus pada aplikasi bentuk nyata seperti moral dan pengokohan hati kepada objek dakwah yang sudah memiliki kemantapan hati tentang agama Islam4.

Kedua, metode mau’idzah hasanah. Ulama menjelaskan bahwa metode ini ditempuh dengan cara memberikan dalil-dalil yang bersifat mendidik jiwa dan memotifasi untuk selalu menjalankan perintah dan menjahui larangan Allah SWT5. Dalam menyempurnakan metode ini seorang da’i dianjurkan untuk menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang yang lembut, dan ungkapan yang memberikan rangsangan semangat dalam menjalankan ibadah6. Hal ini dapat diterapkan kepada orang ‘awam yang terkadang masih terbesit keraguan di dalam hati.

Ketiga, berdebat dengan cara yang baik. Ulama tafsir menguraikan tentang metode berdebat ini dengan cara berdebat yang baik, menampakkan kegembiraan, tenang dan mengawalinya dengan hal-hal yang populer supaya mudah dipaham7, bisa menggunakan contoh atau sebuah perbandingan (komparasi) sehingga dapat memberikan pengaruh lebih kepada orang yang menolak dakwah dengan cara pertama dan kedua.

Secara garis besar ayat di atas mengindikasikan tentang respon manusia terhadap ajakan dakwah. Setidaknya ada tiga sikap yang tertangkap oleh ulama tafsir melalui esensi ayat di atas. Pertama, orang yang sudah memiliki kualitas hati yang kuat dan memiliki kesiapan yang mapan dalam menerima makna-makna yang haq tentang Islam. Kedudukan ini bisa di capai oleh para shahabat Nabi dan para ulama. Kedua, orang awam yang masih terbesit keraguan di dalam hati tetapi tidak menunjukkan sebuah penginkaran. Ketiga, orang-orang yang menolak ajakan Islam dan medebat dengan dalil-dalil yang salah8.

Tentu, dengan perbedaan karakter objek yang akan didakwahi  maka cara yang akan diterapkan pun berbeda. Terkadang seseorang bisa menerima hanya dengan metode hikmah, sebagian orang butuh terhadap tutur ajakan yang baik dalam memompa semangat dan memotifasi dalam menjalankan ibadah dan perintah Allah, sebagian orang disebabkan sifat keras kepala dan kesombongannya diperlukan adanya sebuah perdebatan untuk mematahkan kesalahan argumennya. Karena secara mayoritas, sesorang tidak akan meninggalkan asumsi salah yang ia yakini kecuali dengan berdebat9.

Kesimpulannya, ayat di atas memberikan sebuah pengertian, hendaknya dalam berdakwah harus memiliki niat yang ikhlas dan hanya mengajak kepada Allah SWT, bukan karena fanatisme golongan, kepentingan oknum, bahkan kepentingan pribadi. Dalam berdakwah untuk menghasilkan pencapaian yang maksimal tentu perlu memperhatikan medan, karakter, dan objek dakwah sehingga dapat memeberikan porsi yang pas. Sama halnya dengan seorang dokter yang akan mengobati seorang pasien, tentu dokter tersebut akan memperhatikan berbagai macam indikasi penyakit untuk memberikan obat sesuai porsi. Wallahu a’lam.

Oleh: Redaksi


Refrensi:

  1. Lihat surat an-Nisâk ayat 163-165
  2. Imam Said Hawwa, Al-asâs fit-Tafsir 6/3008 Darus-salam.
  3. Imam Muhammad Sa’id Thanthawi, Tafsîrul-Wasîth lil Qur’anil ‘Adzîm. 8/262.
  4. Abil Abbas bin Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdi, Tafsir Bahrul Madîd. 4/69 Darul Kutub Ilmiyah.
  5. Imam Amin bin Muhammad al Urami, Hadâiqur-Rûh war-Raihân. 16/
  6. Abil Abbas bin Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdi, Bahrul Madîd. 4/68 Darul Kutub Ilmiyah.
  7. Abil Abbas bin Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdi, Bahrul Madîd. 4/68 Darul Kutub Ilmiyah.
  8. Imam Muhammad Sa’id Thanthawi, Tafsîrul-Wasîth. 8/263 Nahdlah Misri
  9. Sayyid Mahmud al-Alusi, Rûhul Ma ’âni. 7/487 Darul Kutub Ilmiyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *