ADA APA DENGAN MENIUP MAKANAN ?

Meniup makanan atau minuman panas agar cepat dingin adalah tindakan yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam konteks hukum Islam, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan terkait dengan praktik ini. Artikel ini akan mengajak Anda untuk memahami arti larangan meniup makanan dan minuman, sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Nabi Muhammad.

Pertama-tama, ditemukan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, bahwa Nabi Muhammad menyatakan ketidaksenangan terhadap makanan panas. Beliau beranggapan bahwa makanan dingin itu adalah obat, sementara makanan panas tidak berkah. Nabi bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالطَّعَامِ الْبَارِدِ فَإِنَّهُ دَوَاءٌ أَلَا وَإِنَّ الْحَارَّ لَا بَرَكَةَ فِيْهِ

 “Makanlah makanan yang dingin karena itu merupakan obat, sesungguhnya yang panas tidak ada keberkahan di dalamnya.” (Hadis riwayat Imam al-Bukhari).[1]

Selanjutnya, dalam hadis lain, Nabi Muhammad melarang meniup minuman. Meniup minuman dilarang karena dapat merubah aroma air, menandakan sifat tergesa-gesa, rakus, dan kurang sabar.

( نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشَّرَابِ ) فَيُكْرَهُ لِاَنَّهُ يُغَيِّرُ رَائِحَةَ الْمَاءِ

“Nabi melarang meniup minuman, maka makruh hukumnya karena dapat merubah aroma air.”[2]

Hal ini juga dijelaskan dalam kitab Faidhul Qadir, Al-Munawi menjelaskan:

نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِيْ الشَّرَابِ فَيُكْرَهُ، لأَنَّهُ يُغَيَّرُ رَائَحَةَ الْمَاءِ، وَعَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ، وَنَهَى أَيْضًا عَنِ الطَّعَامِ الحَارِّ لِيَبْرُدَ لأَنَّهُ يُؤْذِنُ بِشِدَّةِ الشَّرَهِ وَقِلَّةِ الصَّبْرِ.

“Rasulullah melarang meniup minuman dan makanan, dan hal ini makruh, karena hal ini dapat mengubah aroma dari air, dan narasi dari Abi Sa’id al-Khudri juga menjelaskan bahwa larangan meniup makanan panas agar cepat dingin itu mengindikasikan sifat serakah dan tidak sabaran.”

Dalam konteks hukum Islam, larangan meniup makanan dan minuman bukanlah karena semburan yang keluar dari air ludah itu najis, tetapi lebih karena khawatir akan menimbulkan rasa jijik pada orang yang makan atau minum. Oleh karena itu, diperintahkan untuk beretika dalam menyantap makanan dan minuman. Hal ini sebagaimana pendapat Badruddin al-Hanafi. Beliau berkata:

أَنَّ نَهْيَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَنِ النَّفْخِ فِي الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لَيْسَ عَلَى سَبِيْلِ أَنَّ مَا تَطَايَرَ فِيْهِ مِنَ اللُّعَابِ نَجِسٌ وَإِنَّمَا هُوَ خَشْيَةٌ أَنْ يَتَقَذَّرَ الآكِلُ مِنْهُ فَأَمَرَ بِالتَّأَدُّبِ

“Sesungguhnya larangan Nabi meniup makanan dan minuman bukan berarti menunjukkan semburan yang keluar dari air ludah itu najis, tetapi dikhawatirkan berakibat jijiknya orang yang makan, maka diperintahkan beretika didalamnya.”[3]

Dari tinjauan ilmiah di atas, dapat disimpulkan bahwa larangan meniup makanan dan minuman panas dalam ajaran Nabi Muhammad dan pandangan jumhur fuqaha’ memiliki dasar yang kuat, baik dari segi kesehatan maupun nilai-nilai etika dalam agama Islam.

Dengan demikian, sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk memahami dan menghormati larangan-larangan yang telah ditetapkan dalam ajaran agama, termasuk larangan meniup makanan dan minuman panas, demi menjaga keberkahan, kesehatan, serta nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-hari.


[1] Abdurrahman bin abdis salam ash-shafuri, Nuzhatul majalis 1/402 

[2] Zainuddin bin Muhammad al-Masyhur bi Abdirrauf,  At-Taisir bi Syarhi Jami’is -Shaghir, 2/908

[3] Badruddin al-Aini al-Hanafi, Umdatul-Qari’ Syarhu Shahihil-Bukhari, IV/387

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *