MENCIUM TANGAN ANTARA PERINTAH DAN LARANGAN

Mencium tangan saat bersalaman merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam tradisi masyarakat Indonesia. Mencium tangan biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya, istri kepada suaminya, murid kepada gurunya, santri kepada kiainya, dan anak muda kepada orang yang lebih tua. Hanya saja, dengan asumsi bahwa mencium tangan merupakan salah satu bentuk ketundukan mutlak kepada orang yang dicium,  sebagian orang menyalahkan tradisi ini karena ketundukan mutlak itu seharusnya hanya untuk Allah. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama tentang hukum mencium tangan saat bersalaman?    

Perbandingan Para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali menegaskan, hukum mencium tangan saat bersalaman adalah mubah (boleh). Syekh al-Hashkafi berargumentasi:

 وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ يَدِ الرَّجُلِ الْعَالِمِ) وَالْمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيلِ التَّبَرُّكِ، (والسُّلْطَانِ الْعَادِلِ

“Tidak apa-apa mencium tangan orang alim dan wara’ untuk tujuan mendapatkan keberkahan. Begitu pula (mencium tangan) pemimpin yang adil.[1]

Senada dengan al-Hashkafi, Syekh al-Mushili menuturkan:

وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ يَدِ الْعَالِمِ والسُّلْطَانِ الْعَادِلِ  

“Boleh mencium tangan orang alim dan pemimpin yang adil”[2] 

Tidak jauh berbeda dari kedua ulama Mazhab Hanafi di atas, dalam fikih Mazhab Hambali Syekh al-Bahuti menulis:    

فَيُبَاحُ تَقْبِيْلُ الْيَدِ وَالرَّأْسِ تَدَيُّنًا وَإِكْرَامًا وَاحْتِرَامًا مَعَ أَمْنِ الشَّهْوَةِ  

“Dibolehkan mencium tangan dan kepala karena alasan keagamaan dan penghormatan, disertai rasa aman dari syahwat..[3] Sedangkan Ibnu Muflih menyebutkan dalam kitabnya Al-Adab asy-Syariyyah:

فَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِ الْعَالِمِ وَالْكَرِيمِ لِرِفْدِهِ وَالسَّيِّدِ لِسُلْطَانِهِ فَجَائِزٌ   

“Adapun mencium tangan orang alim dan orang dermawan karena pemberiannya, serta pemimpin karena kekuasaannya, maka diperbolehkan” (Ibnu Muflih, Al-Adab asy-Syariyyah, juz 2/179).  

 Kedua, menurut Mazhab Syafi’i, mencium tangan setealah bersalaman hukumnya sunnah. Imam Nawawi berkata:

  وَأَمَّا تَقْبِيْلُ الْيَدِ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ، فَمُسْتَحَبٌّ   

“Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan pemilik tangan dan kebaikannya, atau karena ilmunya, atau kemuliannya, keterjagaannya, dan sebagainya; berupa urusan-urusan agama, maka disunnahkan”.[4]

Ketiga, Mazhab Maliki menyatakan hukum mencium tangan ketika bersalaman adalah makruh, sebagaimana komentar Syekh al-Manufi:

 وَكَرِهَ مَالِكٌ) رَحِمَهُ اللهُ (تَقْبِيْلَ الْيَدِ أَيْ: يَدِ الْغَيْرِ ظَاهِرِهِ، سَوَاءٌ كَانَ الْغَيْرُ عَالِمًا، أَوْ غَيْرَهُ، وَلَوْ أَبًا أَوْ سَيِّدًا أَوْ زَوْجًا   

“Imam Malik –rahimahullah– menyatakan kemakruhan mencium tangan, yaitu tangan orang lain bagian luar, baik orang tersebut alim atau tidak, walaupun seorang ayah, pemimpin, atau suami.[5] 

An- Nafrawi juga berkomentar:  

 وَظَاهِرُ كَلَامِهِ الْكَرَاهَةُ وَلَوْ كَانَ ذُو الْيَدِ عَالِمًا أَوْ شَيْخًا أَوْ سَيِّدًا  

“Secara zhahir argumen Imam Malik (terkait cium tangan) ini adalah makruh, meskipun pemilik tangan adalah orang alim, syekh, atau pemimpin”. [6]

Namun, salah Syekh al-Abhary, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa sesungguhnya hukum makruh mencium tangan menurut Imam Malik hanya berlaku apabila bertujuan sombong, sehingga, jika dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan didasari agama, ilmu, atau kemuliaan orang yang disalami, maka dapat diperbolehkan (lihat: Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari, juz 11/57).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat tentang hukum mencium. Mazhab Hanafi dan Hanbali menghukuminya mubah. Mazhab Syafi’i menyatakan sunah. Mazhab Maliki menghukuminya makruh, jika tujuannya untuk sombong dan boleh jika bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan didasari agama, ilmu, atau kemuliaan pemilik tangan.

Adapun asumsi sebagian orang bahwa mencium tangan merupakan bentuk kepatuhan dan ketundukan mutlak kepada orang yang dicium adalah praduga yang salah. Mencium tangan lebih tepat diartikan sebagai penghormatan atas dasar ilmu dan kemuliaan yang telah dianugerahkan oleh Allah.

Oleh karena itu, mencium tangan telah menjadi kebiasaan indah para shahabat Nabi, sebagaimana keterangan dalam hadis riwayat Usamah bin Syarik:

قُمْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ    

 “Kami menuju (bertemu) Nabi shallallahu a’laihi wasallam, lalu kami mencium tangannya” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 11/59). Semoga keragaman pendapat ini membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan. Wallahu a’lam.

Oleh : Muhammad Lutfi Maulana


Referensi :

[1] Muhammad bin Ali al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar, II/577

[2] Al-Mushili, Abdullah bin Mahmud, Al-Ikhtiyar li Ta’lilil-Mukhtar,  I/659

[3] Al-Bahuti, Kasysyaful Qina’ an Matnil Iqna’, II/182

[4] An-Nawawi Yahya bin Syaraf, Raudhatut Thalibin,  VII/438

[5] Al-Manufi, Ali bin Khalaf, Kifayatut Thalib Ar-Rabbani, II/620

[6] An-Nafrawi Ahmad bin Ghanim, Al-Fawakih AdDawani, II/326

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *