URGENSITAS ASBABUN NUZUL

Al-Quran tidak turun dalam keadaan utuh seperti yang ada di hadapan kita sekarang, melainkan berangsur-angsur kurang lebih dua puluh tiga tahun. Turunnya al-Quran memiliki dua model. Pertama, bersifat permulaan (tanpa latar belakang). Kedua, dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa atau kejadian (Asbabun Nuzul). Bagian kedua ini menjadi perhatian para ulama hingga Imam Suyuthi mengarang kitab khusus berjudul Lubabun Nuqul Fi Asbâbin Nuzul. Bagaimana tidak, banyak sekali hikmah serta faedah Asbabun nuzul untuk memahami ayat-ayat al-Quran, sebagaimana kisah Marwan bin Hakam ketika membaca ayat:

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوا وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Jangan berpikir tentang orang-orang yang bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka dan suka dipuji atas apa yang tidak mereka lakukan. Jangan berpikir bahwa mereka akan terhindar dari azab.  Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imran 3:188)

Merasa janggal dengan ayat tersebut dan berkata: “Jika setiap orang yangbahagia dengan apa yang mereka miliki dan senang terhadap pujian yang tidak pernah mereka lakukan mendapatkan siksa, maka kita semua pasti disiksa pula”. Kejanggalan tersebut dijawab oleh Ibnu Abbas, bahwa sebenarnya ayat tersebut turun kepada Ahli Kitab saat Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka tentang suatu hal. Namun, Ahli Kitab menjawab dengan dusta pertanyaan Nabi. Mereka menampakkan seolah diri mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan benar dan jujur. Mereka juga mengharap mendapatkan sanjungan terhadap apa yang telah mereka lakukan.

Hal yang sama juga pernah terjadi kepada Urwah bin Zubair, diamana beliau merasa janggal mengapa sai dalam haji itu diwajibkan, padahal dalam al-Quran terdapat ayat yang berbunyi:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌعَلِيمٌ

“Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. 43) Maka, siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sai 44) antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati melakukan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Menegetahui.” (QS. Al-Baqarah 2:158)

Ayat di atas jelas menafikan dosa bagi mereka yang melakukan sai antara Shafa dan Marwah, lantas bagaimana dipahami bahwa Sai itu wajib? Kejanggalan Urwah dijawab oleh bibinya, Sayyidah Aisyah, beliau menjelaskan bahwa menafikan lafaz junah dalam ayat diatas bukan berarti manafikan kewajiban Sai. Penafian junah mengarah pada hati orang-orang mukmin di kala itu, yang menganggap sai antara Shafa dan Marwah merupakan perbuatan orang-orang Jahiliyah. Setiap kali sai, mereka mengusap berhala di Shafa bernama Isaf dan berhala di Marwah bernama Hailah. Saat Islam datang dan pahala dihancurkan, hati muslimin di kala itu masih merasa berat melakukan sai antara keduanya sehingga turunlah ayat tersebut.

Dua kisah di atas membuktikan betapa urgennya peran Asbabun Nuzul dalam memahami al-Quran. Bahkan bisa jadi, jika tidak mengetahui asbabun nuzul akan fatal mengarahkan ayat al-Quran, seperti yang terjadi pada Usman bin Madhun dan Amr bin Ma’ad. Keduanya berpendapat akan legalnya khamar, lantas berargumentasi dengan ayat:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh menyangkut sesuatu yang telah mereka makan (dahulu sebelum turunnya aturan yang mengharamkan), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan amal-amal saleh, kemudian mereka (tetap) bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Al-Maidah 93)

Padahal ayat diatas turun saat orang-orang bertanya mengapa khamr diharamkan? Lalu bagaimana dengan mereka yang mati sebelum khamr dilarang? Tak lama kemudian turunlah ayat tersebut. Anadaikan keduanya mengetahui latar belakang turunnya ayat tersebut, niscaya tidak akan menagatakan apa yang telah mereka katakan. Andaikan Asbabun Nuzul tidak diketahui, maka dalam ayat

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Allah, Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 5:115)

Akan dipahami bahwa  tidak wajib menghadap kiblat dimana dan kapanpun, baik saat safar ataupun hadhar.

Oleh : Fahrur Rosy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *