TEROR AKUN PALSU

Di era teknologi dan informasi layaknya saat ini, jejaring sosial media telah menjelma sebagai dunia baru yang begitu digemari. Seabrek kecanggihan dan kemudahan yang ditawarkan oleh dunia maya kini menjadi candu yang hampir ‘mustahil’ dijauhkan dari umat manusia. Karenanya, banyak sektor kehidupan yang secara perlahan namun pasti mulai didigitalisasi. Bahkan, banyak kepentingan dan kebutuhan primer yang berpusat dan bergantung pada dunia teknologi.

  Peralihan mindset dan kecenderungan ini mulai disadari oleh berbagai pihak dengan segudang kepentingan. Semua sektor kehidupan, mulai dari politik, bisnis, entertaiment, sampai pemikiran berbondong-bondong berebut menguasai dunia maya. Berbagai trik dan strategi diluncurkan demi meraup keuntungan dan memuluskan misi. Sayangnya, tak semua persaingan ditempuh dengan cara sehat dan legal.

  Yang terbaru dan sempat menggemparkan adalah terbongkarnya para pegiat hoax yang tergabung dalam sebuah grup bernama Saracen.[1] Disinyalir grup ini memiliki 400.000 akun palsu untuk memproduksi berita hoax dan menyebarluaskannya hingga mencetuskan sebuah opini, atau yang lebih dikenal dengan bandwagon effect.

  Terbongkarnya grup Saracen ini membelalakkan mata kita akan banyaknya akun palsu yang bertebaran di dunia maya. Media sosial paling populer di dunia, Facebook, merilis pernyataan mencengangkan terkait akun palsu. Facebook mengklaim ada sekitar 60 juta akun palsu dari total 2 miliyar pengguna Facebook di seluruh dunia. [2] Sialnya Indonesia termasuk negara penyokong akun palsu tertinggi bersama India. Model dan variasi pemalsuan akun beragam. Dari yang sekadar sebagian data pribadi, sampai yang total keseluruhan identitas diri. Fungsi dan aksinya-pun juga berbeda-beda. Dari yang sekadar iseng-iseng menggoda teman, sampai yang kelas kakap berburu uang.

Lantas, bagaimana hukum memalsukan akun? Bagaimana pula hukum meng-sharing berita di akun sosial media?

Seputar Dusta

  Imam Ibnu Hajar al-Haitami mendefinisikan dusta dengan menginformasikan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan, baik pembawa berita itu mengetahui fakta yang sebenarnya atau tidak, sama saja antara ia sengaja atau tidak. Pengertian ini adalah dusta dalam perspektif Ahlussunah wal Jamaah. Berbeda dengan Muktazilah yang membatasi dusta pada kondisi si pembawa berita mengetahui fakta sebenarnya. Menurut Muktazilah, orang yang menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai kanyataan tidak langsung divonis berdusta. Ia baru dianggap berdusta kalau memang dari awal sudah tahu apa yang disampaikannya tidak sesuai realita.[3]

Perbedaan keduanya nyata ketika menyikapi seseorang yang menyampaikan berita hoax yang disangka fakta. Bagi Muktazilah orang tersebut tidak berdusta, sementara menurut Ahlussunah wal Jamaah orang itu tetap berdusta, hanya saja tidak berdosa. Sebab, dosa akibat dusta baru ada kalau pewarta mengetahui fakta, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar dalam az-Zawâjir fî Iqtirâfil-Kabâ‘ir.[4]

Mayoritas ulama menggolongkan dusta sebagai bagian dari dosa kecil. Di dalam literatur Fikih dijelaskan, salah satu syarat saksi adalah memiliki integritas tinggi (‘adâlah) dengan cara menjauhi dosa besar dan tidak istikamah melakukan dosa kecil. Salah satu dosa kecil adalah dusta yang tidak disertai hukuman had atau membahayakan orang lain.[5] Adapun dusta yang berimbas hukuman had atau membahayakan orang lain, maka tergolong dosa besar.[6] Namun menurut Imam al-Ghazzali dalam karya fenomenalnya Ihyâ’ Ulûmiddîn, sejatinya dusta itu tidak diharamkan karena hakikat dustanya sendiri (li’ainil-kadzib), melainkan faktor membahayakan, baik kepada orang yang didustai ataupun orang lain.[7]

Dari uraian singkat ini, pembuat akun yang tidak mengisi identitas pribadi sesuai kenyataan, atau memampang gambar orang lain sebagai foto profil akunnya, tergolong berdusta (kidzib). Namun selagi tidak berdampak merugikan orang lain, menurut  Imam al-Ghazzali hukumnya tidak haram. Hanya saja perlu digarisbawahi, untuk koleksi foto yang ada dugaan kuat pemiliknya tidak rela dilihat orang lain, dengan artian foto itu diabadikan hanya untuk koleksi pribadi, tidak boleh dipampang sebagai foto profil akun kita.[8]

Sharing Berita

  Imam Muslim dalam Shahîh Muslim-nya meriwayatkan sebuah hadis melalui dua jalur sanad yang sama-sama shahîh berkenaan dengan tukang sharing berita. Dalam Hadis itu disebutkan, “Cukuplah bagi seseorang (distempel) dusta dengan menceritakan semua yang didengar.” (HR. Muslim)[9] Orang yang selalu membagikan berita yang sampai kepadanya, tanpa mengklarifikasi apakah itu berita hoax atau bukan, bisa dipastikan telah berdusta. Sebab, tidak mungkin semua berita yang sampai kepadanya itu fakta. Pasti ada beberapa kabar hoax dan tidak nyata.[10]

  Sejatinya, hadis tersebut adalah warning agar kita tidak meng-sharing berita yang belum pasti kebenarannnya, sebagaimana penjelasan Imam at-Tabrizi dalam Misykâtul-Mashâbîh. Justru sebelum membagi-bagikan berita, hendaknya kita mencari tahu kebenarannya. Syekh Muhammad Abdur Rauf al-Manawi di dalam Faidhul-Qadîr Syarhul-Jâmi’ ‘ash-Shaghîr min ‘Ahâdîtsil-Basyîr an-Nadzîr memberi ramuan apik agar kita tidak terjerat belenggu dusta sebab sharing berita.

  Imam al-Manawi menuturkan, bagi seseorang yang ingin menyebar berita hendaknya memastikan kebenaran berita yang akan ia sebar. Tidak boleh men-share informasi kecuali yang diduga kuat sebagai berita fakta. Kabar hoax dan isapan jempol belaka, haram dibagikan. Sementara berita abu-abu yang tidak ketemu juntrungnya, jika tetap ingin disebar, solusinya adalah menyampaikan dengan detail sumber berita beserta track-record-nya, sehingga seandainya terjadi sesuatu di kemudian hari, ia lepas dari tanggung jawab.[11]

Berita Meresahkan

  Habib Abdullah bin Thahir di dalam Sullamut-Taufîq memberi penegasan bahwa segala sesuatu yang terlarang diucap lisan, juga terlarang ditulis tangan. Artinya, kata-kata yang orang tulis di dunia maya misalnya, hukumnya sama persis dengan mengatakannya di dunia nyata.[12] Oleh karena itu, segala jenis berita bohong atau hoax tidak boleh ditulis atau di-sharing di dunia maya. Terkecuali dalam kondisi berbohong yang diperkenankan. Imam al-Ghazzali menuturkan, “Kata-kata adalah sarana mencapai suatu tujuan. Setiap tujuan terpuji yang bisa digapai dengan kejujuran dan kebohongan, maka berbohong hukumnya haram. Sementara tujuan yang hanya bisa diperoleh dengan kebohongan, maka hukum berbohong bergantung pada status hukum tujuan, bisa sekadar boleh, bahkan juga bisa menjadi wajib.[13]

  Sementara untuk berita fakta, tidak lantas semuanya boleh ditulis dan disebarkan, sebagaimana juga tidak semua fakta boleh diumbar dan dilantangkan. Kata-kata yang sebenarnya sudah sesuai kenyataan, besar kemungkinan menjadi haram diucapkan karena suatu alasan, seperti mengandung unsur gosip atau menggunjing orang, menyebarkan rahasia orang, atau meresahkan.

  Khusus untuk kasus meresahkan, dewasa ini banyak sekali informasi yang dikirim, baik via SMS, Massanger, WhatsApp, atau media komunikasi lain yang isinya menyuruh untuk disebarluaskan dengan ancaman kesialan bertubi-tubi bagi penerima yang mengabaikan. Semisal pesan yang berbunyi Dajjal telah lahir dan sebentar lagi akan mengakuisisi Tanah Suci. Pengirim pesan meminta penerima membagikan kepada 10 teman, dan jika tidak dilaksanakan, dalam 24 jam kesialan akan menimpa.

  Informasi semacam ini tidak boleh disebarluaskan. Sebab,seandainya isi pesannya benar dan bukan sensasi semata, berita semacam ini akan menyebabkan masyarakat gaduh dan gusar, yang mana hal itu diharamkan tanpa disertai kepentingan agama (fâ’idah dîniyah), sebagaimana ditegaskan dalam kitab Barîqah Mahmûdiyah fî Syarhi Tharîqah Muhammadiyah wa Syarî‘ah Nabawiyyah.[14]

Oleh: Redaksi Istinbat


[1] www.indosains.com

[2] www.tekno.kompas.com

[3] Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami, az-Zawâjir fî Iqtirâfil-Kabâ‘ir, III/234, Maktabah Syamilah

[4] Ibid

[5] Syekh Zakariya al-Anshari, Asnal-Mathâlib, IV/342, Darul-Kutub al-Ilmiyah, 1422 H/2000M

[6] Syekh Abu Bakar Syatha, I‘ânatuth-Thâlibîn, IV/282, Dar al-Fikr

[7] Syekh Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, II/324, Haramain

[8] Syekh Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman al-Ahdal, ‘Umdatul-Muftî wal-Mustaftî, II/478

[9] Imam Abul Hasan Muslim bin al-Hajjaj, Shahîhul-Muslim, I/15, Maktabah Syamilah

[10] Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Tabrizi, Misykâtul-Mashâbîh, I/106, Maktabah Syamilah

[11] Syekh Muhammad Abdur Rauf al-Manawi, Faidhul-Qadîr Syarhul-Jâmi’ ash-Shaghîr min ‘Ahâdîtsil-Basyîr an-Nadzîr, IV/551, Maktabah Syamilah

[12] Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Sullamut-Taufiq, 105

[13] Syekh Abu Hamid al-Ghazzali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, II/232, Haramain

[14] Syekh Qatbul Arifin  Ghawsil, Abi Said al-Khadimi, Barîqah Mahmûdiyah fî Syarhi Tharîqah Muhammadiyah wa Syarî‘ah Nabawiyyah, III/124, Maktabah Syamilah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *