Karamah dalam Perspektif Syariat: Menguji Klaim Komunikasi dengan Orang yang Telah Wafat
Ketika Sayidina Umar mengetahui bahwa shahabat Hatib bin Abi Balta’ah telah membocorkan berita kedatangan pasukan Islam ke Makkah lewat suratnya, Umar meminta izin kepada Rasulullah untuk memenggal lehernya karena telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya. Seketika itu Rasulullah berkata kepada Umar, “Dia telah mengikuti Perang Badar. Apakah kamu tahu, barangkali Allah melihat kepada Ahli Badar dan berkata: Lakukanlah apa yang kalian suka, aku telah mengampuni kalian.”
Dari hadis di atas, bisa kita ketahui bahwa ada sebagian makhluk Allah yang mempunyai kedudukan dan keistimewaan khusus di sisi-Nya. Mereka mendapatkan fadhal yang tidak diberikan kepada orang lain pada umumnya.
Terkadang orang yang mempunyai kedudukan istimewa di sisi-Nya dapat melakukan sesuatu yang mustahil secara kebiasaan. Misalnya, perbuatan Asif bin Barkhiya dengan memindah singgasana ratu Balqis dari kerajaan Saba’ ke dalam istana Nabi Sulaiman. Juga keajaiban yang terjadi pada ashabul kahfi berupa berbincang dengan anjing yang menemani mereka dan keanehan yang lain yang terjadi pada mereka, padahal mereka semua bukanlah seorang nabi.
Contoh lain, seperti yang terjadi terhadap Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr, di saat keduanya keluar dari dalem Nabi di malam yang gelap gulita, dalam keadaan tangan memantulkan cahaya seperti orang yang membawa senter. Kejadian tersebut terus berlangsung hingga kedua shahabat tersebut sampai ke rumah masing-masing. Selain itu, masih banyak contoh keajaiban yang terjadi pada kalangan shalihin mulai dari masa salaf hingga khalaf. Semua ini menjadi bukti, sesuatu yang mustahil secara adat itu bisa saja terjadi pada orang-orang tertentu, yang hal ini kita kenal dengan istilah karamah.
Namun akhir akhir ini, ada orang yang mengaku dapat berkomunikasi dengan orang yang sudah wafat, dengan mengatasnamakan karamah. Lantas, apakah pengakuan ini dapat dibenarkan?
Definisi Karamah
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui, sesuatu yang menyalahi adat itu ada empat macam, antara lain, mukjizat, karamah, istidraj, dan sihir.
Adapun mukjizat adalah perkara luar biasa yang disertai pengakuan kenabian. Begitu juga karamah, hanya saja karamah merupakan perkara luar biasa tanpa disertai pengakuan kenabian. Karamah ini hanya terjadi pada orang orang saleh.
Letak pemisah antara keduanya adalah da’wan-nubuwah, karena jika seorang yang memiliki karamah mengaku sebagai nabi maka dihukumi kafir seketika itu.[1] Termasuk bagian dari karamah, perkara luar biasa yang terjadi pada para nabi sebelum diangkat menjadi nabi, yang hal ini disebut dengan irhash. Kesemuanya itu merupakan anugerah dari Allah yang tidak diperoleh dengan belajar atau mengamalkan amalan tertentu.
Adapun sihir dan istidraj, keduanya merupakan perkara luar biasa yang terjadi kepada orang fasik. Bedanya, sihir bisa didapatkan dengan belajar, tidak dengan istidraj yang merupakan tipu daya bagi orang yang fasik.
Berbicara dengan orang mati
Berbicara dengan orang yang sudah wafat merupakan hal yang menyalahi terhadap kebiasaan, dan hal itu banyak sekali terjadi pada para nabi yang merupakan mukjizatnya. Tak hanya itu, bahkan di antara mukjizatnya para nabi, ada yang bisa menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia.
Hal yang demikian juga bisa terjadi dalam karamah. Mayoritas ulama Ahlussunah mengatakan,
“Sesuatu yang mungkin terhadap para nabi berupa mukjizat, itu juga bisa terjadi pada para wali berupa karamah.”[2]
Pantas jika Imam al-Qusyairi menyatakan,
“Semua atau kebanyakan syarat yang ada pada mukjizat itu ada pada karamah kecuali pengakuan menjadi nabi.”
Imam as-Subki dalam kitab ath-Tabaqãt al-Kubrã menyatakan bahwa karamah itu beragam, mulai dari berbicara dengan yang sudah wafat sampai menghidupkannya. Ulama kalangan Syafiiyah sendiri seperti Imam al-Ghazali, Imam as-Subki, dan Imam Afif al-Yafi’i menyatakan bahwa bertemu dengan Nabi dan berkumpul dengannya sehingga bisa mengambil beberapa pengetahuan darinya merupakan bagian dari karamah.[3]
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa orang yang mengaku berkomunikasi dengan orang mati bisa saja terjadi di zaman sekarang dan termasuk bagian karamah, jika orang tersebut merupakan seorang wali. Sebab, karamah hanya terjadi pada seorang wali sebagaimana pendapat Imam Haramain, “Sihir tidak tampak kecuali dari orang fasik, sebagaimana karamah tidak tampak kecuali dari kekasih Allah.”[4]
Namun, tidak semua orang bisa mengaku sebagai wali. Ada syarat tertentu yang melekat pada seorang waliyullah, seperti yang disampaikan Imam Alusi yang dinukil dalam kitab Kifâyatul-‘Awâm,
“Imam Ali berkata menukil dari sebagian para imam: tidaklah seseorang menjadi wali kecuali telah memenuhi empat syarat: 1) Mengetahui terhadap ushuludin sehingga bisa membedakan antara khaliq dan makhluk, dan antara nabi dan mutanabbi. 2) Paham terhadap ilmu syariat. Seandainya Allah menghilangkan ilmu dari penduduk bumi, nisacaya ilmu tersebut akan ditemukan pada diri orang tersebut. 3) Memiliki sifat yang terpuji seperti wara’ dan ikhlas dalam melakukan segala hal. 4) Selalu takut dan merasa hawatir di setiap waktu, karena ia tidak tahu apakah akan masuk golongan orang beruntung kelak di akhirat, atau termasuk golongan yang celaka.”[5]
Jika tidak demikian maka hal tersebut bukan bagian dari karamah, melainkan istidraj yang tampak luar biasa padahal hakikatnya tipu daya, atau sihir yang sekilas nyata tetapi sebenarnya hanyalah trik semata. Wallahu A’lam bish Shawab.
Oleh: Faqih/Sekred Istinbat
[1] Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Haditsiyah, hal 94
[2] Al-Yafi’i, Raudhur Rayahin fi Hikayatis Shalihin, hal 32.
[3] An-Nabhani, Abu Yusuf bin Ismail, Jãmi’u Karamãtil–Auliya’, hal 14
[4] Asy-Sya’rani, Abdul Wahab bin Ahmad, Al–Mizanal-Kubra, II/151
[5] Muhammad al-Fudhali, Kifayatul-Awam, hal 41.