Orang Pertama yang Memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ, Status Bid’ah pada Perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ

Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ adalah salah satu momen penting dalam kalender Islam yang dirayakan untuk menghormati dan memperingati kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Pada tahun 1446 H kali ini, maulid Nabi bertepatan dengan hari Ahad Kliwon, 15 September 2024. Saking identiknya peringatan ini, sering kali bulan Rabiul Awal dinamai dengan bulan Maulid atau Maulud oleh orang Indonesia.

Asal Usul Peringatan Maulid Nabi

Para ulama sepakat bahwasanya perayaan maulid Nabi pertama kali diperingati oleh penguasa Irbil, Raja Kurdi al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukuburi bin Zainuddin Ali Sabaktin, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Al-Fathar-Rabbânî min Fatâwâ al-Imam asy-Syaukânî sebagai berikut :

وَأَجْمَعُوْا أَنَّ الْمُخْتَرِعَ لَهُ اَلسُّلْطَانُ اَلْكُرْدِيُّ اَلْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كُوْكُبُوْرِي بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ عَلِي سَبَكْتِيْنَ صَاحِبُ إِرْبِلَ

Mereka (para ulama) sepakat sesungguhnya orang yang pertama mengadakan Maulid adalah Sultan Kurdi al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukuburi bin Zainuddin Ali Sabaktin, penguasa Irbil.[1]

Raja Kurdi al-Muzhaffar selalu mengadakan perayaan peringatan maulid Nabi dengan begitu besar. Terhitung ada sebanyak 5.000 kepala kambing bakar, 10.000 ayam, seratus kuda, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring kue yang disiapkan sebagai jamuan bagi orang yang menghadiri acara tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh cucu Imam Ibnul Jauzi di dalam kitab Mir`âtuz Zaman yang kemudian dikutip dalam kitab al-Hâwî lil-Fatâwî sebagaimana berikut:

وَقَالَ سِبْطُ ابْنِ الْجَوْزِيِّ فِيْ مِرْآةِ الزَّمَنِ: حَكَى بَعْضُ مَنْ حَضَرَ سِمَاطَ الْمُظَفَّرِ فِيْ بَعْضِ الْمَوَالِدِ أَنَّهُ عَدَّ فِيْ ذَلِكَ السِّمَاطِ خَمْسَةَ آلَافِ رَأْسِ غَنَمٍ شَوِيٍّ وَعَشْرَةَ آلَافِ دَجَاجَةٍ وَمِائَةَ فَرَسٍ وَمِائَةَ أَلْفِ زُبْدِيَّةٍ وَثَلَاثِيْنَ أَلْفَ صَحْنِ حَلْوَى

Cucu Imam Ibnul Jauzi berkata di dalam Mir’atuz Zaman: Sebagian orang yang pernah menghadiri perjamuan Raja Muzhaffar dalam beberapa Maulid, dia menghitung dalam perjamuan tersebut sebanyak 5.000 kepala kambing bakar, 10.000 ayam, seratus kuda, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring kue.[2]

Saking cintanya Raja Kurdi al-Muzhaffar terhadap Nabi Muhammad ﷺ, beliau pernah  memberikan 1000 keping dinar terhadap orang yang menulis tentang sosok Nabi Muhammad ﷺ serta pujian-pujian terhadap baginda Nabi besar Muhammad ﷺ. Orang yang mendapatkan penghargaan itu adalah al-Hafizh Syekh Abul Khaththab Ibnu Dihyah dengan karangannya tentang Maulid sebanyak satu jilid yang diberi nama At-Tanwîr fî Maulidil-Basyîr an-Nadzîr, sebagaimana yang dikutip dalam kitab al-Hâwî lil-Fatâwî sebagai berikut:

قَالَ وَقَدْ صَنَّفَ لَهُ الشَّيْخُ أَبُو الْخَطَّابِ بْنُ دِحْيَةَ مُجَلَّدًا فِي الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ سَمَّاهُ (اَلتَّنْوِيْرَ فِيْ مَوْلِدِ الْبَشِيْرِ النَّذِيْرِ) فَأَجَازَهُ عَلَى ذَلِكَ بِأَلْفِ دِيْنَارٍ

Al Hafizh Syekh Abul Khaththab Ibnu Dihyah mengarang sebuah karangan tentang Maulid satu jilid yang diberi nama “At-Tanwir fii Maulidil Basyiiri an-Nadzir” maka raja Muzhaffar menghadiahi beliau dengan 1000 dinar.”

Status Bid’ah dalam Perayaan Maulid Nabi Muhammad

Patut kita akui bahwasanya perayaan maulid termasuk dalam kategori bid’ah, karena sebagaimana pengertian bid’ah sendiri adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis baik di dalam al-Quran maupun dalam Hadis, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sharihul-Bayan berikut:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ

Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Quran maupun dalam Hadis.[3]

            Perlu diketahui bahwasanya tidak semua bid’ah itu berhukum haram, dikarenakan bid’ah sendiri terbagi menjadi dua, yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Bid’ah hasanah adalah perkara baru yang baik dan tidak menyalahi al-Quran, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela, sedangkan bid’ah madzmumah adalah Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar. Berikut adalah teks dari Manaqib Imam Syafi’i :


الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلـَةِ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب  مناقب الشافعيّ(

Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baik dan tidak menyalahi al-Quran, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dalam kitab Manaqibusy-Syafi’i).[4]

            Melihat pembagian bid’ah di atas maka perayaan maulid yang berisi pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian pujian-pujian terhadap baginda Nabi besar Muhammad ﷺ serta saling bersedekah makanan dan buah-buahan sebagaimana perayaan yang umumnya ada di Indonesia, merupakan bid’ah hasanah yang diberi pahala bagi pelakunya sebagaimana yang dikutip dalam kitab al-Hâwî lil-Fatâwî sebagaimana berikut:

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

Menurutku pada dasarnya amal Maulid yang berupa berkumpulnya orang-orang, pembacaan ayat yang mudah dari al-Quran, periwayatan hadis-hadis tentang permulaan perihal Nabi serta tanda-tanda yang terjadi saat kelahiran Nabi, kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka, dan mereka menyantapnya lalu mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu termasuk Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang melakukannya karena perkara yang ada di dalamnya berupa pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran beliau yang mulia.[5]

Kesimpulan

            Perayaan maulid Nabi termasuk kategori bid’ah karena perayaan tersebut tidak pernah ada pada masa-masa Nabi Muhammad dan baru dirayakan pertama kali dengan perayaan yang sangat besar oleh Raja Kurdi al Muzhaffar. Hanya saja, melihat isi dari perayaan maulid berupa hal-hal yang sama sekali tidak menyalahi dari ketentuan syariat maka kategori bid’ah dalam perayaan maulid tergolong bid’ah hasanah.

Oleh: Khoiron Rofik/ Redaksi Istinbat


[1] Imam Al Syaukani, Al-Fathar-Rabbânî min Fatâwâ al-Imam asy-Syaukânî, II/1087 (maktabah al-Jail al-Jadid, Yaman)

[2] Imam Jalauddin Abdur Rahman al Suyuti, Al Haawi Lil Fataawi I/272 (maktabah syamilah)

[3]  Imam al Hafizh Abdullah al Harari, Sharihul-Bayan fir Radd ala Man Khalaf al Qur’an, 1/278.

[4] Imam Fakhruddin Ar-Razi, Manaqibusy-Syafi’i, 1/469.

[5] Imam Jalauddin Abdurrahman as-Suyuti, Al-Hawi lil Fatawi, 1/271-272 (Maktabah Syamilah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *