Mengungkap Tabir di Balik Praktik IMBT

Ijarah Muntahiyah Bi at-Tamlik (IMBT) merupakan sebuah bukti bahwa perkembangan bisnis memang akan tetap berkelanjutan dan tidak bisa dihindari seiring dengan perkembangan zaman. Kemunculan IMBT ini oleh para pebisnis dijadikan sebagai terobosan baru untuk memenuhi kebutuhan yang diuntungkan antara pihak mu’jir (pemilik objek sewa) dan pihak musta’jir (penyewa atau nasabah yang ingin memiliki objek sewa). Praktik IMBT, sebagaimana yang kita lihat, sangatlah diminati oleh kebanyakan Lembaga Keuangan Syariah (LKS), bahkan hampir semua LKS telah menerapkan praktik IMBT. Yang perlu kita ketahui adalah, dalam praktik ini diberlakukan kaidah substance over form, yakni tujuan transaksi lebih diutamakan daripada bentuk transaksi itu sendiri.

Praktik IMBT sebenarnya bukanlah sebuah transaksi yang masih berumur dini. Karena dalam catatan sejarah, pada tahun 1846 M, praktik IMBT telah diterapkan pertama kali oleh salah satu pedagang alat musik di Inggris, hanya saja pada waktu itu tidak banyak pebisnis yang menerapkannya. Setelah beberapa lama, akhirnya praktik IMBT mulai diterapkan di beberapa pabrik yang ada di Inggris. Dan pabrik pertama yang menerapkan IMBT sebagai salah satu transaksi resmi perusahaan adalah pabrik alat jahit. Dengan berjalannya waktu, praktik ini dikenal oleh masyarakat di negara tersebut dan mulai menyebar ke beberapa wilayah sekitarnya. Hingga akhirnya, pada tahun 1962 M, praktik ini mulai diterapkan di Prancis. Sedangkan pada tahun 1396 H, praktik ini mulai dikenal dan diterapkan di beberapa wilayah Arab[1].

Memandang maraknya minat masyarakat prihal praktik ini, pakar ekonomi Islam mulai mengkaji dan menfilternya sebisa mungkin sehingga praktik ini menjadi salah satu praktik transaksi yang dilegalkan secara syariat. Dipandang dari namanya, Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, dapat dipahami bahwa praktik ini mengusung dua transaksi berbeda, yaitu ijarah (sewa-menyewa) dan transaksi yang berbasis tamlik (pemindahan hak milik), baik yang bersifat mu’awadlah (timbal-balik) seperti jual-beli, ataupun bersifat tabarru’ (suka-rela, tanpa timbal-balik) seperti hibah dan hadiah. Maka dari itu, pakar ekonomi Islam, mendefinisikan praktik IMBT sebagai transaksi sewa menyewa  untuk mendapatkan ujrah (imbalan) atas objek sewa dengan janji perpindahan hak milik objek sewa setelah lewatnya masa sewa yang sudah ditentukan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh LKS ataupun yang lainnya jika ingin menerapkan praktik IMBT:
1. Semua rukun dan syarat yang diterapkan dalam akad IMBT harus sesuai dengan ketentuan yang ada pada akad
2. Tidak menggabungkan akad ijarah dengan bai’ atau hibah dalam satu transaksi. [2]
3. Perjanjian yang terjadi dalam IMBT adalah wa’d yang bersifat tidak mengikat. Dalam artian setelah tempo yang disepakati telah selesai, kedua belah pihak berhak memilih untuk melanjutkan tamlik atau tidak.[3]
4. Biaya oprasional yang meliputi perawatan dan resiko kerusakan selama masa sewa harus ditanggung oleh pihak mu’jir selaku pemilik objek sewa bukan musta’jir.
5. Setelah selesainya akad ijarah, pemindahan hak milik objek sewa dari tangan mu’jir ke tangan mutsa’jir harus melalui transaksi baru. Dalam artian, perpindahan hak milik dalam IMBT tidak bersifat otomatis.[4]

Dari beberapa ketentuan di atas, dapat kita pahami bahwa, praktik IMBT merupakan murni akad ijarah. Sehingga hakikat syarat dan rukun yang ada dalam IMBT merupakan syarat dan rukun yang ada dalam akad ijarah. Maka dari itu, dalam praktik IMBT tidak terdapat penggabungan dua transaksi yang berbeda dalam satu akad yang dilarang oleh syariat.

Namun yang perlu dipecahkan sekarang adalah; jika akad ijarah merupakan ruh yang terkandung dalam IMBT, ijarah yang manakah dari dua jenis ijarah yang lebih mengena terhadap praktik IMBT? Untuk menjawab pertanyaan ini, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah perbedaan antara dua jenis ijarah yang dimaksud, yaitu ijarah fil ‘ain dan ijarah fidz dzimmah. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada objek yang disewakan. Dalam ijarah fil ‘ain, objek yang disewakan merupakan sebuah aset atau properti. Sehingga ijarah fil ‘ain merupakan istilah dari praktik pemindahan hak pakai ke tangan musta’jir dengan ujrah sebagai imbalan biaya sewa. Metode pembayaran dalam ijarah fil ‘ain ini boleh dengan cara kontan, dan boleh dengan cara bertahap atau cicil. Sedangkan dalam ijarah fidz dzimmah, objek yang disewakan hanyalah sebuah jasa. Dalam artian, ijarah fidz dzimmah merupakan istilah dari praktik mempekerjakan jasa seseorang dengan upah yang sudah disepakati. Metode pembayaran dalam ijarah fidz dzimmah ini hanya boleh dengan cara kontan, dan tidak boleh dengan cara bertahap atau cicil.[5]

Dari perbedaan dua jenis ijarah diatas dapat kita simpulkan bahwa, jika memandang objek sewa dan metode pembayaran ujrah yang berlaku dalam praktik IMBT, maka akad ijarah yang diterapkan dalam IMBT merupakan akad ijarah jenis pertama, yaitu ijarah fil ‘ain. Sehingga metode pembayarah ujrah secara bertahap dalam IMBT bisa dipastikan bukan termasuk bagian dari beberapa macam transaksi bai’u addain bi ad-dain yang dilarang oleh syariat.

Oleh : Hasanuddin Syafi’i 


Referensi:
[1] Syekh Ali Muysaiqah, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah. Hal:54
[2] Syekh Yusuf as-Syabili, Fiqhul Muamalat al-Mashrifiyah. Hal:22 Vol:4.
[3] Hasanuddin Syafi’i, Manhajul Fiqh al-Iqtishadi. Hal;36.
[4] Syekh Yusuf as-Syabili, Fiqhul Muamalat al-Mashrifiyah. Hal:20 Vol:4.
[5] Hasanuddin Syafi’i, Manhajul Fiqh al-Iqtishadi. Hal;34.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *