PENDAKWAH TIDAK FAHAM ILMU AL-QURAN

Dalam agama Islam, dakwah adalah salah satu upaya yang sangat dihargai untuk menyebarkan ajaran Islam dan membimbing umat kepada kebenaran. Dakwah dapat dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan menjelaskan dan mengartikan ayat-ayat al-Quran serta Hadis Nabi Muhammad. Namun, seringkali muncul pertanyaan apakah seseorang yang tidak memahami ilmu saraf (tata bahasa), ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu semantik, dan retorika dapat memberikan nasihat dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran dan Hadis.?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat merujuk pada pandangan Ibnu Hajar al-Haytami:

وَسُئِلَ نَفَعَنَا الله بِهِ : عَنْ شَخْصٍ يَعِظُ الْمُسْلِمِيْنَ بِتَفْسِيْرِ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ وَهُوَ لَا يَعْرِفُ عِلْمَ الصَّرْفِ وَوَجْهَ الْإِعْرَابِ مِنْ عِلْمِ النَّحْوِ وَلَا وَجْهَ اللُّغَةِ وَلَا عِلْمَ الْمَعَانِي وَالْبَيَانِ ، هَلْ يَجُوْزُ لَهُ الْوَعْظُ بِهِمَا أَوْ لَا ؟

“Ibnu Hajar al Haytami pernah ditanya tentang seseorang yang memberi nasihat kepada umat Islam dengan tafsir al-Quran dan hadis, padahal dia tidak memiliki pengetahuan saraf, tata bahasa, atau ilmu semantik dan retorika. Apakah dia boleh memberikan nasihat dengan menggunakan al-Quran atau hadis?”

إِنْ كَانَ وَعْظُهُ بِآيَاتِ التَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ وَنَحْوِهِمَا وَبِالْأَحَادِيْثِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذَلِكَ وَفَسَّرَ ذَلِكَ بِمَا قَالَهُ الْأَئِمَّةُ جَازَ لَهُ ذَلِكَ ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ مِنْ عِلْمِ النَّحْوِ وَغَيْرِهِ، لِأَنَّهُ نَاقِلٌ لِكَلاَمِ الْعُلَمَاءِ وَالنَّاقِلُ كَلاَمَهُمْ إِلَى النَّاسِ لَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ إلَّا الْعَدَالَةُ ، وَأَنْ لَا يَتَصَرَّفَ فِيْهِ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيِهِ وَفَهْمِهِ

“Jika nasihatnya hanya sekitar ayat-ayat dan hadis yang mengandung targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (ancaman melakukan keburukan), lalu dia menafsirinya  berdasarkan pendapat ulama, maka hal itu diperbolehkan. Meskipun ia tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu nahwu dan sejenisnya. Demikian ini, karena dia hanya mengutip pendapat ulama. Sedangkan naqil hanya disyaratkan adalah”[1]

Menurut pandangannya, jika seseorang memberikan nasihat kepada umat Islam dengan merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yang berisi motivasi untuk melakukan kebaikan atau ancaman untuk melakukan keburukan, dan dia mengartikannya berdasarkan pendapat ulama yang terkemuka dalam tafsir, maka tindakan ini diperbolehkan.

Hal ini diperbolehkan karena orang tersebut hanya menjadi perantara atau penyalin dari apa yang telah dikemukakan oleh ulama-ulama yang diakui keilmuannya dalam bidang tafsir. Dalam hal ini, kemampuan pribadi dalam ilmu saraf, ilmu nahwu, atau ilmu semantik tidak menjadi syarat utama. Kunci utamanya adalah keselarasan nasihat yang diberikan dengan pendapat ulama yang sudah diakui keilmuannya.

Namun, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan. Pertama, orang tersebut harus memastikan bahwa ia hanya mengutip dan menjelaskan pendapat ulama yang sahih dan terpercaya dalam tafsir Al-Quran dan hadis. Kedua, ia tidak boleh menambahkan atau mengubah makna dari apa yang telah dijelaskan oleh ulama tersebut. Ia hanya menjadi perantara untuk menyampaikan pemahaman ulama kepada umat.

Dengan demikian, meskipun seseorang tidak memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu saraf, ilmu nahwu, atau ilmu semantik, ia masih dapat memberikan nasihat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan hadis, asalkan ia menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan mengacu pada pandangan ulama yang terpercaya dalam tafsir. Yang terpenting adalah menyebarkan pesan Islam dengan akurat dan sesuai dengan pemahaman ulama, sehingga dakwah dapat berjalan dengan baik dan efektif.[2]

Oleh : Zainul Umam


[1] Al Haytami, Ibnu Hajar al-Fatawa al-Hadisiyah 1/162

[2] Al Haytami, Ibnu Hajar, Al-Fatawa al-Haditsiyah 1/162

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *